Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • About Me
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    Pasar Kranggot, Cilegon.

    Mengenal Pasar
    Kotler dan Amstrong (1999) mendefinisikan pasar adalah seperangkat pembeli aktual dan potensial dari sebuah produk atau jasa. Ukuran dari pasar sendiri tergantung pada jumlah orang yang menunjukan kebutuhan, memiliki kemampuan dalam pertukaran. Banyak pemasar memandang penjual sebagai industri, dan pembeli sebagai pasar; di mana penjual mengirimkan produk dan jasa yang mereka produksi dan mengomunikasikan atau menyampaikannya kepada pasar, sebagai gantinya, mereka akan menerima uang dan informasi dari pasar.
    Apa yang bisa Anda temukan di pasar selain orang yang bertransaksi jual-beli? Andai Anda memberi waktu sedikit saja untuk mengamati, maka akan Anda temukan bahwa pasar adalah identitas kebangsaan kita. Mulai dari ras, agama, suku, budaya, watak bahkan cara berkomunikasi pun akan kita dapati secara lengkap dan bersatu-padu di dalamnya.
    Pertanyaannya kemudian, masih adakah pasar di daerah yang kita tinggali?

    Sebelum kita menjawab hal tersebut, baiknya membaca dulu pandangan lain dari Handal Ma’aruf (2005) perihal pengertian pasar. Pertama, pasar memiliki arti, ‘tempat’, yaitu tempat bertemunya para penjual dan produsen dengan pembeli atau konsumen. Kedua, pasar yang dijabarkan (lebih luas) sebagai, ‘interaksi permintaan dan penawaran’, yaitu pasar sebagai tempat terjadinya transaksi jual-beli. Ketiga, pasar dalam pemahaman yang lebih detail, ‘sekelompok anggota masyarakat yang memiliki kebutuhan dan daya beli’. Pengertian tersebut merujuk pada dua hal; kebutuhan dan daya beli. Jadi, pasar adalah orang-orang yang menginginkan sesuatu barang atau jasa dan memiliki kemampuan untuk membeli.

    Membaca pemaparan Handri tersebut, berarti toko-toko swalayan (baca: pasar modern) masuk ke dalam sebutan pasar. Hanya saja, yang hendak saya garisbawahi adalah tentang pasar tradisional—pasar, yang di dalamnya masih menganut budaya tawar-menawar. Lain hal bila di pasar swalayan dan sejenisnya; merujuk dari namanya saja swalayan, yang berarti pelayanan (dilakukan) sendiri oleh pembeli karena perusahaan tidak menyediakan pramuniaga. Dan proses tawar-menawar pun nyaris sama sekali tidak akan kita temui.

    Pernahkah Anda merasakan sebuah kejanggalan dan ketidakpuasan—atau seperti ada yang hilang—ketika di pasar membeli sayuran, misal, dalam jumlah besar tanpa melakukan tawar-menawar? Barangkali, selain kita sebagai pembeli, mungkin penjual pun merasakan hal yang sama. Sebab esensi dari pasar adalah adanya prosesi negosiasi tersebut, jangan sampai hilang dan ditiadakan. Asalkan, satu yang mesti diingat, ketika melancarkan negosiasi, jangan sampai menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Sebab intervensi dan lobi yang berlebihan bukan budaya masyarakat Indonesia sesungguhnya.

    Mengakrabi Pasar Tradisional
    Kemarin, sekadar mengisi waktu luang, saya dan kawan-kawan berkeliling di Pasar Lama Serang. Ada banyak cerita yang kemudian terungkap. Misal soal dahulu kawasan tersebut konon pernah dijadikan tempat atau markas PKI (tentu ini perlu kajian khusus), lalu perihal keberadaan Bioskop Apollo—bioskop yang berjaya pada masanya—,penemuan lorong di gorong-gorong saat penggalian tanah, yang diduga peninggalkan masa kolonial Belanda (yang entah sampai sekarang masih misteri) dan juga banyak hal lainnya.

    Keberagaman sejarah, kisah yang terbentuk dan juga orang-orangnya itu sendiri yang membuat pasar menjadi “hidup” dan menarik. Pertanyaannya kemudian, setelah jawaban dari pertanyaan pertama di atas tadi, “ada pasar”, sebersih apa pasar yang ada di tempat tinggalmu? Seberapa layak ia ditempati oleh sebagian besar orang untuk bertransaksi, berdagang dan berjual-beli?

    Pasar, atau sistem perdagangan sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Indonesia sendiri dianggap sebagai negara yang strategis untuk dijadikan pusat dagang internasional. Bahkan, di masa kolonial, negara-negara penjajah rela datang untuk menguasai dan memonopoli perdagangan yang pada masa itu mengincar rempah-rempah dari negara ini.

    Kemudian, jauh setelah itu, seketika saya diingatkan atas dibukanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) / Asean Economic Community (AEC) sejak tahun 2015. Proyek yang telah lama disiapkan seluruh anggota ASEAN yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN dan membentuk kawasan ekonomi antar negara Asean yang kuat.

    Dengan diberlakukannya MEA pada akhir 2015 lalu, negara anggota ASEAN akan mengalami aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terdidik dari dan ke masing-masing negara. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah bagaimana Indonesia sebagai bagian dari komunitas Asean berusaha untuk mempersiapkan kualitas diri dan memanfaatkan peluang MEA yang sudah berjalan hampir dua tahun ini, serta harus meningkatkan kapabilitas untuk dapat bersaing dengan Negara anggota Asean lainnya sehingga ketakutan akan kalah saing di negeri sendiri akibat terimplementasinya MEA tidak terjadi.

    Memberdayakan Local Genuine
    Nah, yang sering didengung-dengungkan adalah seluruh masyarakat digiring untuk menjadi produsen, dalam artian luas, bukan hanya pasar tradisional. Padahal, satu yang sering terlupa adalah soal pemberdayaannya Local Genuine, atau dalam disiplin antropologi dikenal local genius. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini. Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity/identitas (kepribadian) budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19).

    Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Local Genuine atau kearifan lokal sudah barang tentu yang bisa dijadikan gacon masyarakat Indonesia. Ada dua macam, secara umum, kearifan lokal: yang dapat dilihat dengan mata (tangible) seperti objek-objek budaya, warisan budaya bersejarah, kegiatan keagamaan, penganan khas, kerajinan tangan; dan kearifan lokal yang tidak dapat dilihat oleh mata (intangible) yang berupa nilai atau makna dari suatu objek atau kegiatan budaya.


    Akan menjadi panjang sekali penjabaran perihal Local Genuine, namun, ringkasnya, pertanyaan yang timbul, selain menyiapkan “penjual”, sudahkah kita menyiapkan “pembeli”? Sebab mau bagaimanapun, hidupnya pasar tradisional ada dari dukungan masyarakat Indonesia sendiri-khususnya campur tangan pemerintah. Semenarik apa pasar tradisional tersebut? Masih layakkah andai skala kebersihan tempat saja jauh berada di bawah nilai mutu standar? Selain itu, untuk menarik minat, tentu saja dibutuhkan kreativitas dan inovasi.

    Barangkali, kalau kita belum mencapai hal-hal tersebut, pantaskah bila dikatakan kita sudah “merdeka”?[]
    Cilegon, 14 Agustus 2017

    Continue Reading


    image by Encep Abdullah

    —sekelumit ulasan atas buku: Puisi, Telolet dan Kerikil Sepanjang Jalan
    oleh Ade Ubaidil


    Mengakrabi Puisi

    Herman J. Waluyo mendefinisikan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa, pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Untuk dapat membuat puisi dengan baik, kita harus memerhatikan unsur fisik dan unsur batin puisi.

    Dalam buku, Puisi, Telolet dan Kerikil Sepanjang Jalan karya Yasimini dkk—atau 18 penulis peserta menulis #KlinikMenulis dan #Komentar (Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa) yang diprakarsai Encep Abdullah—ini berhasil (sedikitnya) menunjukkan unsur fisik dan unsur batin yang dimaksud oleh Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tersebut.

    Mula-mula kita kutip puisi, Kisah Seorang Penyair karya Yasimini yang ditaruh paling awal halaman buku:
    ....aku menggigil dalam tegukan kekecewaan/penaku tergeletak tanpa berahi. Dalam dua baris puisi tersebut, penulis berhasil memasukkan 3 unsur fisik sekaligus; diksi, kata konkret dan majas. Pemilihan kata bukan berarti harus memasukkan kata yang njelimet. Namun, diksi di sini meminta penulis untuk menempatkan kata secara proporsional dan tepat guna dan kekuatan bahasa itu sendiri. Puisi juga harus konkret, dalam artian kita memahami maksud si penulis—atau tidak sama sekali—melalui petunjuk-petunjuk yang diberikan. Ada logika cerita yang dibangun. Kita boleh tidak percaya kalau manusia bisa terbang, tetapi dalam sebuah karya fiksi, kita bisa meyakinkan pembaca dengan memenuhi struktur logika cerita yang kita buat hingga cerita yang dianggap tidak masuk akal tersebut bisa diterima, contohnya: Harry Potter.

    Mari kembali lagi kita masuk ke puisinya. Di sana ia pun memakai majas personifikasi—benda mati disifati seolah manusia atau memiliki sifat seperti manusia. Pena = berahi. Dan itu sah-sah saja kita temukan di beberapa karya sastra. Beberapa juga bisa kita temukan di puisi penulis lainnya. Menariknya, kontrakdiktif dengan puisi Yasimini di atas, Reza Fahlevy, memberikan contoh puisi “tidak konkret” yang saya maksud: .... aku duduk termangu dalam diam/fokus akan kaca datar penuh warna/jari beradu dengan kotak dalam persegi. Saya telah mengutip beberapa baris puisi berjudul, Tugas. Di baris pertama, ketenangan Reza sebagai penulis cukup terlihat. Sayangnya di baris berikutnya ada upaya “nyastra” yang dipahami beberapa penulis pemula dan sialnya diamini sehingga menjadi sebuah stereotip. Coba perhatikan baik-baik pada baris, “fokus akan kaca datar penuh warna/jari beradu dengan kotak dalam persegi”, kira-kira apa yang hendak penulis katakan? Komputer. Ya, atau sejenisnyalah. Kenapa tidak tulis saja secara “konkret” kalau itu adalah komputer atau laptop atau PC atau monitor atau tablet atau kapsul atau gadget dan segala macamnya itu? Untuk apa repot-repot menjabarkan dan membuat pembaca menerawang?

    Konkret yang dimaksud adalah bila sesuatu itu sudah dipahami secara umum, tak perlulah repot-repot menggambarkannya dalam kalimat lain. Beda hal dengan penggambaran soal perasaan dengan upaya-perumpamaan majas yang memang berguna untuk menguatkan maksud si pengarang.

    Unsur fisik berikutnya adalah pencitraan dan bunyi yang menghasilkan rima dan ritma. Bisa kita temukan dalam baris puisi berjudul, Jalanku karya Ahmad Maulana Azam: walau sesulit diriku/kau penuh kesabaran/menuntun jiwa ini/dalam derap kehidupan. Dalam baris-baris puisi itu, penulis memasukkan unsur fisik berupa pencitraan. Untuk memberikan gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana, untuk membuat lebih hidup dan menarik, dalam puisi penyair juga sering menggunakan gambaran angan. Gambaran angan dalam puisi ini disebut citraan (imagery). Ada macam citraan, bisa melibatkan 5 indera pada manusia juga melibatkan gambaran aksi dan intelektualitas. Pada baris puisi di atas, tampak betul gambaran aksi; dari pilihan kata, “menuntun” dan “derap”, yang sama-sama bisa kita bayangkan perihal sesuatu yang berjalan dan menuju kepada sesuatu yang hendak dicapai.

    Lain hal yang bakal kita temukan pada puisi, Daun Dadap karya Siti Bagja Muawanah. Dalam baris puisinya, ia bermain-main dengan rima dan ritma yang enak didendangkan. Puisi macam ini biasanya cocok untuk dipentaskan dan dilafalkan: ah, diamku sediam dinding/tubuhku bertambah kering/setiap waktu mengingatnya/sadar diri tak sempurna. Bisa kita lihat dari setiap penggalan huruf di ujungnya. Rima dan ritma sendiri ada banyak macamnya: a/a/a/a, a/b/a/b, a/a/b/b, b/a/b/a, b/a/a/b, a/b/b/a, dst. Dalam contoh ini, Siti menggunakan rima dan ritma: a/a/b/b atau setelah diterapkan menjadi: g/g/a/a.
    berdiskusi di kediaman Encep Abdullah, Pontang-Banten.

    Satu lagi struktur fisik yang belum disebutkan adalah tipografi atau lebih dikenal dengan istilah lisentia poetica. Ini pencapaian yang barangkali, untuk saat ini belum berhasil diterapkan dan ditemukan dalam buku karya peserta menulis #KlinikMenulis dan #Komentar ini. Dalam KBBI/EBI sendiri pengertian ringkas soal tipografi adalah ilmu cetak atau seni percetakan. Namun, dalam puisi dipahami sebagai perwajahan puisi (puisi tipografi). Yakni bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Puisi Tipografi lebih mementingkan pada keindahan semata. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi. Bisa ditemukan puisi macam itu pada karya  sastrawan seperti: Sutardji Calzoum Bachri, Joko Pinurbo, Goenawan Mohamad, dls.

    Lepas dari struktur fisik, kita memasuki struktur batin. Adapun bagian-bagiannya menurut Herman meliputi: perasaan, tema, nada dan amanat. Barangkali, soal yang demikian para penulis punya cara tersendiri dalam menyampaikan gagasannya dan bisa merasainya ketika sedang dituliskan. Sebab, apa yang ditulis dengan sepenuh hati, akan diterima pembaca dengan kadar yang kurang lebih sama seperti perasaan yang penulisnya tuangkan ketika menuliskannya; baik itu soal kekuatan emosi, perasaan, hal-hal empirik dan sebagainya.

    Mengakrabi Esai
    Buku antologi ini, selain memuat puisi rupanya menyisipkan juga beberapa cerpen dan esai. Usai bertemu puisi kita disuguhkan dengan esai-esai yang salah satunya dijadikan judul buku ini, Telolet. Entah apa yang melatarbelakangi penggagas dan para penulis sampai akhirnya memilih judul buku; Puisi, Telolet dan Kerikil Sepanjang Jalan(?). Namun, bila bicara fenomena, sebagai sebuah esai, judul, Telolet boleh dibilang sangat aktual dan kekinian. Penulis, yang lagi-lagi Yasimini sebagai pembuka, menyodorkan esainya dengan cukup satu kata tersebut. Mulanya, sebagai pembaca, saya dibuat penasaran dengan apa yang bakal dibahas dalam esainya. Adakah melibat-kaitkan dengan fenomena lain? Saat membaca paragraf awal saya sudah senang sebab penulis menyebutkan perihal berita Ahok yang tak surut-surut, dan juga keriuhan Pilkada di Provinsi Banten. Pertanyaan tiba-tiba timbul dan memantik dugaan-dugaan yang kemudian putus setelah membaca esainya sampai selesai.

    Esai, Telolet ini rupanya tidak mengaitkan hal apa pun dengan sesuatu isu yang sedang hangat. Padahal akan menjadi menarik ketika membenturkan dua hal yang berlainan lalu menyimpulkan perihal kesamaan antara dua kutub yang berbeda dan berhasil membuat pembaca mengangguk-angguk. Ia tidak melakukan itu, atau minimal ada upaya melahirkan pertanyaan dan kegelisahan baru. Ia hanya bicara soal telolet, bunyi-bunyian klakson dari kendaraan (baca: bus) yang kemudian menyamakannya dengan lagu anak-anak yang bermain-main dengan bunyi-bunyi juga seperti, “kukuruyuk”, “guk-guk-guk”, “cit-cit-cit-cuit”, “wek-wek-wek” dan sejenisnya.

    Usai membaca esai ini seolah kita tidak terusik oleh sesuatu dan lewat saja sambil lalu. Semestinya, meski tidak dipahami sebagai sebuah patokan, esai adalah perwakilan personal seseorang tentang sesuatu yang mengusiknya, yang banyak tidak ditangkap oleh orang kebanyakan. Ia bisa menjadi unik bentuknya, menarik temanya, berisi kritik sosial dan penuh pertanyaan serta permenungan-permenungan. Bukan dibaca sekali lalu sudah dan dilupakan—sebab penulisnya juga sampai lupa memasukan gagasannya di tulisannya tersebut.

    Esai berikutnya yang ada kemiripan dengan esai pertama berjudul, Gertam Cabai dan Rumah Tangga yang Mandiri karya Niky Wulandari. Esai ini bagus dalam teknis penulisan, namun ia terlalu dijejali banyak data sampai lupa memasukkan gagasannya dan alasannya ia menulis itu. Tidak jauh beda dengan penulisan berita. Ia menyodorkan fakta-fakta, data akurat dari berbagai lembaga survei perihal produksi cabai dalam dan luar negeri tetapi ia seperti hilang arah. Ia seperti tidak tahu apalagi yang musti dituliskan dalam esainya. Esai adalah opini. Penulis musti menunjukkan pendapatnya dalam karya tulisnya tersebut. Bukan hanya menyajikan data yang orang lain pun bisa mengaksesnya. Pembaca minimal mendapatkan sesuatu dari penulis, bukan dari apa yang penulis rangkumkan.

    Satu contoh yang memenuhi gairah pembaca barangkali pada esai, Urgensi Membaca Karya Sastra karangan Faridatun Hasanah. Sejak judul ia sudah menyodorkan tentang kegelisahannya sebagai penulis (maupun pembaca). Kemudian ia menunjukkan sekelumit bukti-bukti melalui, story telling dan pengalaman (empiris) yang ia sendiri terlibat di dalamnya. Semisal tentang ia bergabung di grup kepenulisan, Komunitas Bisa Menulis, lalu ketika ia mendapatkan sesi sharing-sharing dengan Remy Sylado, sastrawan Indonesia dan segala macam. Setelah itu, barulah kedirian penulis masuk dalam karya tulis esainya dan menjabarkan sekian opini kepada khalayak pembaca.

    Berikutnya, esai yang cukup berhasil bisa kita temukan dalam judul, Pemimpin: Pelayan Kelompok atau Pelayan Masyarakat? karya Miftahul Islam. Ia memulai paragraf—bahkan judulnya—dengan pertanyaan. Hanya ada dua kemungkinan esai ini diselesaikan; pertama, menjawab pertanyaan yang dibuatnya sendiri, atau kedua, tidak menjawabnya tetapi malah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain—meski tetap, memasukkan opini penulis sebagai mana esai seharusnya ditulis. Miftahul menyodorkan berbagai pertanyaan dari berbagai sudut pandang, kemudian ia menunjukkan data-data yang proporsional dan berhasil diurai di akhir dengan memasukkan opini-opininya yang bertebaran di setiap paragraf.

    Mengakrabi Cerpen
    Setelah beberapa esai, kita akan di hadapakan dengan beberapa cerpen. Mari mulai dengan cerpen yang diambil sebagai judul, Kerikil Sepanjang Jalan karya Dadi Naang—mendengar judulnya saya tiba-tiba teringat dengan judul novel karya Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, namun entah, tidak ada korelasi antara keduanya. Dadi Naang menghadirkan tokoh yang bermonolog dengan dirinya sendiri. Tantangannya adalah bagaimana cara ia mempertahankan pembaca dari rasa bosan. Dan rupanya ia berhasil. Satu per satu petunjuk-petunjuk ia tampilkan. Sejak pembukaan, pembaca langsung dilibatkan dan merasa perlu untuk tahu si tokoh sedang berada di mana dan mengapa ia mencari-cari Ibunya (emak):
    Mak, di sini dingin sekali. Dan gelap. Kepalaku juga rasanya pening. Aku di mana, Mak? Ah, aku tahu! Tanah yang kupijak ini, aku hapal sekali. Meskipun di sini gelap aku tahu aku ada di sekolah. Tanah ini yang tiap hari kupijak di ruang kelasku yang tak ada alas lantai....

    Semacam sedang bermain-main layaknya cerita detektif, penulis lihai menarik-ulur rasa penasaran pembaca dan mendapatkan ledakannya di akhir cerita. Judulnya akan terjawab, kegelisahannya akan terlihat ketika cerita menyentuh ending. Dan begitulah cerita pendek bekerja. Ia tidak bertele-tele, tidak pula membuang-buang waktu pembaca. Ia cukup dibaca sekali duduk, namun setelahnya menyisakan pertanyaan dan rasa “kepuasan” tersendiri.

    Cerpen berikutnya karangan Vera Hastuti berjudul, Langit Amaravati. Saya cukup familier dengan nama yang tertera di judul itu. Barangkali, cerpen ini dibuat atas dasar kekaguman pada si tokoh “nyata” atau bisa jadi semacam persembahan untuk seseorang yang spesial. Hal yang berat dari sebuah karya dengan mengambil nama tokoh atau nama apa pun yang sudah sebagian orang kenal adalah isinya itu sendiri. Para pembaca akan sama-sama mengenal dan memiliki daya imaji sendiri di benaknya tentang tokoh tersebut. Namun sayangnya, cerpen ini terlampau pendek dan kurang berhasil memenuhi ekspektasi dan hasrat pembaca (baca: saya).
    saya bersama para peserta #KlinikMenulis dan #Komentar

    Seandainya nama dalam judul itu diganti dengan nama orang lain pun, misal: Markonah, isi dalam cerpen tersebut tidak akan mengalami banyak perubahan. Dan itulah yang membedakan mana “tempelan” dan mana “karakterisasi”. Kita bisa menghidupkan, “Soekarno” sebagai seorang zombie, tetapi kita kudu punya alasan logisnya. Ada karakter tersendiri yang bila kita ganti sosok tersebut tidak akan work. Misal soal tempat dan latar, judul yang kita buat, “Singapura”. Isi dalam naskah kita membahas soal patung Merlion, Marina Bay Sands, Orchard Road, dls. Maka, tidak bisa dengan semena-mena kita ganti judul, “Singapura” tadi dengan “Singaparna”, misal. Karena judul mewakili isi dalam karya tulis yang kita buat. Ada karakter dan sesuatu yang melekat yang tidak bisa lepas dan dipisahkan. Jadi hal demikian, sebagai penulis, bisa menjadi tantangan yang kudu kita taklukkan atau kita hindari sejak dalam pikiran.

    Dan lagi, beberapa memang, sejak halaman pertama, sudah banyak ditemui beberapa typo/kesalahan ketik, namun lagi-lagi bisa dimafhum, karena seiring berjalannya waktu dan disiplinnya berkarya, hal demikian akan bisa dihindari atau minimal dikurangi. Sayangnya, ada kesalahan eja yang semestinya jangan sampai terjadi. Dalam cerpen Vera ini ditemukan typo soal nama. Di awal tertulis nama panggilannya, “Amira” namun di paragraf berikutnya jadi, “Amara”. Barangkali ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih detil, khususnya juga dari editor/first reader.

    Selanjutnya, Moh. Syahril Romdhon dalam cerpen, Datang Bulan rupanya bermain-main dengan unsur komedik. Di awal ia menyuguhkan cerita kekinian, dalam arti sesuatu yang dikhawatirkan terjadi pada generasi remaja. Sepasang muda-mudi yang berpacaran kemudian memadu kasih sampai kelewat batas dan berhubungan intim layaknya suami istri. Sampai di suatu ketika si perempuan terlambat datang bulan. Tentu hal ini membuat gusar dan galau, upaya-upaya pencegahan dilakukan. Sampai berusaha menggugurkan “dugaan” cabang bayi yang terkandung di dalamnya. Meski lumayan panjang, rupanya cerpen ini cukup fokus dan mengena. Ia tidak melebar ke mana-mana selain soal kewas-wasan tokoh-tokohnya, pada judul intinya dan pembaca terlibat di dalamnya. Di akhir—setelah konsultasi pada dokter—ia menyuguhkan kalau apa yang diduga-duga dua muda-mudi itu rupanya hanya sebuah kekeliruan. Karya sastra dalam cerpen ini dibuat sebagai hiburan, meski tak melepas tugasnya sebagai kritik sosial.

    Karena terlampau banyaknya karya yang termuat di antologi ini, barangkali cukup segelintir saja yang bisa saya jabarkan. Namun sekali lagi saya mengapresiasi atas lahirnya karya ini sebab pencapaian tertinggi dari kelas penulisan dan peserta menulis adalah menelurkan karya. Terlepas karya itu baik atau buruk, tentu lain hal adanya.

    Selamat kepada Kang Encep Abdullah dan teman-teman #KlinikMenulis dan #Komentar!

    Cilegon, 29 Juli 2017



    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PRE-ORDER]

    Pengunjung

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?

    (Epigraf | 164 halaman | Rp. 50.000)

    [PESAN]

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    bedah buku #sbtml

    bedah buku #sbtml
    Bedah Buku di SMK Wikrama, Bogor pada: 23 April 2018

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ▼  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ▼  August (2)
        • [ULASAN BUKU] Perihal Perasaan, Kekaryaan dan Kedi...
        • [ESAI] Pasar dan Identitas Kebangsaan Kita
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (5)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top