[SELF-DEPRESSION] MENGAPA BUTUH ALASAN UNTUK MENOLONG?

January 18, 2017

https://exofanfictionindonesia.files.wordpress.com

Pernah melihat orang sendirian mendorong motor di pinggir jalan? Bukan, bukan pencuri motor, tetapi seseorang yang ban sepeda motornya bocor atau kehabisan bensin. Apa yang kita lakukan? Terlebih saat mendapati itu kita sedang mengendarai kendaraan pribadi? Berkaca dari diri sendiri, hal yang saya lakukan adalah terus melaju. Pemandangan semacam itu sudah lumrah, tidak berbeda dengan para pengemis, pengamen, gelandangan yang menyebar di jalan-jalan. Saya berpikir, siapa dia (mereka)? Apa urusan saya mesti membantunya? Apa keuntungan saya kalau menolongnya? Saya juga punya kesibukan tersendiri, ada hal yang harus saya selesaikan dan segala macam alasan lainnya. Namun kemudian saya berpikir ulang, kalau terus begini perilaku saya, masih adakah nilai kemanusiaan dalam diri saya?

Studi kasus di atas hanya sebagai salah satu contoh hal sehari-hari yang biasa kita lihat dan saksikan. Ada pengamen masih berusia belia di lampu merah. Entah ke mana orang tuanya, atau mungkin ia hanya sedang bekerja pada orang lain yang memantau gerak-geriknya, saya tidak tahu. Namun apa yang bisa kita perbuat? Tidak ada. Barangkali ketika sedang berhati riang, kita akan berbagi sedikit receh yang nyelip di pojokan kantong celana. Namun itu tidak akan menyelesaikan masalah apa pun. Esoknya ia akan tetap berkeliaran dan tidak ada pelajaran yang bisa diperoleh. Kalaupun hanya menyalahkan, itu tidak menjadikan mereka sadar. Para anak-anak jalanan, preman, punk tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Mereka begitu sebab keadaan, meski kemungkinan mengubah nasibnya sama besarnya dengan merusak kehidupannya sendiri.

Contoh lain ketika ada orang melamar pekerjaan. Kita yang merasa masih ada hubungan saudara atau sebagai tanda balas jasa di masa lampau, pasti akan mendahulukan orang tersebut dibanding pelamar lainnya—sebaik apa pun riwayat hidup dan pengalaman bekerjanya. Selama kita diberi wewenang, kita sewenang-wenang. Itu karena apa? Karena ada alasan untuk menolong. Kita selalu butuh alasan untuk menolong seseorang. Mengapa?

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Sedikit sekali, nyaris tidak ada, manusia yang hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Kita butuh interaksi. Kita butuh komunikasi. Kita butuh bantuan. Tetapi hal yang sering terabaikan adalah bahwa kita lupa memiliki hati nurani. Kita lupa kalau ada rasa yang bernama empati. Kita lupa kalau orang-orang yang tidak beruntung itu butuh bantuan kita. Kita lupa menjadi manusia yang memanusiakan. Kita lupa berprikemanusiaan. Karena kita merasa tidak ada alasan untuk menolongnya. Siapa mereka? Sekalinya kita mau menolong, kita menolong untuk hal-hal yang buruk. Tidak untuk kebaikan. Kita bisa menempatkan mana yang baik mana yang tidak. Namun kita menolak itu!

Saya selalu membayangkan berada di posisi pemerintah. Apa yang mereka pikirkan sewaktu melintas di jalan raya dan melihat para pengemis, pengamen dan gelandangan yang tidur di jalanan yang keras dan tidak nyaman itu? apa yang mereka ingat soal pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang membahas tentang, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Apa yang salah dengan kita, apa yang salah dengan negara ini, apa yang salah? Seandainya itu terjawab, adakah hal yang bisa membuatnya lebih baik? Atau sama seperti saya yang cuma bisa mengeluh dan melenguh dan menuduh dan menuding-menyalahkan kebijakan dan merendahkan kemanusiaan?

Saya selalu merasa beruntung terlahir di keluarga yang baik dan cukup. Namun apakah sebatas itu saja memaknai kehidupan sementara banyak orang-orang yang tengah menahan lapar dan terdampar di dunia yang luas dan buas? Adakah kita butuh menyusun serangkaian alasan dahulu untuk menolong mereka yang sedang sakit dan butuh penanganan dokter? Seberapa penting pendidikan di mata mereka dibanding menghidupi keluarganya yang belum makan dan tak memiliki sandang serta papan yang pantas? Tentu pada akhirnya biaya pendidikan yang mahal menjadi momok dan persoalan yang paling mendasar. Tidak semua mengerti atau barangkali belum merata untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak dan konon gratis itu.

Dan apa yang kita lihat masih dominan di lingkup satu pulau saja. Di negara ini masih ada Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau Papua. Ya, Pulau Papua. Apa yang kita tahu soal pribumi Pulau Papua? Bagaimana kehidupannya, bagaimana pendidikannya, bagaimana cara mereka mempertahankan diri? Bagaimana mereka melalui itu semua dari berbagai keterbatasan yang ada? Adakah cara kita menolongnya dan membuat sesuatunya berubah ke arah yang lebih baik dan signifikan? Adakah media atau pewarta berita yang benar-benar concern menyoroti kehidupan mereka, yang di luar Pulau Jawa ini? lantas masih pantaskah kita terus-menerus meributi hal-hal yang justru menjadikan kita jauh lebih dungu dibanding orang-orang dungu yang tidak mengenyam pendidikan yang layak?

Ada pemimpin menuding pemimpin lain, ada ulama ribut dengan ulama, ada warga sipil saling bunuh, ada artis mengumbar kebodohan, ada yang menyatakan diri ulama namun kehidupannya jauh dari seharusnya, ada fitnah bertebaran, ada adu domba setiap hari, ada keributan antar pelajar, ada partai politik yang saling meludahi, ada anjing menggonggong sesama anjing, ada maling teriak maling, ada klakson saling tunjuk di lampu merah, ada bocah sewa PSK, ada sepasang suami istri beradu kepedihan, ada remaja bunuh diri karena cinta, ada antar penganut agama beradu pendapat, ada penggusuran rumah, ada penghancuran mental, ada pembredelan pikiran, ada pembatasan mempelajari ilmu pengetahuan, ada pemuka agama tidur dengan pelacur, ada mahasiswa teriak kebebasan dan keadilan, ada pemuda mengamuk, ada anak mencekik orang tua, ada orang tua mengkhianati anaknya, ada banyak sekali problema yang disuguhkan setiap harinya. Kita adalah negara kaya!

Bagaimana kita bisa berlaku baik? Bagaimana kita bisa menolong antar sesama? Bagaimana cara kita hidup rukun? Bagaimana kita tahu cara bertetangga yang santun? Bagaimana kita berteman? Bagaimana kita menjaga komunikasi? Bagaimana? Bagaimana? Kita telah hancur oleh perilaku kita sendiri. Kita telah hancur oleh olah media berkepentingan. Kita adalah robot yang telah rusak.

Cilegon, 18 Januari 2017

You Might Also Like

2 komentar