[CERPEN] Pesan Ayah (Biem.co, 28 November 2017)

December 22, 2017

image by biem.co

Sejak kecil, ayah selalu mengajarkanku bersedekah secara diam-diam. Jadi jangan heran ketika di lipatan bukumu, di dalam saku baju, di selipan tas yang biasa kau bawa, atau beberapa meter di depanmu akan kau temukan beberapa lembaran uang kertas atau benda berharga lainnya. Kau tak perlu tahu siapa orang yang menaruh semua hal itu, kau cukup mengambilnya dan meyakini kalau ia adalah sebuah keajaiban; sebuah hadiah dari Tuhan untukmu.
Selain itu, ayah selalu memberikan saran-sarannya di pagi hari. Seperti ketika aku berusia 7 tahun dan hendak masuk sekolah untuk pertama kalinya. “Jadilah anak yang berbakti. Taati apa yang guru katakan padamu, jangan melawannya.” Aku ingat betul pesan itu bahkan hingga saat ini. 
Ayah adalah lelaki yang akan kujadikan panutan. Aku ingin seperti ayah. Begitu ambisius sampai di suatu ketika, aku menemukan ayah, yang aku tahu kemudian, dalam keadaan mabuk. Ia menggebuk pintu kuat-kuat dan meminta ibu bergegas membukanya.

Malam itu aku terbangun oleh suara gaduh yang ditimbulkan Ayah.

“Ayah kenapa, Bu?” Aku nyaris menangis lantaran mengkhawatirkan keadaan ayah. 
“Ayah cuma kecapaian. Kamu tidur lagi saja, ayah sedang butuh istirahat,” jawab Ibu, yang kalau kukenang hari ini, suaranya terdengar begitu lirih.

Aku kembali ke kamar, tapi tidak langsung tidur. Menjadi anak satu-satunya membuat aku merasa kesepian di saat seperti ini. Ibu tengah menemani ayah, sedangkan aku sendirian di dalam kamar. Pikiranku melompat-lompat, kemudian bertanya, apa bakal seperti itu kalau menjadi seorang ayah? 

Beberapa tahun setelahnya, aku meyakini kalau ayah senang mabuk-mabukan setelah ia diangkat sebagai Walikota. Aku merasakan dampaknya hingga di jabatannya yang kedua. Ayah jadi semakin jarang pulang, jarang mengajakku jalan-jalan, dan lebih sering saat sampai rumah ia meluapkan kemarahannya pada aku dan ibu. Ayah jadi tempramen dan begitu sensitif pada hal-hal yang dianggapnya tidak beres. Padahal kami sama-sama tahu, ayah sedang ada masalah di pekerjaannya. 

Satu hal yang paling kuingat betul, ketika hati ayah sedang stabil, ia memanggilku untuk bertemu di ruang kerjanya. Aku penasaran, ada apa? 
“Kenapa takut-takut seperti itu? Aku ayahmu, Nak.”
“Aku tidak takut, aku hanya khawatir mengganggu kesibukan Ayah.” Baiklah, aku berusaha untuk tidak berbohong.
“Bicara apa kamu, Nak, mana mungkin Ayah setega itu pada anak semata wayangnya.” Ayah berdiri dan menghampiriku yang mematung di depan pintu, “maafkan Ayah kalau banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Kamu sudah beranjak remaja, Nak. Rasa-rasanya, baru kemarin Ayah mengajarkanmu naik sepeda,” kenang Ayah. 

Kenapa ayah harus berkata seperti itu? Memori lamaku, di ruangan kerja ayah, kembali terbuka. Ibarat proyektor, ia memancarkan cahaya di atas kepala dan mengeluarkan siluet aku dan ayah yang saling bertukar tawa. Sesekali aku terisak lantaran ayah melepaskan stang sepeda sebelum aku betul-betul siap. Di kali lain aku terbahak, sebab saking semangatnya, ayah terus melaju mendorong sepedaku dari belakang, sampai ia tidak melihat ada lubang di jalan raya, di hadapan kakinya. Ia hilang keseimbangan, lalu tersungkur. Buah jatuh, tidak jauh dari pohonnya. Begitu pepatah berujar. Saat ayah jatuh, tak lama aku pun menyusulnya. Terjungkal dari jok sepeda. Lepas itu kami membiarkan tawa merajai jiwa masing-masing, seolah tiada kebahagiaan hakiki selain hari itu. 

Ah, waktu yang telah lalu. Akankah ia kembali? 

“Ada yang ingin Ayah sampaikan kepadamu.”
“Katakan saja, Ayah. Aku akan selalu setia mendengarnya.”
“Kau anak yang baik. Harapan kami satu-satunya.” Entah ke mana arah ucapan ayah saat itu, aku belum menangkapnya. “Sudah hampir lima tahun Ayah menjabat Walikota. Ayah sangat mengharapkan ada yang meneruskannya.”
“Bukankah Ayah akan mencalonkan diri lagi?” meski mulanya aku tidak peduli, toh aku tetap tahu berita itu.
“Tentu saja, dan Ayah yakin akan terpilih lagi. Tapi setelahnya? Akan amat disayangkan kalau apa yang sudah Ayah lakukan tidak bisa selesai dan jatuh di tangan orang lain.”
“Aku belum siap. Aku tidak tertarik sedikit pun,” kataku akhirnya.
“Kenapa?” tanya Ayah gegas.
“Aku tidak ingin anak-anakku, di kemudian hari, merasakan apa yang aku rasakan sekarang.” Aku berusaha untuk tidak terdengar menyedihkan.
“Kamu lekaslah ikut Ayah. Ada yang harus Ayah tunjukkan.”

Sebaris kalimat itu yang di hari depan membuat aku benar-benar menyesal mengidolakan Ayah. Aku menuruti ke mana ayah mengajakku pergi. Dengan mobil dinas miliknya, aku dibawa keliling kota. Mulanya aku mengira akan diajak berjalan-jalan di taman kota yang baru diresmikannya—sebuah alun-alun yang diidam-idamkan warganya sejak lama. Orang tua teman-temanku pernah berkata, ayah melakukan rekonstruksi jalan raya dan pembangunan taman kota hanya untuk mengambil hati warga kotanya agar memberikan suara untuk melanggengkan ia kembali menjabat sebagai orang nomor satu di kota kami. Aku tahu mereka pura-pura tidak berkata seperti itu ketika aku melintas, tetapi, sepelan apapun, selama ia sedang membicarakan ayah, aku bisa mendengarnya.
“Turunlah,” ucap Ayah sesaat setelah membukakan pintu. Ia persis seperti Mang Yadi, sopir pribadi yang kali ini sengaja tidak ayah ajak.
Aku turun dari mobil tanpa harapan apa-apa. Aku pastikan dengan melihat sekeliling, sedang di mana kami saat itu?
Belasan tahun aku hidup dan tinggal di kota ini, baru sekarang, kataku saat itu, melihat rumah-rumah kumuh; rumah kardus, rumah bambu, rumah tak layak tinggal berderet.
“Ini di mana? Aku tidak pernah kemari, Ayah....”
Ayah menyebut sebuah nama kampung, yang sangat asing di pendengaranku. “Di kampung inilah banyak Ayah temui orang-orang yang butuh bantuan kita. Tidakkah kamu berpikir untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka?”

Aku tidak lekas menjawab. Mataku membelalak. Tanpa bermaksud menyinggung, ini seperti sarang para pengemis. Orang-orang kumuh yang biasa minta-minta ke rumah ternyata ada di kampung ini. Mungkinkah ini alasan ayah pulang larut malam bahkan sampai berminggu-minggu tidak bertemu dengan aku dan ibu? Mungkinkah ini alasan ayah ingin terus menjabat sebagai Walikota? Ada sedikit rasa yang timbul, dan membuat aku berpikir ulang tentang tawarannya.

“Bantu Ayah ambil bingkisan di dalam mobil, Nak.” Tanpa membuang waktu, aku turuti apa kata ayah. Entah kapan ia menyiapkan buku-buku tulis, kue-kue, pakaian dan banyak lagi. Aku juga menemukan amplop berisi uang. Saat itu, kami memang tidak memakai pakaian mencolok. Tak ada juga ajudan ayah menyertai. Jadi wajar bila orang-orang yang sibuk mengais makan di tempat sampah, seorang gadis menjemur pakaian, anak-anak bermain kejar-kejaran, seorang ibu menyusui bayinya di pinggir jalan itu tidak begitu memerhatikan kehadiran kami. Mobil pun sengaja ayah parkir agak jauh dari depan gang perkampungan.
“Taruhlah bingkisan itu di manapun kamu mau. Ayah akan menunjukkan padamu apa itu sedekah sirri.”
“Sir..? Sir apa, Yah?”
“Sedekah Sirri, artinya sedekah sembunyi-sembunyi. Orang-orang tidak boleh tahu kalau kita yang memberikannya.” Ayah berupaya menjelaskan sesederhana mungkin.
“Memangnya kenapa kalau mereka tahu?”
“Kamu juga nanti akan tahu sendiri. Lakukanlah dulu. Ikuti apa kata Ayah.” Ayah memberikan senyum paling tulusnya. Itulah yang akan aku kenang kemudian hari ketika ayah wafat karena penyakit kankernya.
“Cobalah taruh di belakang rumah itu, yang tidak ada orangnya,” tunjuk Ayah pada rumah berdinding kayu. Aku menduga penghuninya sedang bekerja. Segera aku berjalan, melihat-lihat sekitar—untuk memastikan tidak ada yang memerhatikan perbuatanku—, lalu gegas meletakkannya.

Tidak lama berselang, ketika kami mulai sembunyi di balik salah satu rumah, ada seorang bapak yang menemukannya. Ia tampak bahagia sekali. Langsung menaruh di dalam karung goni di balik punggungnya. Ia lekas membawanya berlari menuju rumah yang di sana ada seorang bocah melompat kegirangan. Kupikir bukan karena ia tahu ayahnya menemukan bingkisan dari kami, tetapi karena orang yang ia tunggu-tunggu akhirnya pulang juga. Sama seperti aku, setiap kali ayah pulang, ia selalu membawa mainan, tetapi nyaris bukan itu alasan aku gembira menyambutnya.
“Bagaimana?” tanya ayah tiba-tiba. Aku tidak tahu apakah yang ia maksudkan sama dengan apa yang aku tangkap waktu itu. Namun, aku menjawabnya, “Seru, Ayah. Seperti main game!”
“Kamu suka?”
“Suka banget, Ayah!”

Setelah hari itu, Ayah semakin gencar menanamkan pengetahuan padaku, kalau dengan menjadi seorang pemimpin, apa pun bisa dilakukan.
***
Sejujurnya, aku tidak begitu ingin menjadi seperti sekarang. Terlebih ketika beberapa tahun lalu, setelah pengalaman mengunjungi kampung kumuh itu, aku seperti menjadi pribadi yang berbeda.

“Kamu tunggu saja dulu di mobil, Ayah ada perlu. Tidak lama,” ucap Ayah suatu hari. Bisa saja saat itu aku pulang sendiri atau menyetir sendiri. Ayah kebetulan saja sedang ada di rumah dan sengaja ingin menjemputku yang baru pulang dari Singapura. Aku habis berlibur dengan kawan-kawan kampus. Namun aku menurut saja untuk ia jemput dan menunggunya di dalam mobil ketika kami berhenti di sebuah hotel. Lagi pula, saat itu badanku sedang kelelehan sekali.
“Urusannya akan menjadi rumit kalau Pak Wali sudah ikut campur,” desas-desus itu kudengar melalui orang yang melintas di depan mobil baru Ayah. Barangkali ia tidak menyadari kalau ada anaknya yang mendengarkan. Ia dan seorang temannya yang juga berjas rapi, gegas memasuki pintu hotel dan menurut perkiraanku, ia menuju ke ruangan yang juga dituju oleh ayah.
Sewaktu aku baru menyalakan aplikasi musik di ponselku, ayah menelepon.
“Kamu pulang saja lebih dulu, Ayah sudah menghubungi Pak Yadi untuk menjemputmu. Sebentar lagi dia datang,” katanya tergesa-gesa.
“Ayah....” telepon sudah terputus. Ah, kenapa ayah masih menganggapku seperti anak kecil! Ingin aku keluar dari mobil dan langsung mencari taksi, tapi sial, Pak Yadi lebih dulu melihatku. Ia menekan klakson dua kali dan menyebut namaku satu kali.

***

Barangkali, inilah yang kemudian ayah rasakan. Aku berhasil menjabat sebagai Walikota untuk kedua kalinya, setelah ayah. Kau tahulah, selalu ada campur tangan ayah dan partai yang membesarkannya. Betapa bangga Ayah, sepertinya, meskipun ia tidak bisa menghadiri pelantikanku saat itu. Ia telah wafat bulan lalu setelah beberapa tahun mendekam di penjara, di jabatanku yang pertama. Pada akhirnya, setelah hidup di lingkungan baru ini, aku tahu satu hal: menjadi pejabat pemerintah bukan lagi soal korupsi atau tidak, tetapi sudah ketahuan atau belum. Sebab, itulah yang mendera ayah—juga aku. Aku sudah telanjur kejebur di sebuah sumur berlendir, berbau busuk tanpa pelita dan pegangan. Dan lagi, Satu hal yang lupa aku ceritakan di awal; selain ayah mengajarkanku bersedekah secara diam-diam, ia juga memberitahuku cara korupsi, memberi dan menerima suap secara diam-diam.
Di ruangan yang pengap ini, aku hanya ingin bertanya: apa kabar anakku di rumah?


Cilegon, 7102017



*) pernah dimuat di biem.co: Pesan Ayah - Ade Ubaidil

You Might Also Like

3 komentar