Kenali Penulis Emerging Indonesia 2017: Ade Ubaidil [Wawancara bersama Panitia #UWRF17]

September 04, 2017

Di tahun 2017 Ubud Writers & Readers Festival menyeleksi 15 Penulis Emerging Indonesia untuk hadir dan tampil di panggung sastra internasional tersebut bersama penulis, pegiat, dan kreator seni terbesar dunia. Selain itu, karya-karya yang terpilih akan diterjemahkan ke bahasa Inggris dan diterbitkan dalam buku Anthology 2017. Ke-15 Penulis Emerging ini dipilih oleh tim kurasi yang terdiri dari Seno Gumira Ajidarma, Leila S. Chudori, dan Warih Wisatsana. 
UWRF menghadirkan seri Kenali Penulis Emerging Indonesia 2017, di mana blogger UWRF, Putu Aruni Bayu akan melayangkan beberapa pertanyaan kepada masing-masing Penulis Emerging tersebut untuk mengenali mereka dan karya mereka lebih jauh. Minggu ini Ade Ubaidil yang berasal dari Cilegon, Banten akan berbagi cerita mengenai dirinya.
image by www.ubudwritersfestival.com



Bisa ceritakan sedikit tentang diri Anda?
Jawab:

Saya lahir pada 2 April 1993 di Desa Cibeber, Kota Cilegon. Mahasiswa semester banyak di Universitas Serang Raya (UNSERA) jurusan Sistem Komputer. Saat ini sedang bergelut dengan skripsi dan kemalasannya. Dalam waktu yang berdekatan, buku terbaru saya, sebuah kumpulan cerpen, sedang dalam proses penggodokan di sebuah Penerbit berjudul, Surat yang Berbicara Tentang Masalalu, semoga lekas menetas dan dapat dibawa pada acara UWRF17 nanti.

Nama asli saya adalah Ubaidil Fithri. Kebanyakan orang selalu mengira — bila hanya mendengar dua suku kata itu tanpa berjumpa dengan saya langsung, tentu sajapemilik nama tersebut adalah perempuan. Lantaran saya anak bungsu dari 4 bersaudara maka di lingkungan keluarga saya biasa dipanggil Ade. Jadi, saat memutuskan untuk menjadi Penulis, dan bila memang perlu nama pena, maka saya pakai nama, Ade Ubaidil, itu saja. Yang kemudian menimbulkan kesalahan lainnya semisal penulisannya: Ade Ubaydil/Ade Ubaidillah/Adhe Ubaedillah, dan masih banyak lagi.

Apakah masih ingat momen di mana Anda menerima berita bahwa Anda terpilih sebagai salah satu dari 15 Penulis Emerging Indonesia 2017? Ceritakan pada kami.
Jawab:

Tentu saja saya sangat mengingatnya dan barangkali akan sulit melupakannya. Sebaris kalimat yang masih terngiang di telinga saya adalah: “Mohon jangan disebar dulu, ini masih rahasia. Tunggu sampai info resminya rilis di website Senin depan”. Mendapat kalimat itu semacam diberi sebuah rahasia besar tentang bentuk, rasa, dan warna buah Khuldi yang dimakan Nabi Adam AS di Surga berabad-abad lampau, sungguh tak sabar menunggu Senin.

Saya simpan baik-baik kabar dahsyat itu, meski jiwa manusiawi saya keluar, tetap saya kabarkan itu pada orang yang membuat saya percaya diri untuk mengirimkan karya kepada panitia UWRF tahun 2017 ini. Orang tersebut adalah Puput Palipuring Tyas yang beberapa kali menjadi volunteer di UWRF tahun-tahun sebelumnya. Bila ingin tahu detailnya perihal momen yang saya ingat saat mendapatkan kabar bahagia itu, bisa kunjungi catatan yang saya tulis khusus di blog pribadi saya.

Apa judul tulisan Anda yang terpilih? Dan apakah ada kisah di balik tulisan tersebut?
Jawab:

Judulnya Memata-matai Kerja Penulis. Di bawah judul saya menulis, “Kepada Ken Hanggara”. Ia adalah teman brainstorming satu angkatan yang lahir dari satu rahim yang sama; Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Mulanya hanya sebuah grup kepenulisan di Facebook. Ajaibnya, pendiri FAM tersebut lolos UWRF17 juga, ia adalah Bang Muhammad Subhan—dan ini akan jadi momen pertama saya bertatap langsung. Kisah di balik cerpen pilihan ini memang lumayan kompleks—juga menarik. Cerpen tersebut berkisah tentang seorang Penulis yang bisa menulis apa pun tentang sesuatu di sekitarnya. Jadi boleh dibilang, hal lain dari banyaknya kemungkinan tafsir, cerpen itu hendak berkata kalau tidak ada itu istilah writer’s block, belum dapat ide, dan sejumlah alasan dan mitos sejenis. Yang ada, kita malas. Itu saja. Ide itu diciptakan, ditemukan, dan dibuat. Bukan ditunggu. Ide itu apa yang bisa kamu lihat dan rasakan. Ide itu kamu sendiri. Atau aku(?).

Kapan pertama kali Anda mendengar tentang seleksi Penulis Emerging Indonesia?
Jawab:

Tahun 2014 saya terpilih sebagai salah satu peserta Akademi Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Dari salah seorang peserta yang bernama Dias Novita Wuri, saya tahu tentang seleksi penulis Emerging UWRF itu. Mbak Dias adalah Penulis Emerging Indonesia 2014. Saat itu ia izin satu minggu tidak masuk kelas lantaran menghadiri acara UWRF14. Saya pun kemudian kepo.

Siapa yang menginspirasi tulisan Anda?
Jawab:

Yang membuat saya tergugah untuk menulis adalah Agnes Davonar, bukunya yang saya baca berjudul Surat Kecil untuk Tuhan. Barulah dari sana saya mengenal karya-karya Sastrawan Indonesia, sekadar menyebutkan, salah satunya adlah Seno Gumira Ajidarma, nyaris semua bukunya saya punya. Gaya tutur yang lugas, mengalir, dan sering kali surealis, membuat saya ingin menulis sebaik beliau. Berbagai bentuk dan teknis menulis pun saya coba. Makanya, ketika tahu saya lolos menjadi salah satu penulis Emerging UWRF 2017 dan jurinya SGA, saya tak henti-hentinya tersenyum (dan sulit percaya). Ketika karya kita dibaca seseorang yang kita idolakan.

Selain itu saya juga mengidolakan Paulo Coelho dan Ernest Hemingway. Dari Coelho saya belajar kebijaksanaan dan konsep mestakung, sedangkan Hemingway, ia pandai menyentuh dan melibatkan pembaca dengan tokoh-tokoh karangannya. Dua penulis itu sebagian besar saya mengoleksi buku-bukunya.

Apakah asal muasal Anda turut berperan dalam tulisan-tulisan yang Anda hasilkan?

Jawab:

Bila ditanya asal-muasal, rasanya semua mengalir begitu saja, meski tempat lahir juga lingkungan memengaruhi gaya tutur dan hal teknis lainnya.

Apa yang ingin Anda lakukan dan lihat di UWRF17 bulan Oktober mendatang?

Jawab:

Segala yang ada dan dipersiapkan oleh penyelenggara UWRF17, maka itu yang saya nanti-nantikan.

Jika Anda harus terjebak di sebuah pulau terpencil hanya dengan satu buku, buku apakah itu?

Jawab:

Buku tulis kosong. Jangan lupa pula sediakan alat tulis. Saya akan bercerita tentang apa saja yang saya alami layaknya, Christopher Johnson McCandless, tokoh dalam buku Into The Wild. Tapi bila hanya harus membawa satu buku, maka yang sangat saya inginkan adalah buku The Complete Short Stories of Ernest Hemingway yang baru kemarin terbit di penerbit Immortal. Cukup satu buku itu sepertinya saya akan lupa sedang terjebak di pulau terpencil.

Buku apa yang saat ini sedang Anda baca?


Jawab:

Blindness, karangan Jose Saramago, penulis asal Portugis, peraih nobel sastra tahun 1998.

Apa saja yang ada di tas Anda saat ini?

Jawab:

Di dalam tas kecil: Pulpen, stabilo, buku catatan, kartu-kartu (ATM, SIM, KTP, dll.), buku Komedi Empat Musim (Cerita Terbaik dari Italia) pengalih Bahasa Zainal Muttaqien terbit tahun 2004, permen karet, dan kertas-kertas. Di dalam tas besar ada handphone rusak, buku catatan, pensil, kertas-kertas, kabel data, beberapa flashdisk, card readers, dll.

baca juga:

[Catatan] UWRF: Tanggal Istimewa, Konsep Mestakung dan Mimpi-mimpi


*) wawancara ini pernah tayang di laman: www.ubudwritersfestival.com/adeubadil

You Might Also Like

0 komentar