Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • About Me
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    ilustrasi Da’an Yahya/Republika



    Dua hari kemarin seorang marbut masjid, Mang Badrun, selesai membagikan surat undangan ke beberapa warga Kampung Cibelenger. Tidak sembarang orang yang mendapatkan undangan khusus itu. Memang benar yang menulis undangannya Mang Badrun, tetapi nama-nama yang tertera dalam undangan diperoleh dari seorang tetua yang sangat disegani. Ia hanya diminta mengetikkan nama darinya, lalu mencetak dan menyebarkan undangannya sebelum malam ini tiba.
    Bakda isya satu per satu warga berdatangan ke masjid. Tidak menerima undangan khusus bukan berarti mereka tak boleh hadir. Kau akan tahu apa pentingnya undangan itu setelah kalimat ini.

    Haji Masykur sang saudagar datang paling awal di antara penerima undangan lainnya. Baju gamis dan kain sarung yang dikenakannya tampak mewah di mata warga. Ia dikenal pandai mengaji dan khatam urusan tajwid serta makhorijul huruf. Karpet berwarna hijau merah telah lebih dahulu digelar di teras oleh Mang Badrun. Haji Masykur duduk di sisi pintu paling kanan. Terlihat olehnya dari arah pintu gerbang, Ustaz Rasyid melangkah masuk diikuti dua orang santrinya. Berpostur tinggi tegap dengan kopiah putih dan serban di kepala menegaskan ia sebagai pendiri salah satu pesantren di kampung tersebut.
    “Assalamu’alaikum...,” sahutnya ramah sembari melepaskan sandalnya. Salah satu santrinya gegas merapikan sandal sang guru. Belum ia duduk, sebagian warga menyalami tangannya. Anak dan kemenakan mereka banyak yang mengaji kitab kuning di pesantren Ustaz Rasyid.

    Penerima undangan berikutnya datang membawa mobil. Seorang sopir memarkirnya di pelataran masjid. Lalu ia membukakan pintu belakang. Seorang pria berparas tampan, dengan setelan jas hitam dan sepatu mengilap, keluar dari dalam mobil. Ia Haji Salim, putra dari almarhum Kiai Shidiq, kiai besar di kampung Cibelenger yang wafat sebulan lalu.
    Ia menebarkan senyumnya. Tangannya merapikan sedikit letak kopiah hitam di kepala, lalu berjalan ke teras masjid. Dibanding dua penerima undangan yang sudah hadir, ia berpakaian paling berbeda. Haji Salim pewaris tunggal atas kekayaan abahnya, empatpuluh persen dana pembangunan masjid disumbang oleh Kiai Shidiq. Tak heran banyak warga yang biasa memohon pinjaman uang padanya. Selain itu, ia dikenal memiliki suara merdu saat melantunkan ayat suci Alquran.

    Dalam surat undangan, tertulis musyawarah dimulai jam delapan malam. Tiga kandidat imam masjid Kampung Cibelenger sudah duduk bersebelahan. Mereka bercengkerama alakadarnya sembari menunggu tetua kampung datang. Sorot mata warga tidak lepas dari tiga orang di hadapannya. Setelahnya, mereka saling berbisik dan menerka. Gelar imam masjid di kampung Cibelenger adalah sebuah gengsi. Bukan soal dibayar atau tidak, tetapi ini soal harga diri. Belum sempurna ilmu agamanya bila belum mengimami salat di masjid Cibelenger. Itu yang ada di benak para warganya. Kampung lain cukup menaruh hormat pada kampung seribu santri ini—begitu julukannya.

    Lima menit berselang dan Pak Kiai Djasim datang. Bukan dari luar gerbang, tetapi dari dalam masjid yang remang. Rupanya sejak isya tadi ia tidak pulang, tetapi melakukan iktikaf dan berzikir sambil menunggu semuanya berkumpul.
    Tiga calon imam yang duduk dekat pintu masjid lekas berdiri. Mereka menjabat tangan Kiai Djasim dan menciumi punggung tangannya. Begitu juga para warga, mereka saling berebut ke depan. Pak Kiai tersenyum, lalu mengangguk dan meminta semua kembali duduk. Ia membuka musyawarah malam itu dengan mengajak warga membaca surah alftihah bersama-sama.
    “Hatur nuhun atas kesediaan saudara sekalian untuk hadir pada malam ini,” ia mulai ke pokok pembahasan, “kule yakin, ningali kekompakan warga mengketen, insya Allah kampung Cibelenger bakal baik-baik saos.[1]” Dialek bahasa jawa bebasan-nya terdengar kental di telinga warga.
    Mang Badrun membawa teko dan beberapa cangkir berisi teh hangat. Ia mohon izin untuk menaruhnya di hadapan tetua dan para undangan. Pak Kiai mempersilakan lalu mulai kembali berbicara, “mungkin warga sekalian sudah tahu apa tujuan musyawarah malam ini. Selebaran sudah dipasang di tembok masjid dan tiga orang yang diundang telah hadir....” Mang Badrun kali ini membawa teko untuk warga. Ia meletakkannya di tengah orang-orang yang duduk melingkar. Setelah itu ia mundur kembali dan duduk di paling belakang.

    Tetua memaparkan kalau pemilihan imam masjid sudah umum dilakukan di Kampung Cibelenger sejak dulu. Ini adalah adat serta tradisi turun-temurun demi menjaga kualitas seorang pemimpin dalam mendirikan ibadah salat. “Kebetulan, saya yang dituakan dan mendapat amanah berat ini dari kiai-kiai yang sudah lebih dulu pergi. Semoga saudara sekalian dapat menerimanya dengan berbesar hati,” katanya tawaduk. Warga mengangguk termasuk tiga orang di kanan-kirinya.
    Hari semakin malam. Kiai Djasim tak mau mengulur waktu terlalu lama. “Punten, saya akan segera meminta kepada saudara-saudara di depan ini untuk menunjukkan kemampuan membaca Alqurannya terlebih dahulu. Baru setelahnya akan sedikit membahas mengenai pengetahuan soal ilmu fikih dan lainnya.” Kiai Djasim seketika terkenang masa-masa ketika ia dulu di posisi mereka. Ia murid dari Kiai Shidiq dan saat diminta mengaji di depan warga tubuhnya bergetar dan keringat tak henti-hentinya mengalir. Waktu terus berjalan. Tak terasa kini ia ada pada posisi sebagai tetua kampung.

    Ustaz Rasyid dengan amat yakin mengajukan diri lebih dulu. Dalam hatinya barangkali menganggap ini adalah hal mudah. Karena hampir setiap hari ia menguruk[2] santri-santrinya mengaji. Sudah banyak tempat ia datangi untuk menimba ilmu agama sewaktu muda dulu. Selesai dari satu mubalig lanjut ke ulama yang lain. Dari ahli qiraah ke ahli fikih yang lain.
    “Katuran Pak Ustaz....”
    Ustaz Rasyid duduk bersila menghadap Kiai Djasim. Ketika dipersilakan dan mata mereka bertemu, mendadak tubuhnya bergetar. Dadanya bergemuruh dan matanya tak kuasa menatap lama ke wajah Pak Kiai.
    “A’ udzzz..., bbill.. ahh..,” Ustaz Rasyid tergeragap. Lidahnya tiba-tiba kelu. Ia tak paham apa yang terjadi. Suara bisik-bisik warga yang keheranan terdengar semakin riuh. Namun bukan itu yang membuatnya panik. Justru bayangan di kepalanya yang sangat mengganggu. Wajah-wajah santri yang pernah ia usir, singgah di tempurung kepalanya. Bahkan yang pernah ia sabet karena tak lekas mengerti pelajaran pun meraung-raung malam itu. Tak lama badannya limbung. Dua santrinya lekas mendekat dan menyanggah tubuhnya. Warga membantu dan membawa ia pulang kembali ke rumahnya.
    “Astagfirullah....” Kiai Djasim diperlihatkan oleh Allah apa yang membuat Ustaz Rasyid mengalami hal itu. Tapi masih ada dua orang lagi. Ia lekas meminta satu dari mereka untuk menghadap ke arahnya.
    “Baca basmallah lebih dahulu. Mohon izin dan ridho pada Allah. Mulailah kapan pun saudara siap,” ucapnya teduh penuh saran.
    “Baik, Pak Kiai,” jawab Haji Masykur lekas. Belum ia mulai membaca ayat basmallah, mulutnya hanya megap-megap seperti ikan mujair dalam air. Ia mencoba berteriak sampai tenggorokannya sakit, tetapi nihil. Suaranya tetap hilang detik itu juga. Sama halnya Ustaz Rasyid, ia pun tak paham apa yang tengah terjadi. Tak kuasa menahan malu ia gegas bangkit dan berlari pulang ke rumahnya. Kepalanya dibayang-bayangi wajah orang-orang yang sering ia hina ketika tak sanggup membeli barang dagangannya. Ia membuka lebar mulutnya berusaha menjerit, tetapi tak ada getar suara yang keluar.

    Lagi-lagi Kiai Djasim dikehendaki tahu apa yang menimpanya. Ia beristigfar tiada henti. Masih ada satu orang di sebelahnya. Barangkali ia yang bakal jadi imam masjid penggantinya kelak. Belum diminta duduk menghadap Pak Kiai, Haji Salim inisiatif. Ia bergeser mengambil posisi duduk di depan Kiai. Ketika Kiai Djasim memberi aba-aba untuk memulai, Haji Salim dikagetkan oleh kehadiran almarhum abahnya yang duduk bersebelahan dengan Kiai Djasim.
    Wajah Haji Salim sekonyong-konyong pucat. Matanya melotot tak percaya. Bibirnya pelan sekali menyebut nama Tuhan, dan berhasil. Ia tidak bisu dan gagap mendadak. Namun, badannya seolah membatu. Ia tidak bisa bergeser sedikit pun. Mendiang abahnya menegur Haji Salim. Warga bingung dengan kejadian malam itu. Mereka tidak melihat kehadiran Kiai Shidiq, tetapi Kiai Djasim merasakan kehadiran gurunya itu. Dengan kepala merunduk ia tetap diam dan menyimak apa yang ingin disampaikan Kiai Shidiq pada anak semata wayangnya itu.
     “Bertobatlah, Salim. Allah tak menyukai hambaNya yang memakan uang riba. Bantulah saudara dan tetanggamu dengan hati yang tulus. Demi Allah aku tak pernah mengajarkanmu berlaku culas dan angkuh. Sesungguhnya Allah maha pengampun.” Haji Salim menangkap air muka abahnya yang murka. Ia pun menangis tersedu-sedu. “Maafkan, saya, Bah. Mohon ampun....” Setelahnya Haji Salim menjerit-jerit tak jelas. Sopirnya sergap membawa majikannya ke mobil. Ia tancap gas meninggalkan warga tanpa permisi. Bahkan teko dan gelas-gelas ia biarkan tergeletak setelah tertendang olehnya.

    Kedua mata Kiai Djasim berkaca-kaca. Hatinya menahan tangis menghadapi kenyataan ini. Sedangkan warga tak mampu berbuat apa-apa. Mereka terlampau syok di hadapkan dengan kejadian aneh yang datang nyaris bersamaan. Mang Badrun melihatnya biasa saja. Lelaki separuh baya itu hanya tahu satu hal yang harus dilakukannya; mengurus masjid. Segera ia merapikan kembali teko dan gelas-gelas yang berantakan. Ia mengelap airnya yang tumpah membasahi lantai masjid.

    Sosok almarhum Kiai Shidiq masih berada di sebelah Kiai Djasim. Sebelum pergi ia menitipkan sebuah pesan, “jaga Badrun agar tak jauh-jauh dari pengimaman. Dulu, ia juga pernah mengaji padaku”. Kiai Djasim mengangguk takzim. Seketika ia teringat, dulu saat mengaji di rumah Kiai Shidiq, Badrun kecil selalu bersembunyi di atas pohon mangga dan mendengarkan orang-orang yang sedang mengaji.[]

    Cilegon, 03 Mei 2018





    [1] “Saya yakin, melihat kekompakan warga begini, insya Allah Kampung Cibelenger akan baik-baik saja.”
    [2] mengajarkan

    Continue Reading

     
    image by c.pxhere.com
    /1/
    Saya akan menggila malam ini. Dunia sudah tidak menarik minat saya. Orang-orang sudah semakin pandai berbohong. Kata-kata hilang makna dan segala yang ada sudah tak layak untuk direnungkan. Buku-buku yang dihasilkan dari para—yang mengaku—penulis, pemikir, ilmuwan, profesor, peneliti, atau apa pun sebutan elitnya tidak lagi menghasilkan apa-apa selain omong kosong. Segala fakta yang difiksikan juga fiksi yang diolah sebaik fakta, semakin sulit dikenali. Orang-orang bersembunyi di balik kebohongan dan kebodohannya masing-masing. Makhluk yang semestinya menjadi manusia itu, seperti sesuatu yang tak lagi penting. Asalkan hidupmu aman, jauh dari teror, banyak teman, sekalipun hasil menjilat dan bermuslihat..., jalanilah. Jadi, persetan dengan koruptor, teroris, peneror, pembunuh, pemerkosa, fasisme, pendemo, anarkisme, dan segala perilaku mengancam kehidupan bernegara dan bermasyarakat itu. Jauh-jauhlah kalian dari lingkaran mereka; jalanilah hidupmu yang monoton dan nyaris tidak ada polemik itu, sekalipun dalam hal ini berkonflik dengan para pembuat onar nyaris sangat dibutuhkan.

    Aku berhenti membaca setelah pintu kamar ada yang mengetuk. Jam malam begini, siapa sekiranya yang hendak bertamu? Aku tak maulah bermain-main a la sinetron. Atau tebak-tebak buah manggis. Tunggu, satu paragraf lagi....
    Seharusnya negara ditiadakan saja. Batas-batas wilayah, teritori atau kekuasaan baiknya dihapuskan. Sebab semua sudah merasa bisa mengatur hidupnya sendiri. Bahkan, barangkali manusia sudah tidak lagi membutuhkan Tuh....
    Tok... tok...tok....
    Baiklah!
    “Siapa?” aku bertanya. Seseorang di luar masih mengetuk pintu berulang-ulang. Terpaksa aku lemparkan buku yang ada digenggaman ke lantai. Sampai mana tadi aku membaca, sial, aku lupa memberi tanda.
    “Barangkali manusia sudah tidak lagi membutuhkan Tuhan...,” katanya tiba-tiba setelah pintu kubuka.
    “Maaf, Anda siapa?”
    “Herannya, saya malah tidak lagi mengenali siapa diri saya. Orang-orang yang telah meniadakan saya. Mereka selalu ingin dianggap penting kehadirannya sedang tidak sebaliknya.” Aku tidak memahami racauannya.
    “Duh, sudah, deh, ya. Maaf, saya harus istirahat. Besok pagi saya harus berangkat kerja,” kataku berusaha menutup pintu. Namun dengan sigap ia lekas memasuki kamar indekosku.
    “Kemampuan nalar semakin pudar. Empati, simpati, rasa peduli dan mengasihi sudah bukan lagi sifat dasar manusia. Nurani menjadi kata purba yang telah punah ribuan tahun lamanya. Spesies manusia pun selayaknya diganti dengan robot, yang segala sesuatunya bertindak tidak lagi sesuai pikiran kritisnya.”
    “Kalau mau ngobrol, besok lagi saja, ya. Atau Anda salah orang kayaknya. Saya tak ingat wajah Anda bahkan tidak kenal sama sekali.” Aku tarik lengan berbulunya itu. Pria dengan kaus oblong putih, dengan bercak merah di lingkar lehernya, yang kutaksir seusia denganku, diam saja. Ia terus cuap-cuap namun tanpa suara. Saat berhasil membawanya keluar, aku lekas mengunci pintu kamar.

    Kurebahkan lagi tubuhku di kasur. Buku yang tadi kulempar, lekas kuambil, kubuka-buka sebentar. Halaman berapa tadi aku berhenti membacanya? Hmm..., nah, ketemu!
    Barangkali manusia sudah tidak lagi membutuhkan Tuhan. Herannya, saya malah tidak lagi mengenali siapa diri saya. Orang-orang yang telah meniadakan saya. Mereka selalu ingin dianggap penting kehadirannya sedang tidak sebaliknya....

    Aku berhenti membaca. Ada perasaan yang timbul dan tiba-tiba mengganggu pikiran. Kalimat di paragraf buku ini sama persis seperti apa yang orang tadi katakan?!
    Sejujurnya aku agak ngeri dan merinding. Apakah ini nyata? Atau barangkali aku sedang bermimpi? Namun, karena rasa penasaran aku lekas keluar berusaha mencari pria misterius tadi.
    Pintu kubuka.
    Orang yang kucari tidak ada. Di luar indekos, di lantai dua ini, sunyi-senyap. Bahkan suara dengkur atau cuap-cuap tetangga pun tiada kudengar. Ah, malam Jumat durjana. Tuhan sedang bermain-main denganku sepertinya. Pintu kukunci kembali. Buku yang isinya nyaris racauan semua itu aku biarkan ia tergeletak di lantai. Ia pantas mendapatkannya!

    Aku berusaha mengingat-ingat dari mana buku itu berasal. Namun belum juga berhasil. Ah, sial! Malam-malam begini, kenapa sulit sekali untuk tidur? Andai Ardhelia masih ada di sini, sudah kupeluk ia sebagai penghangat malamku.

    /2/
    Aku kembali ke rak buku—kalau bisa disebut demikian. Bukan hidup seperti ini yang aku inginkan sebenarnya. Aku ingin bisa mengatur waktu kerjaku sendiri. Bukan monoton seperti yang kukerjakan selama dua bulan terakhir ini. Aku rindu kampung halaman. Aku rindu kawan-kawan. Aku rindu Ardhelia. Masihkah ia setia menantiku pulang?

    Tahukah kamu apa itu cinta? Ia bukan tempat bertukar syahwat semata. Ia bukan kendaraan yang mengantarkan ke mana tujuan akhirmu lalu kau meninggalkannya. Ia..., like a game. Sometimes you win, and sometimes you lose. So simple like that.

    “Assalamu’alaikum....”
    Lagi-lagi suara pintu diketuk. Aku heran ada apa dengan malam ini. Ingin aku abaikan tapi justru bakal menimbulkan kegaduhan yang tak ada ujungnya. Buku yang baru kubaca pengantarnya itu terpaksa harus kutahan lagi. Ujungnya aku lipat agar tidak lagi lupa di bagian mana aku berhenti. Gegas aku menuju pintu, membuka kunci dan....
    “Selamat malam, Pak.”
    Anak kecil?
    “Gadis manis, kamu siapa?”
    “Namaku Cinta. Lahir dari sepasang manusia yang gagal.”
    Sial, lelucon apa lagi ini. “Berapa usiamu?”
    “Cinta tak mengenal usia. Ia hanya bisa dinilai dari kebijaksanaannya.”
    “Oh, shit! Biar saya tebak, kamu agen yang bekerja untuk sebuah acara televisi, kan? Di mana kameranya?” aku celingukan bahkan hingga melongok ke lantai dasar. Dari balkon kamar ini, tak ada siapa-siapa yang dapat terjangkau mataku.
    “Cinta tidak kenal kompromi, Pak. Aku adalah cinta sejati yang tak pernah datang sembunyi-sembunyi.” Ia melangkah masuk dan mengambil sebuah cermin.
    “Hei! Siapa orang yang bertanggung jawab untukmu?”
    “Cinta adalah semesta. Pandanglah cermin ini, ia adalah apa yang kamu lihat. Tanggung jawab hanya bagi mereka yang pengecut!”
    “Adik kecil, lanjutkan drama ini besok di sekolahmu, ya. Pulanglah..., saya sangat menyesal harus mengatakan ini, orangtuamu pasti khawatir...,” belum selesai aku mengembuskan napas, ia membanting cermin pemberian Ardhelia itu ke lantai. Hancur berkeping-keping! Keparat kecil!

    “Hei, apa masalahmu! Siapa yang kau cari sebenarnya?!” kutarik lengan kanannya. Mulanya ia berontak, namun kesabaranku sudah hilang. Kuseret ia dan sekarang sudah berdiri di depan pintu!
    “Cinta sejati tidak pernah mencari. Cinta sejati itu saling menemukan!” suaranya meninggi, wajahnya lebih murka dariku. Ia mengentakkan kakinya ke lantai lalu pergi. Aku sudah tak peduli lagi. Terserah ia hendak ke mana setelah ini. Jam sudah pukul 02.00 pagi. Aku bisa datang terlambat ke kantor nanti. Niat hati ingin tenang dengan membaca buku, ini malam kenapa malah makin rumit begini. Pecahan beling terserak ke segala arah. Kuambil sapu dan mengumpulkannya di balik pintu. Besok lagi saja aku buang.

    Mataku entah mengapa terpaku pada buku yang tadi sedang kubaca. Ada dorongan kuat untuk meneruskan membaca tubuhnya. Dan pada bagian yang kutandai tertulis: cinta seharusnya menyembuhkan luka, bukan mendatangkan derita....

    /3/
    Untuk kesekian kalinya, pintu kembali gaduh. Bukan suara diketuk, tetapi dari luar, seseorang memiliki kunci duplikat kamarku. Ia membukanya.
    “Siapa kau?”
    “Pakai ini,” ia melayangkan kaos oblong putih. “Lepaskan baju kerjamu yang berlumur darah itu. Bajumulah yang bakal jadi bukti kunci dan kau tak akan bisa mengelak lagi.”
    “Apa yang kau katakan, Bung?” aku betul-betul bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?
    “Kemarikan kedua tanganmu. Seorang wanita hamil sedang menunggumu di luar. Ayo ikut!” Herannya, aku seperti kena hipnotis. Kali ini aku betul-betul tidak melawan. Aku manut saja berganti baju dan menyodorkan kedua tanganku untuk ia borgol. Lalu aku diajaknya keluar, meninggalkan kamar. Rupanya tidak selesai di situ. Suasana di luar berubah seketika. Sisi kanan, sisi kiri, bagian depan dan bawah lantai kamar berisiknya bukan main. Entah bagaimana aku baru menyadarinya. Orang-orang ramai mendorong-menendangi pintu jeruji. Aneh, pintu kamarku pun berubah seperti dibui. Kapan mereka menggantinya? Kenapa tidak memberitahuku lebih dulu?
    “Hei! Jangan pura-pura tuli! Apakah itu kau yang melakukan semua ini? Jelaskan apa yang sebetulnya terjadi? Apa yang kau mau dari kami?”
    Belum sempat saya menjawab kekurangajarannya, istri saya memanggil dari balik pintu kamar.
    “Makan dulu, Pa. Mama sudah buatkan sup iga sapi kesukaan Papa.” Lihat, betapa beruntungnya saya mendapatkan pasangan hidup seindah dia.
    “Tiga menit lagi papa turun, Ma.”
    “Sudah, deh, Pa. Tunda sebentar. Kerja dengan perut kosong bakal susah berpikir,” ia menyarankan sembari cemberut. Barusan adalah sebaris kalimat yang selalu saya dengar hampir setiap jam makan tiba. Itu yang akan saya rindukan setiap kali pergi jauh dari rumah.

    Saya mengembuskan napas panjang. Masih butuh berpuluh-puluh halaman lagi untuk menyelesaikan apa yang saya tulis. Sedangkan deadline sudah tinggal menghitung hari. Tapi, jangan sampai membuat istrimu marah. Baiklah, saya berhenti sejenak. Makan malam tidak akan membuat hari cepat berakhir. Tak masalah, saya akan tinggalkan sipir, anak kecil, penggerutu, wanita hamil dan..., hei, ke mana si pekerja kantor pergi? Bukankah ia tadi masih di depan penjara?
    “Saya di sini bodoh!” seberkas suara aneh terdengar dari belakang tengkuk saya. “Jangan menuliskan nasib orang lain sesuka dengkulmu. Kau buat saya sengsara hampir di setiap lembar halaman. Kau pikir kau tuhan?” sipir penjara tak berdaya. Ia ternyata sudah dikalahkan. Ada potongan beling dalam genggaman si pekerja kantor. Gawat, saya tidak bisa berkutik. Ia kini sudah menaruhnya di depan leher saya. Sedikit saja saya bergerak, ia pasti tidak akan sungkan menyayatkannya.
    “Apa maumu?” kata saya kemudian, dengan suara bergetar. Sungguh tidak menyangka tubuhnya sebesar ini ketika berhadapan langsung.
    “Kemarikan laptopmu,” saya menurutinya. Kacau! Tugas kantor dan semua pekerjaan saya tengah terancam. Bagaimana kalau setelah ini saya dipecat? “biar saya beritahu padamu cara memulai sebuah cerita....”

    /4/
    Telepon berdering. Badrun meletakkan buku tak jelas itu di lantainya yang kotor. Matanya mencari di sebelah mana ia menaruh telepon genggamnya. Buku-buku berserakan di depan pintu masuk, atas televisi, bawah kasur, kolong ranjang, dalam lemari bahkan sampai ada yang dijadikan bantal dan ganjal pintu kakusnya. Telepon genggam itu belum juga ketemu.
    “Sial, di mana saya menaruhnya? Siapa pula yang menelepon malam-malam begini?” rutuknya. Ia geram mendengar bunyi sember dari teleponnya itu. “Nah, ketemu!” Badrun gegas mengambil telepon yang ternyata tertindih buku di atas televisinya.
    “Halo, siapa ini?” ia asing dengan nomor di layar teleponnya.
    “Saya akan menggila malam ini. Dunia sudah tidak ada yang menarik minat saya. Orang-orang sudah semakin pandai berbohong. Kata-kata hilang makna dan segala yang ada sudah tak layak untuk direnungkan. Buku-buku yang dihasilkan dari para—yang mengaku—penulis, pemikir, ilmuwan, profesor, peneliti, atau apa pun sebutan elitnya tidak lagi menghasilkan apa-apa selain omong kosong. Segala fakta yang difiksikan juga fiksi yang diolah sebaik fakta, semakin sulit dikenali...,” suara dari ujung telepon belum selesai berkata, Badrun sudah memutusnya lebih dulu. Ia lemparkan telepon itu ke luar jendela. Sungguh amat disayangkan. Betapa malang nasibnya, ia akan melewatkan sebuah cerita yang baru saja ingin aku mulai.[]

    Cilegon, 25 Februari 2018




    __________________________
    *) Pernah dimuat di www.Nyonthong.com, (21/05) >>> Preambul: Tokohmu yang Membacakan Cerita

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PRE-ORDER]

    Pengunjung

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?

    (Epigraf | 164 halaman | Rp. 50.000)

    [PESAN]

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    bedah buku #sbtml

    bedah buku #sbtml
    Bedah Buku di SMK Wikrama, Bogor pada: 23 April 2018

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ▼  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ▼  May (2)
        • [Cerpen] Preambul: Tokohmu yang Membacakan Cerita ...
        • [Cerpen] Imam Masjid (Republika, 20 Mei 2018)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (5)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top