[Memoar] Bapak dan Sahabat Kecilnya

February 12, 2018

*foto saat peringatan PHBI Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid At-Ta'awun Cibeber, bulan lalu. Almarhum KH. Mursi Qudsi berada di tengah, baris depan mengenakan kacamata dan peci haji. Bapak saya sedang menyambut tamu, tidak ikut foto-foto)
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin....”—[Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]

Kemarin malam bapak sakit. Tubuhnya menggigil dan panas dingin. Ia juga berkata kalau kepalanya pusing. Saya menawarinya untuk periksa ke dokter, tapi bapak menolak. Ya, saya tahu ia akan berkata begitu. Apa yang dialami tubuhnya ini adalah efek dari pikirannya, dugaan saya. Sebab tiga hari sebelumnya, tanggal 07 Februari 2018/22 Jumadil Awal 1439 H, seorang sahabat bapak, meninggal dunia. Kami mengenalnya KH. Mursi Qudsi atau Ustadz Mursi. Namun sapaan akrab bapak ke belio: Syekh. Begitu pun sebaliknya.

*) KH. Hilmi Abdul Majid ketika mengumumkan berita wafatnya KH. Mursi Qudsi di Masjid At-Ta'awwun. Beliau tampak tidak kuat menahan tangisnya dan membendung airmata. (credit video & Foto: Abdul Rofiq)

Saya pikir bukan hanya bapak yang merasa kehilangan. Hampir sebagian besar masyarakat di kampung kami, Cibeber, sedih saat ditinggal pergi beliau. Selain bapak, beliau dianggap kesepuhan dan tetua di kampung kami. Banyak pengajian yang dipimpinnya. Setelah khatam mengaji Alquran di Bapak, saya juga kemudian mendaftar mengaji di Ustadz Mursi. Tak banyak kesalahan yang diperbaiki, sebab metode pengajaran bapak dan Ustadz Mursi tidak jauh berbeda. Beliau juga pengasuh pesantren, yang setiap sore santri putrinya datang berkunjung ke Rumah Baca Garuda untuk sekadar baca dan pinjam buku.
Pak Kiai sahabat bapak sejak kecil. Keduanya sekolah dan belajar di pesantren yang sama. Bapak pernah berkisah, betapa kontrasnya perilaku mereka dahulu. Bapak dikenal bandel dan suka ribut, sedangkan Pak Kiai pendiam dan cenderung menengahi. Barangkali, hingga sekarang pun masih sama. Bapak dikenal sebagai Ustadz yang senang "nongkrong" sama anak muda, bahkan dengan orang yang dulu diajarnya—ia hanya seorang pensiunan guru agama, tak ada gelar Kiai padanya. Mereka pun tidak canggung, karenanya tak heran ketika ingin sekadar meminta saran dan bantuan, beberapa orang akan mendatangi bapak dahulu sebelum menemui Pak Kiai. Semacam menanyakan baiknya bagaimana memulai obrolan dengan sahabat bapak itu. Rumah keduanya satu gang tetapi tidak terlalu berdekatan.
Malam pertama tahlilan kemarin, bapak yang memimpin doa. Namun di malam berikutnya bapak tak sanggup hadir. Banyak warga yang mencari bapak, atau paling tidak menanyakan kondisinya. Apakah ada di rumah? Apakah ia baik-baik saja?
Keesokan harinya kesehatan bapak kembali pulih. Ia kemudian banyak bercerita. Salah satunya soal apa yang dialaminya kemarin malam, sewaktu ia tak bisa menghadiri tahlilan. Katanya, Pak Kiai datang menemuinya di rumah. Beliau "menjenguk" bapak dan bertanya, "kelipun boten hadir, Syekh? Gering nape?" sampai di situ saya dibuat merinding. Banyak faktor kenapa bapak bisa mengalami atau "memimpikan" hal ini, bisa jadi karena betapa dekat dan rindunya Bapak pada beliau. Yang jelas, setelah percakapan yang tak bisa saya tuliskan kelanjutannya di sini antara bapak dan Pak Kiai, bapak terbangun dan melakukan solat malam, untuk kemudian mengirimkan doa untuk sahabatnya.
Banyak sekali yang berusaha ingin saya ceritakan, bahkan sejak hari pertama wafat Pak Kiai. Namun apalah daya, saya dibuat cemas dan seperti "diteror" oleh pikiran saya sendiri. Bagaimana tidak, Ramadhan tahun lalu, saya dipercaya untuk menggarap naskah drama tentang Kampung Cibeber. Saya menulis cerita soal bagaimana keadaan kampung bila ditinggal pergi oleh Kiainya. (Pementasan Drama: “Kampung Cibelenger: Si Mekah Cintil”)
Respons masyarakat dalam cerita itu banyak yang menangis dan nyaris belum siap. Penonton yang hadir terbawa suasana. Tentu saja saya merasa berhasil. Juga tak lepas atas kerja keras kawan-kawan Remaja Islam Masjid Cibeber. Tak heran kemudian banyak sambutan positif dan apresiasi dari warga. Tentu saja kami senang. Lakon drama yang selama beberapa tahun terakhir ditiadakan mulai bangkit kembali. Namun, ketika apa yang kami lakonkan tahun lalu kemudian kejadian hari ini, apa yang bisa saya sampaikan ketika banyak orang yang mengirimi saya pesan, membuat status di medsos bahkan saat bertemu pun menegur, "Dee, kok bisa, ya, mirip sama drama tahun lalu?"
Saya masih gemetar hingga detik ini, bahkan saat berusaha menuliskan postingan ini. Apakah kita sama-sama cemas soal krisis generasi yang dulu dianggap hanya rekaan itu? Bila ditanya siapa penerus Kampung Cibeber, saya berani jawab, "kita semua. Jangan saling tunjuk, tapi saling rangkul. Jangan saling menyalahkan, tapi salinglah memperbaiki."
Usai menyalatkan jenazah Pak Kiai.
Tugas Pak Kiai telah selesai. Beliau sudah tenang di sisi Allah Swt. Semoga amal dan ibadahnya diterima oleh-Nya. Segala ilmunya semoga bermanfaat dan bisa terus diamalkan oleh santri-santrinya dan masyarakat Cibeber. Kini waktunya kita berbuat untuk kebaikan Kampung tercinta ini....
Prosesi pemakaman jenazah Pak Kiai
Mari kirimkan doa untuk guru kita semua. Alfatihah....

Cibeber, 11 Februari 2018


*) credit video: Abdul Rofiq


You Might Also Like

2 komentar