[REVIEW FILM] The Words: Buku, Penulis dan Skandal-skandal

June 10, 2017

poster official film, "The Words" (2012)
Kasus Afi Nihaya Faradisa ini, yang belakangan ramai jadi perbincangan khususnya di timeline Facebook saya, mengingatkan saya pada film, “The Words” (2012). Seorang tokoh utama bernama Clayton Hammond yang dikenal sebagai penulis ternama. Kisah dibuka dengan scene saat Clayton menghadiri sebuah Public Reading untuk buku barunya. Ia mulai membaca buku tersebut yang kemudian fokus pada karakter fiksi bernama Rory Jansen, seorang penulis yang tinggal di New York City dengan pacarnya, Dora. Film ini boleh dibilang menerapkan cerita berbingkai macam buku kisah, Dongeng 1001 Malam; di mana dalam cerita ada cerita, ada cerita lagi.

Tokoh dalam buku karangan Hammond itu juga ternyata seorang penulis. Rory Jansen diceritakan belum menemukan formula sekaligus keberuntungannya. Saban hari menulis sebuah cerita untuk kemudian dikirim ke penerbit namun lagi-lagi yang diperolehnya hanya sebuah penolakan. Sampai di suatu hari, saat ia sedang bulan madu dengan Dora, yang resmi jadi istrinya, mengunjungi toko barang antik, ia melihat sebuah tas kuno yang dalam pandangannya sangat menarik. Usai itu ia lekas membelinya.

Penonton akan disajikan kisah perjalanan tas itu sampai bisa ke toko barang antik kemudian ke tangan Jansen. Sesampainya di rumah, ia membuka-buka isi tas itu dan apa yang ia peroleh? Sebuah manuskrip novel tanpa identitas yang usang dan seolah sudah ditulis puluhan bahkan ratusan tahun lampau.

Jansen membacanya, ia penasaran juga dengan apa yang tertulis di sana. Sungguh, ia baru mengetahui bagaimana sebuah cerita bagus ditulis, lantas ia terinspirasi. Namun sayangnya, saking ia cinta pada cerita itu, ia berpikir untuk mencoba mengetikkan ulang isinya.

Istrinya tidak sedikit pun curiga, sebab setiap malam tiba, Jansen memilih untuk menulis tinimbang tidur. Ketika pagi menjelang, sang istri menemukan manuskrip itu di meja mesin ketik suaminya yang terlelap; ia membaca dengan teliti, adakah cerita baru, pikirnya. Tak disangka, matanya berkaca-kaca dan untuk pertama kalinya ia benar-benar jatuh cinta dengan apa yang ditulis oleh suaminya—sebab, lantaran tak berani berkata jujur, selama ini ia memuji tulisannya demi menutupi kebohongan-kebohongannya.

Hal berikutnya yang terjadi adalah sang istri mengucapkan selamat dan meminta kepada suaminya untuk segera membawa naskah itu ke penerbit. Tentu saja, sebagaimana film yang sudah diatur, dalam kisah ini sang suami tak bisa menolak. Bahkan untuk sekadar mengatakan kalau apa yang ia tulis bukan dari hasil pikirnya; ia hanya menulis ulang hasil pikiran orang lain yang memang belum ia ketahui identitasnya lantaran tidak tertulis di manuskrip itu—sayangnya bagian ini berbeda dengan apa yang bocah SMA itu lakukan dan alami.

Atas dorongan sang istri, berangkatlah Jansen ke sebuah agensi penerbitan. Ia memberikan tumpukan kertas itu dan dibubuhi namanya sebagai pengarang buku yang ia beri judul: “The Words”.

Tibalah di titik di mana akhirnya, untuk pertama kalinya, tulisannya berhasil dibukukan, ia menyepakati dan menandatangai kontrak penerbitan. Tentu saja senang dan bangga. Novel yang ia temukan tidak sengaja itu menjadi viral, dikenal dan dicetak berjuta-juta eksemplar sampai menjadi fenomenal. Nyaris seluruh warga di negaranya membaca buku itu. Ia diundang banyak acara; bincang-bincang buku, proses kreatif, bedah buku sampai mendapatkan ketenaran yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Akan tetapi...,
Di satu kesempatan, ketika ia sedang duduk di sebuah bangku taman, ada seorang kakek yang meminta tanda tangannya. Gegas ia menyodorkan buku yang berjilid rapi itu. Jansen tentu saja menurutinya. Namun, di sinilah cerita sebenarnya dimulai. Sang kakek ternyata adalah penulis buku itu, ia menulisnya saat Perang Dunia II, dan masih hidup—setting cerita Film ini memang pasca Perang Dunia II. Meski awalnya Jansen menolak dan memilih untuk pergi meninggalkannya, sang kakek mengatakan sesuatu yang barangkali, kalau bukan ia penulisnya, ia tidak akan tahu soal detil-detil manuskrip asli itu; semisal jejak kopi di halaman tertentu bukunya.

Kisah terus bergulir sampai kembali ke acara Public Reading yang dipandu oleh Clayton Hammond. Para hadirin penasaran dengan lanjutan cerita buku terbarunya itu, namun ia berujar yang kurang lebih, “segera miliki bukunya agar kau tahu apa akhir dari cerita yang kutulis”. Acara selesai dan Hammond kembali ke belakang panggung. Ternyata di sana ada seorang pelajar, juga penulis amatir bernama Daniella. Ia seperti hendak membongkar latar belakang Hammond menuliskan cerita itu.

Ending-nya—karena review ini berpotensi spoiler baiknya lekas berhenti kalau tak ingin tahu lebih banyak—Daniella menemani Hammond kembali ke apartemennya. Ia “memaksa” Hammond untuk bercerita lebih banyak soal cerita dalam bukunya itu. Kisah pun masuk ke scene-scene lanjutan. Jansen menjadi frustasi mendapati kebenaran itu. Ia ingin namanya dihapus dari karya itu dan meminta penerbit untuk klarifikasi. Ia rela untuk tidak populer lagi dan dikenal sebagai plagiator, daripada ia harus mengulang-ulang lagi perilaku serupa atau parahnya dikenal sebagai penulis hebat yang menulis bukan atas hasil coretannya sendiri.

Ia berusaha mencari siapa kakek itu, di mana ia tinggal, siapa keluarganya dan sebagainya hanya untuk sekadar meminta maaf dan menyesali keangkuhannya selama ini; yang populer atas karyanya. Namun kakek itu terus menolak dan meminta untuk berhenti melakukan hal serupa dan tinggalkan ia jangan temui lagi untuk hari-hari berikutnya. Ia datang ke kehidupannya hanya untuk menyampaikan kebenaran, sisanya biar Jansen sendiri yang menyelesaikan.

Nahasnya, Hammond mengatakan kepada Daniella kalau tak lama setelah pertemuan kedua dengan Rory Jansen itu, ia telah meninggal. Daniella lalu menarik kesimpulan bahwa buku terbaru Hammond berjudul, “The Words” sebenarnya adalah buku auto-biografi, tentang si Rory Jansen alias si penulisnya sendiri, Clayton Hammond.

Cerita ditutup dengan adegan Daniella mencium Hammond dan menjamin bahwa orang harus mau move on dari kesalahannya. Film diakhiri dengan wajah tersiksa Hammond. Ending-nya memang terkesan menggantung, agar pembaca bisa menyimpulkan sendiri. Kalau menurut hemat saya, di film ini justru perilaku plagiarisme seperti dimaklumi adanya.

Well, kisah ini memang berbicara tentang plagiarisme. Di mana belakangan sedang menjangkiti penulis-penulis pemula yang ingin cepat terkenal. Terlebih di masa ini ketika segala bentuk teks dengan mudah dialih-pindahkan; cukup dengan meng-copy-paste, meng-capture dan menyebarkannya tanpa dibubuhi sumber aslinya. Maka kalaupun kasus Afi ini benar, dan memang sudah terbukti, saya tidak kaget-kaget amat. Wong penulis tingkat nasional saja pernah melakukannya, tinggal bagaimana lihainya saja dalam meramu apa yang akan kita sadur. Bahkan, ada dialog menarik di adegan saat Jansen ingin mencabut hak cipta atas novel yang bukan ia tulis itu, sang redaktur berkata, “percayalah, ini bukan pertama kalinya seorang penulis melakukan plagiat....”

Cilegon, 02 Juni 2017




______________________________________
Judul Film   : The Words
Sutradara    : Brian Klugman, Lee Sternthal
Penulis Skenario: Brian Klugman, Lee Sternthal
Bintang Film   : Jeremy Irons, Bradley Cooper, Zoe Saldana, Olivia Wilde, Dennis Quaid
Genre   : Drama, Romantic
Tahun Produksi: 2012

You Might Also Like

0 komentar