[Cerpen-Esai] Merawat Pohon Demokrasi, Merawat Generasi

April 28, 2018

dok. pribadi
Suatu pagi Panca pergi ke pasar tanaman. Dia memilah-milah pot, pupuk, biji-biji sayuran dan buah-buahan. Panca adalah orang yang gemar bercocok tanam. Ia menjadikannya sebagai hobi. Setelah semua sudah didapat, ia bergegas pulang, untuk segera menanam hasil belanjaannya. Bila kau lihat rumahnya, matamu akan dipenuhi beraneka tanaman hias dan pohon buah-buahan. Selain sebagai “petani”, pekerjaan atau profesi utama Panca adalah penulis lepas.

Ketika sampai rumah, seorang teman satu profesinya mengirimkan info perlombaan karya tulis yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Panca mulanya tak begitu peduli. Perhatiannya masih pada tanaman hias yang baru ia beli. Ia taruh ponselnya. Lalu mulai mengambil pot kecil seukuran genggamannya, mengisinya dengan pupuk pilihan dan beberapa biji sayuran dan buah-buahan.

Baru selesai di pot ke-10, ponselnya kembali berdering. Ternyata satu lagi pesan masuk dari orang yang sama. “Bro, ayo ikutan. Sudah waktunya yang muda turun tangan. Ini kesempatan kita menyuarakan pendapat dan gagasan.” Panca hanya memberikan emoticon jempol dan wajah senyum untuk membalas pesannya. Lalu ia meletakkan lagi ponselnya di meja. Ada satu lagi yang dirasa harus ia selesaikan lebih dulu. Panca memang bukan tipe orang yang senang menunda-nunda waktu. Ia mengambil air pakai gayung kecil, lalu menyiramkannya pada pot tanaman tadi. Dibariskannya satu per satu dengan telaten. Selesai, ucapnya.

Di sela waktu istirahat, ia ambil kembali ponselnya dan segera membaca detail dari info lomba yang tadi dikirimkan oleh kawannya. Di pamplet digital itu tertera tema perlombaan: “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”. Ia terkekeh barang sesaat. Tapi setelahnya diam merenung.

Pikirannya sedang menerawang jauh. Ia lupa kapan terakhir kali memberikan hak suaranya. Ia sudah putus asa dengan para pemimpin di negeri ini. Banyak harapan besar yang ia percayakan pada pemimpin tapi akhirnya ia malah merasa dikhianati dengan janji mereka saat mencalonkan diri. Akan tetapi, di usia yang hampir menginjak angka 30 itu, ia mulai memikirkan apa yang dikatakan temannya tadi. Pemuda memang seharusnya bergerak. Bahkan ambil bagian pada hal-hal krusial dan fundamental seperti saat ini. Apalagi, dari info lomba tersebut ia menangkap bahwa Bawaslu berusaha terbuka dan berterima dengan segala pandangan, gagasan juga pendapat dari masyarakat, siapa pun mereka. Saat sedang memikirkan itu, seekor kucing lewat di teras rumahnya dan tanpa sengaja menjatuhkan salah satu pot yang baru ia letakkan. Panca segera menggusah kucing itu dan lekas membenahi tanamannya yang rusak dan tercecar di lantai.

Ketika sedang membereskan pot, pupuk dan biji-biji yang jatuh berantakan, Panca terbetik sesuatu dalam tempurung kepalanya. Ia mendapatkan satu garis yang terhubung antara tema lomba tadi dengan apa yang sedari tadi ia kerjakan. Maka selesai dari situ, Panca bergegas mengambil alat tempurnya. Ia siap untuk menulis. Ia siap menyuarakan pandangannya. Ia siap untuk lomba Bawaslu kali ini.

Tugas dan wewenang Badan Pengawas Pemilihan Umum salah satunya adalah melakukan monitoring, mengawal integritas dan kualitas demokrasi, termasuk menetapkan peserta Pemilu dan bakal calon yang diusung dari masing-masing partai maupun melalui independen. Ia memandang bahwa dirinya yang sebagai pencinta tanaman mengibaratkan diri sebagai Bawaslu. Ketika ia berbelanja tadi, ia tentu tidak asal pilih bahan-bahan keperluan tanamannya. Ia harus memilah pot yang kokoh tapi lentur, pupuk berkualitas, juga biji-biji sayuran dan buah-buahan yang segar juga sehat. Itu tak beda dengan tugas Bawaslu.

Ia memandang pot sebagai simbol dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pot itu yang akan menampung suara rakyat, suara pupuk, akar dan biji pohon yang nanti akan tumbuh berbuah. Karena, pupuk itu mewakili kami, menurut Panca, seluruh masyarakat yang memiliki hak suara. Biji-biji sayuran dan buah-buahan itu adalah calon pemimpin. Kita akan melihat ketika salah satu dari biji-bijian itu disemai, mana yang akan terpilih untuk tumbuh, naik ke atas dan mendapatkan dukungan serta apresiasi yang berupa pujian dan kritikan, yang terwakili atas terpaan angin, juga siraman dari air kran dan air hujan.

Bila semua sudah saling bersinergi, maka akan tumbuhlah pohon-pohon demokrasi. Yang akarnya akan menjalar ke bawah, tanpa melupakan mereka yang mendukungnya, mereka yang membuat dirinya terpilih. Itu artinya pohon yang tumbuh adalah bukti pemimpin yang mau mendengarkan suara-suara rakyatnya, menepati janji politik saat mencalonkan diri. Bila semua itu berjalan dengan baik, maka pohon demokrasi akan berbuah segar. Bisa dinikmati bersama, yang artinya kehidupan orang-orang yang dipimpinnya akan hidup tenteram, makmur dan sejahtera. Namun, bila pohon itu busuk atau mati (hatinya), maka dampaknya akan buruk bagi masyarakat yang dipimpinnya. Mereka akan sengsara, melarat dan jatuh miskin.

Harapan dan keyakinan dalam diri Panca, saat memikirkan hal itu, seketika timbul. Ia membayangkan bila rakyat dan Bawaslu bersinergi, tentu pemimpin idaman akan muncul. Lewat rakyat dan Bawaslu-lah pemimpin akan terlahir, yang berarti menegakkan keadilan bukan lagi omong kosong. Selama kita bersama-sama saling bantu dan gotong-royong untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu nanti, tentu saja harapan memiliki pemimpin yang jujur, berpihak pada kesejahteraan rakyat dan anti-korupsi akan benar-benar terwujud.

Karena, tulis Panca, seperti yang pernah ia baca dari sebuah buku karangan Jon Krakauer berjudul Into The Wild, puncak dari kebahagiaan adalah berbagi, “happiness only real when shared.” Maka setelah mengakhiri tulisan dan pendapatnya, ia bangkit dari kursinya. Ia menuju teras dan mengambil beberapa pot tanaman yang tadi ia taruh. Kakinya membawa ia ke rumah tetangga-tetangga. Ia membagikan pohon-pohon harapannya itu. Ia mengajak mereka untuk bersama-sama gemar bercocok-tanam dan menghias lingkungan, demi merawat generasi setelahnya. Lalu Panca kembali ke rumah, Panca duduk bersila sembari menghadap bakal calon pohon-pohon yang tadi ia tanam dengan mata yang berkaca-kaca.[]

Cilegon, 5 April 2018

You Might Also Like

0 komentar