[ESAI] Posisi Pembaca, Penulis dan Buku Cetak di Era Digital

November 18, 2017


 
image by Mr. Qua~

Sebagai Pembaca
Seusai mengisi panel diskusi dalam tajuk, The Last Taboo bersama dua narasumber lainnya, Melissa Lucashenko dan Paul McVeigh, Seno Gumira Ajidarma lekas turun panggung. Sastrawan Indonesia berperawakan tinggi besar dengan rambut panjang keperak-perakan itu tampak tidak begitu terkejut ketika diserbu para pembaca fanatiknya. Pria dan wanita, beragam usia terlihat antusias mendatanginya; meminta foto bersama dan tentu saja memintanya untuk membubuhkan tanda tangan di buku yang mereka bawa masing-masing. Satu di antara mereka adalah saya. Barangkali, salah satu tujuan adanya perhelatan sastra dan seni (konon) terbesar se-Asia Tenggara ini memang untuk “bernorak-norak” dengan penulis/seniman idolanya.

SGA, sapaan beliau, rupanya cukup kewalahan. Meski baginya mungkin dimintai tandatangan di buku karangannya sudah terlampau sering, tetapi sore itu penggemarnya semakin membludak. Bahkan mereka saling berebut. Saya memilih mengalah dan menunggu yang lain menyelesaikan misinya. Bak tim rescue, seorang wartawan berhasil menyelamatkan SGA yang tenggelam di lautan pembacanya. “Saya mau wawancara dulu, ya,” ucapnya sambil lalu, dan sepertinya membuat SGA sedikit bisa bernapas lega. Sebaris kalimat itu mencuat setelah saya berhasil mengabadikan momen berharga dengan salah satu kurator ke-16 penulis Emerging yang terpilih tahun ini—satu di antaranya adalah saya.

Peristiwa di atas hanya terjadi di salah satu main program yang terselenggara dalam acara Ubud Writers and Readers Festival 2017 di Bali, kemarin. Selama satu minggu, tepatnya tanggal 25-29 Oktober 2017, mendatangkan 150 pembicara dari 30 negara, kami merayakan kelahiran buku-buku, karya seni dan beraneka pertemuan dalam panggung-panggung diskusi. Banyak hal yang dibicarakan, mulai dari sastra, isu kebudayaan, sosial, tren masa kini, politik, perkembangan film, musik dan banyak lainnya. Ada sekitar 4 venue yang dijadikan central acara di sekitar Ubud: Taman Baca, Neka Museum, Indus Restaurant dan Antonio Blanco Museum.

Sebagai Penulis
Hal menarik yang berusaha saya tangkap adalah momen di atas. Bukan hanya terjadi pada SGA, tetapi banyak penulis atau pegiat seni lainnya, termasuk saya sendiri. Mulanya saya mengira hal tersebut hanya akan menimpa penulis besar saja, wajar belaka pemandangan seperti tadi. Namun, di satu momen, saat saya mengisi salah satu panel diskusi bertajuk, The Next Chapter of Indonesia Literature, ketika turun panggung, apa yang dialami SGA juga menimpa saya (baca: meski tak sebanyak dia). Beberapa orang, yang sudah memiliki buku, Origins: Sangkan Paraning Dumadi—buku antologi dwibahasa karya ke-16 penulis Emerging—segera meminta tanda tangan dan foto bersama. Dan yang menarik, bukan hanya pembaca lokal, tetapi dari luar negeri pun turut antre dan meminta tanda tangan. Bahkan ada yang bertanya buku tunggal saya dan siap membelinya. Tentu saja ini lahan basah, sejenak saya berpikir ternyata tidak sia-sia saya membawa buku saya yang baru terbit, jauh-jauh dari rumah.

Ada satu hal lagi yang saya alami ketika berada di kabin pesawat. Kala itu saya hendak pulang seusai acara. Namun, saat hendak menaruh tas di bagasi bagian atas, seseorang menyapa dan menyebutkan nama saya. Ternyata ia sedang memegang buku dwibahasa tadi. Ia bernama Hugo, warga Brazil yang juga hadir di perhelatan tersebut. Percakapan kecil pun terjadi, ia duduk satu baris di belakang kursi saya. Kami bertukar kartu nama. Ternyata ia seorang yang bekerja di Kedutaan Besar Brazil yang ada di Jakarta. Ia menjabat di bagian pariwisata dan kebudayaan. “Boleh minta tanda tangan?” katanya terbata. Ia membuka halaman buku yang memuat tulisan saya. “Bisa bahasa Indonesia?” tanya saya sembari menerima bukunya. Lalu ia menjawab kalau sudah hampir 8 bulan berada di Indonesia, jadi mau tidak mau, bicara bahasa Indonesia sebuah keharusan, terlebih bagi orang yang bekerja di Kedubes.

Nasib Buku Cetak
Hal di atas adalah sedikit pengalaman yang saya alami sebagai pembaca juga penulis. Sekarang ini mungkin hal-hal tersebut masih bisa kita dapatkan. Pertemuan antara penulis dan pembacanya, membawa buku karyanya untuk kemudian minta dibubuhi kata mutiara dan tanda tangan, menikmati kekhidmatan berdesak-desakan, juga obrolan hangat yang bahkan kita baru bertemu dengan wajah asing itu. Namun, barangkali, sepuluh atau tigapuluh tahun ke depan, mungkinkah hal demikian masih akan terjadi? Sedangkan buku-buku konvensional (cetak) sudah berubah wujud menjadi digital. Cepat atau lambat, tidak akan lagi kita temui pembaca yang membaui kertas, menyampul kavernya, memeluk buku favoritnya, bahkan untuk sekadar swafoto demi menjaga eksistensinya—atau mungkin menunjukkan betapa ia mencintai buku itu. Nilai-nilai estetika buku cetak perlahan akan hilang, dan lekas masuk daftar benda kuno-pendatang-baru.

Sejauh ini, yang memang dibahas hanya seputar luar daripada isi bukunya. Andai ada yang berkata, “yang terpenting dari buku ‘kan isinya,” ya, memang benar. Tetapi tidak semua hal butuh dijelaskan. Bagi para pencinta buku, menggenggam fisik buku yang demikian solidnya semacam memberi sebuah kekuatan. Bagi sebagian pembaca fanatik, mendapati tanda tangan penulis adalah sebuah “pencapaian” tersendiri. Bisa jadi itu akan memicu ia untuk terus membaca. Percaya atau tidak ia akan termotivasi dan selalu merasa bahwa penulisnya ada besertanya, selama ia membawa buku bertanda tangan itu. Imajinasi macam itu perlu kita rawat. Segala yang ada bermula dari sebuah imajinasi. Manusia tidak akan hidup tanpa imajinasi.

Sungguh hal dilematis adanya perkembangan teknologi yang sampai menyentuh dunia perbukuan ini. Sebab, selain hal tersebut di atas, akan banyak pekerja yang terpaksa menganggur lantaran ia berhenti mencetak buku, mengelem, menggunting, memproduksi kertas-kertas. Bisa jadi perpustakaan juga beralih fungsi—bukan lagi sebagai pengarsip buku (cetak). Akan tetapi, zaman memang akan terus berubah. Barangkali, sekarang-sekarang ini kita belum bisa berterima secara penuh, siapa tahu ke depannya malah kita akan berkata sebaliknya—sama halnya ketika dulu sejarah aksara dan penyebaran ilmu pengetahuan ditulis melalui daun lontar, tulang, perkamen dan bebatuan yang kemudian bertransformasi dalam medium kertas hingga berwujud buku, yang tak lama lagi akan punah(?).[]

Cilegon, 09 November 2017






You Might Also Like

2 komentar

  1. Masa itu sepertinya masih jauh, setidaknya jika pengalaman saya dijadikan pertimbangan. Tahun ini saya menerbitkan buku elektronik di salah satu penerbit yang merupakan anak penerbit besar. Karya saya tidak laku, padahal sudah diiming-imingi model terbaru dalam sistem pernjualan ebook, yaitu "snackbook". Tapi, ya, itu, sih, saya. Jelas akan beda jika saya adalah Seno Gumira Ajidarma. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah kalau masih jauh. Saya juga mengira mungkin 30 tahun mendatang, seperti yang saya tulis di postingan itu Kiyai.

      Delete