Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • About Me
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    TELAH TERBIT!
    Novel Remaja: Jodoh untuk Kak Gembul



    Penulis: Ade Ubaidil
    Editor: Ariny NH
    Genre: Fiksi Remaja (Romance)
    Cetakan: 1, Desember 2016
    Tebal: 229 halaman
    Penerbit: Arsha Teen
    Harga: Rp. 43.000,- (belum ongkir)


    Blurb:
    Menjadi jomblo adalah traumatik tersendiri bagi Billy, si guru Killer. Bagaimana tidak, gara-gara jomblo, ia harus menerima ancaman dari sang Kakek; kalau belum punya pasangan, ia tak boleh berkunjung ke rumahnya. Padahal, sejak ditinggal Bapaknya, ia sudah menganggap Kakeknya seperti sosok Bapaknya sendiri.
    Bagas, ketua dari Geng BUMB, mau tidak mau harus membantu kakak angkatnya itu. Meski dulu ia sangat membenci Billy sebab ke-killer-annya, tetapi semuanya berubah setelah ia didaulat menjadi ketua OSIS di SMA. Dan Bagas menganggap Uswa, Mugni (Michael) dan Bobby tidak tahu akan hal itu.
    Nahas, sebelum Billy—si Kak Gembul—menemukan pendamping hidupnya, ia harus menghadapi masalah besar dengan Bagas karena sebuah kebohongan; suatu hal yang dirahasiakan dari adik angkatnya. Persahabatan antara guru dan murid itu pun terancam runtuh.

    Pemesanan bisa via:
    facebook: ADE UBAIDIL
    Instagram: @adeubaidil
    penerbit: ARSHA TEEN
    WA: 085959845880.




    Continue Reading
    https://exofanfictionindonesia.files.wordpress.com

    Pernah melihat orang sendirian mendorong motor di pinggir jalan? Bukan, bukan pencuri motor, tetapi seseorang yang ban sepeda motornya bocor atau kehabisan bensin. Apa yang kita lakukan? Terlebih saat mendapati itu kita sedang mengendarai kendaraan pribadi? Berkaca dari diri sendiri, hal yang saya lakukan adalah terus melaju. Pemandangan semacam itu sudah lumrah, tidak berbeda dengan para pengemis, pengamen, gelandangan yang menyebar di jalan-jalan. Saya berpikir, siapa dia (mereka)? Apa urusan saya mesti membantunya? Apa keuntungan saya kalau menolongnya? Saya juga punya kesibukan tersendiri, ada hal yang harus saya selesaikan dan segala macam alasan lainnya. Namun kemudian saya berpikir ulang, kalau terus begini perilaku saya, masih adakah nilai kemanusiaan dalam diri saya?

    Studi kasus di atas hanya sebagai salah satu contoh hal sehari-hari yang biasa kita lihat dan saksikan. Ada pengamen masih berusia belia di lampu merah. Entah ke mana orang tuanya, atau mungkin ia hanya sedang bekerja pada orang lain yang memantau gerak-geriknya, saya tidak tahu. Namun apa yang bisa kita perbuat? Tidak ada. Barangkali ketika sedang berhati riang, kita akan berbagi sedikit receh yang nyelip di pojokan kantong celana. Namun itu tidak akan menyelesaikan masalah apa pun. Esoknya ia akan tetap berkeliaran dan tidak ada pelajaran yang bisa diperoleh. Kalaupun hanya menyalahkan, itu tidak menjadikan mereka sadar. Para anak-anak jalanan, preman, punk tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Mereka begitu sebab keadaan, meski kemungkinan mengubah nasibnya sama besarnya dengan merusak kehidupannya sendiri.

    Contoh lain ketika ada orang melamar pekerjaan. Kita yang merasa masih ada hubungan saudara atau sebagai tanda balas jasa di masa lampau, pasti akan mendahulukan orang tersebut dibanding pelamar lainnya—sebaik apa pun riwayat hidup dan pengalaman bekerjanya. Selama kita diberi wewenang, kita sewenang-wenang. Itu karena apa? Karena ada alasan untuk menolong. Kita selalu butuh alasan untuk menolong seseorang. Mengapa?

    Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Sedikit sekali, nyaris tidak ada, manusia yang hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Kita butuh interaksi. Kita butuh komunikasi. Kita butuh bantuan. Tetapi hal yang sering terabaikan adalah bahwa kita lupa memiliki hati nurani. Kita lupa kalau ada rasa yang bernama empati. Kita lupa kalau orang-orang yang tidak beruntung itu butuh bantuan kita. Kita lupa menjadi manusia yang memanusiakan. Kita lupa berprikemanusiaan. Karena kita merasa tidak ada alasan untuk menolongnya. Siapa mereka? Sekalinya kita mau menolong, kita menolong untuk hal-hal yang buruk. Tidak untuk kebaikan. Kita bisa menempatkan mana yang baik mana yang tidak. Namun kita menolak itu!

    Saya selalu membayangkan berada di posisi pemerintah. Apa yang mereka pikirkan sewaktu melintas di jalan raya dan melihat para pengemis, pengamen dan gelandangan yang tidur di jalanan yang keras dan tidak nyaman itu? apa yang mereka ingat soal pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang membahas tentang, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Apa yang salah dengan kita, apa yang salah dengan negara ini, apa yang salah? Seandainya itu terjawab, adakah hal yang bisa membuatnya lebih baik? Atau sama seperti saya yang cuma bisa mengeluh dan melenguh dan menuduh dan menuding-menyalahkan kebijakan dan merendahkan kemanusiaan?

    Saya selalu merasa beruntung terlahir di keluarga yang baik dan cukup. Namun apakah sebatas itu saja memaknai kehidupan sementara banyak orang-orang yang tengah menahan lapar dan terdampar di dunia yang luas dan buas? Adakah kita butuh menyusun serangkaian alasan dahulu untuk menolong mereka yang sedang sakit dan butuh penanganan dokter? Seberapa penting pendidikan di mata mereka dibanding menghidupi keluarganya yang belum makan dan tak memiliki sandang serta papan yang pantas? Tentu pada akhirnya biaya pendidikan yang mahal menjadi momok dan persoalan yang paling mendasar. Tidak semua mengerti atau barangkali belum merata untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak dan konon gratis itu.

    Dan apa yang kita lihat masih dominan di lingkup satu pulau saja. Di negara ini masih ada Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau Papua. Ya, Pulau Papua. Apa yang kita tahu soal pribumi Pulau Papua? Bagaimana kehidupannya, bagaimana pendidikannya, bagaimana cara mereka mempertahankan diri? Bagaimana mereka melalui itu semua dari berbagai keterbatasan yang ada? Adakah cara kita menolongnya dan membuat sesuatunya berubah ke arah yang lebih baik dan signifikan? Adakah media atau pewarta berita yang benar-benar concern menyoroti kehidupan mereka, yang di luar Pulau Jawa ini? lantas masih pantaskah kita terus-menerus meributi hal-hal yang justru menjadikan kita jauh lebih dungu dibanding orang-orang dungu yang tidak mengenyam pendidikan yang layak?

    Ada pemimpin menuding pemimpin lain, ada ulama ribut dengan ulama, ada warga sipil saling bunuh, ada artis mengumbar kebodohan, ada yang menyatakan diri ulama namun kehidupannya jauh dari seharusnya, ada fitnah bertebaran, ada adu domba setiap hari, ada keributan antar pelajar, ada partai politik yang saling meludahi, ada anjing menggonggong sesama anjing, ada maling teriak maling, ada klakson saling tunjuk di lampu merah, ada bocah sewa PSK, ada sepasang suami istri beradu kepedihan, ada remaja bunuh diri karena cinta, ada antar penganut agama beradu pendapat, ada penggusuran rumah, ada penghancuran mental, ada pembredelan pikiran, ada pembatasan mempelajari ilmu pengetahuan, ada pemuka agama tidur dengan pelacur, ada mahasiswa teriak kebebasan dan keadilan, ada pemuda mengamuk, ada anak mencekik orang tua, ada orang tua mengkhianati anaknya, ada banyak sekali problema yang disuguhkan setiap harinya. Kita adalah negara kaya!

    Bagaimana kita bisa berlaku baik? Bagaimana kita bisa menolong antar sesama? Bagaimana cara kita hidup rukun? Bagaimana kita tahu cara bertetangga yang santun? Bagaimana kita berteman? Bagaimana kita menjaga komunikasi? Bagaimana? Bagaimana? Kita telah hancur oleh perilaku kita sendiri. Kita telah hancur oleh olah media berkepentingan. Kita adalah robot yang telah rusak.

    Cilegon, 18 Januari 2017

    Continue Reading
    image by: google.com

    Belakangan saya sedang berpikir kenapa seseorang bisa saling membenci? Apa alasan terkuat mereka untuk membenci satu sama lain? Kedengkian macam apa hingga berhasil menghasut diri sendiri untuk menjaga jarak dari satu orang atau kelompok tertentu? Atau pernahkah kau membenci seseorang sebab ia membenci sesuatu? Bukankah itu bagian dari kebencian itu sendiri?
    Pertanyaan macam itu terus saja berkelindan dan datang di waktu-waktu yang tidak tepat. Ia bisa saja datang dengan tergesa-gesa dan dadakan lalu hinggap di benak saya. Memaksa saya untuk mencari jawabannya, atau minimal merasa terganggu agar terus memikirkannya. Sungguh merepotkan!

    Cara terbaiknya barangkali dengan menuliskannya seperti ini. Namun sialnya, saya jadi teringat kepada seseorang yang sudah lama tidak bertegur sapa, bertatap muka, melangkah bersama. Dulu kita dekat, amat dekat. Salah satu dari kami memberi jarak seperti spasi atau bahkan tombol enter pada keyboard komputermu. Entah berapa kali tekan hingga sampai detik ini kami benar-benar terpisah jarak, waktu dan rindu. Sudah tidak ada lagi kalimat sempurna yang bisa dibaca.
    [Percaya atau tidak, bahkan saat tulisan ini belum selesai, ada chat baru masuk di What’s App saya. Dan itu dari kamu.... Astaga, sedemikian kilatkah doa saya dikabulkan?]

    Adakah kebencian antara kami?
    Saya tidak bisa memastikannya, yang jelas, di satu waktu tertentu, ia tak berkabar dan disusul dengan hari-hari berikutnya yang kosong tanpa cengkerama darinya. Baiklah, cukup segitu saja tentangnya. Kembali lagi soal kenapa orang gemar membenci?

    Banyak hal yang membuat seseorang hingga akhirnya memutuskan untuk saling membenci. Namun kalau ditarik satu garis kesimpulan, maka jawaban yang diperoleh adalah: PERBEDAAN.
    Orang-orang saling membenci karena mereka berbeda. Bisa soal cara pikir, cara pandang, keyakinan yang dianut, silang pendapat, dan banyak lainnya yang kemudian mengerucut pada satu simpulan lagi: TIDAK SUKA.

    Karena ketidaksukaan kita akan perbedaan itulah yang bisa menimbulkan percik kebencian. Namun, masih ada pertanyaan ganjil; bagaimana bila kita membenci seseorang justru karena satu kesamaan? Misal: mencintai orang yang sama?

    Saya selalu menulis sesuka hati. Dan pertanyaan itu menyelinap barusan saat saya sedang mengetik, yang artinya di luar konsep awal dan tujuan saya menulis ini. Dan karena pertanyaan itulah saya jadi ingat seseorang lagi—yang masih ada kaitannya dengan seseorang diawal tadi. But, anyway, jadi, apa kira-kira jawabannya?

    Boleh jadi saya salah menempatkan istilah yang tepat untuk hal-hal yang sudah disebutkan tadi? Atau andai itu diabaikan, ada kemungkinan lain. Misal si A benci B bukan karena B cinta si C. Tapi si A benci B lantaran si B cinta si C. Lah, sama saja, ya? Tenang, saya bukan kehabisan ide dan tak bisa memecahkan rumus ini, justru saya menemukan rumus baru. orang saling membenci karena dua hal: pertama, berbeda. Kedua, sama. Sebab, seperti halnya cinta, benci tak butuh alasan. Satu hal yang mesti diingat, di lain kesempatan, kebencian itu perlu. Saya tak usah menyebutkannya, tentu setiap nurani bisa memilahnya. Yang jelas, membencilah sewajarnya, layaknya kita mencintai seseorang.

    Oh, iya, hampir terlewat. Yang membedakan antara, ‘tidak suka’ dan ‘benci’ barangkali terletak pada titik tekannya. Semacam, ‘hitam’ dan ‘hitam pekat’ atau ‘hitam metalik’. Hitam, ya, sebatas warna gelap saja. Namun hitam metalik adalah warna gelap yang bercahaya—ini agak rumit sendiri saya menguraikannya. Hitam metalik dapat memantulkan cahaya, sebab nama metalik merujuk pada benda atau sesuatu yang berbahan dasar dan mengandung metal. Namun karena sedari awal saya bicara soal kata sifat (manusia), maka untuk poin pertama berkenaan dengan perasaan. Berbeda soal amsal kedua itu. Titik tekan yang saya maksud adalah ketika kita ‘tidak suka’ pada sesuatu, kita memilih untuk ‘tidak peduli’ dan tak banyak bercakap soal sesuatu hal tersebut. Sedangkan, ketika kita ‘benci’ pada sesuatu atau seseorang, justru kita akan jauh ‘lebih peduli’ dengan cara yang berbeda. Bukannya menjauhi, karena ‘kebencianlah’ kita akan terus berusaha mendekatinya. Hanya saja, yang kita bawa untuknya adalah ‘api’ dan segala sesuatu yang berlawanan dan bersifat negatif. Lebih-lebih yang membuat sesuatu/seseorang yang kita benci itu menjadi semakin buruk dan hancur atau terbakar di hadapan kita dan khalayak ramai. Semakin ia tersiksa dan tampak tak berdaya, maka si pemilik kebencian itu akan terpuaskan dan berhasil ‘orgasme’, sesuai yang dikehendakinya.

    Adakah tujuan dari memupuk kebencian pada seseorang?

    Tak bisa disembunyikan tentu saja, saya sendiri pernah atau bahkan masih (tanpa saya sadari) membenci seseorang. Akan tetapi, kemudian saya berpikir seperti pertanyaan-pertanyaan diawal, untuk apa membenci? Alasan terkuat apa sampai saya membenci orang tersebut? Pada akhirnya, kita kembali padaNya dengan tanpa membawa apa-apa. Bahkan, seingat saya, dulu waktu masih usia belasan, saya pernah membenci kawan dekat saya sendiri. Setelah bertahun-tahun terlewati, dia dan juga saya tak pernah bertegur sapa. Kalaupun ada kesempatan bertemu di satu acara, sebisa mungkin kami menjaga pandangan agar tak saling tatap dan terus saja menyibukkan diri. Namun saya sampai pada sebuah pertanyaan, “kok bisa saya benci sama dia? Dulu karena apa, ya?” dan pertanyaan begok lainnya yang membuat saya terkekeh sendiri. Karena pertanyaan itulah saya membuka diri. Sejahat dan sesakit apa pun ia melukai saya, saya sudah berterima dan berlapang dada. Kata, “maaf” dengan sendirinya meluncur dari masing-masing kami saat saya beranikan diri untuk menegurnya lebih dahulu ketika bertemu. Dan ternyata, hanya soal komunikasi saja. Dia pun sudah hampir lupa alasan kami saling menjauhi dan membenci. Jadi saya rasa, kebencian adalah sebuah perasaan yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak punya tujuan.

    Hal-hal yang berkawan baik dengan kebencian adalah ke-egosentris-an. Contoh kasus di atas menunjukkan kalau saja ‘keakuan’ yang ada dalam diri kita sedikit melonggar, maka perasaan dan perilaku membenci itu dengan sendirinya akan lenyap dan sirna. Ibarat sampah yang kita buang bukan pada tempatnya. Kalau terus menerus kita menjaga perilaku buruk itu, orang-orang akan mengikuti kita karena sudah menganggapnya lumrah. Padahal, sekali saja ada inisiatif untuk membuatkan tempat sampah atau mengarahkan dan membersikan sampah-sampah itu, lambat laun semua akan menjadi indah. Bukan lagi indah pada waktunya, tetapi indah karena kita yang menentukan keindahan itu ingin ditaruh-letakkan di mana.

    Yang sering terlupa sebagai sesama manusia adalah kalau kita diciptakan bukan sebagai pengatur. Barangkali kebencian pun bertalian dengan kata itu. Seakrab dan sekarib apa pun kita dengan seorang teman, kita tidak bisa mengendalikan cara berpikir dan perilakunya. Kita hanya dianjurkan untuk mengingatkan dan menegur, kalaupun boleh lebih dari itu, kita bisa mengarahkan atau menunjukkan jalan lain di antara banyaknya jalan yang bisa ia pilih. Pada akhirnya, kehidupan tidak menyuguhkan penyelesaian. Ia hanya pilihan-pilihan yang bertebaran.
    Cilegon 16 Januari 2017
    Continue Reading

    cover majalah MISSI, vol III, edisi Juli-Agustus 2016

    Apa yang kita ketahui tentang Hari Aksara Internasional (HAI)? Atau coba kita ganti pertanyaannya, apa tujuan dan maksud dikukuhkannya Hari Aksara Internasional yang jatuh pada tanggal 08 September kemarin?
    Peringatan Hari Aksara Internasional pertama kali dilakukan pada tahun 1966. Itu berarti di tahun ini peringatan HAI yang ke-50 tahun. Tujuan penetapan hari aksara tentu saja didasari atas dasar kesadaran para jiwa pendidik yang menginginkan seluruh warga dunia bisa membaca dan menulis. Tidak lagi buta huruf dan kesulitan dalam berkomunikasi. Karena, bila kita pelajar, kepiawaian seseorang dalam membaca dan menulis sering kali lebih efektif sebagai perantara komunikasi dibanding secara verbal. Indonesia di tahun-tahun mencekam pra-kemerdekaan, sebut saja tahun 1965, adalah di mana kebebasan berekspresi belum bisa kita temukan. Jangankan untuk berbicara sedikit saja, ketika kita tertangkap mata tengah berbisik-bisik di sebuah warung kopi saja, serdadu Anti-Soekarno pasti lekas menangkap kita dan mengasingkannya. Beruntungnya, ketika satu pintu ditutup, maka akan ada banyak pintu-pintu lainnya yang terbuka. Begitu pun dengan cara seseorang dalam mengungkapkan ekspresi hidupnya. Kita tahu ketika zaman orde baru, segala macam berita disitir, dibelokkan, kalaupun berbeda dengan ideologinya maka dengan begitu mudah, atas segala kediktatoran dan kekuasaannya, media tersebut bisa dibumihanguskan dalam cara yang tidak terbayangkan.

    Namun meski begitu, masih ada saja para ‘pemberontak’, pendobrak ketidakadilan itu. Sebab mau bagaimanapun kebenaran dibungkam, ia pasti akan terus tumbuh dan tak bisa dihilangkan. Salah seorang sastrawan Indonesia, Seno Gumira Ajidarma, menulis sebuah buku, “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Dan begitulah siklus berikutnya terjadi. Menulis menjadi alternatif yang sangat baik sebagai media kritis dalam mengungkapkan sesuatu keresahan. Dalam hal ini keresahan masyarakat terhadap pemimpinnya. Karenanya, bukan hanya buta aksara saja yang perlu kita bantu, akan tetapi buta akan politik, buta ilmu kritik, ilmu pengetahuan, dan segala macam jenisnya. Sudah terlampau sepuh kita diperbudak dan dibodohi oleh para penjajah.

    HAI adalah hari yang bukan hanya diperingati setahun sekali, tetapi hampir setiap hari harus selalu kita gaungkan. Masyarakat di berbagai dunia memperingati HAI tak lain karena semangat mereka, semangat kita, untuk memberantas buta aksara. Di dalam negeri sendiri, upaya pemerintah untuk memberantas buta aksara sudah menunjukkan hasil yang positif. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengklaim bahwa pada tahun 2005 persentase penduduk buta aksara di Indonesia mencapai 9,55%. Namun, angka tersebut menurun pada tahun 2014, menjadi sekitar 3,76% atau sekitar 6.007.486 orang. Mengingat angka buta aksara di masyarakat Indonesia masih tergolong tinggi, peringatan HAI seharusnya bisa dilaksanakan serentak, dan semua bidang dan civitas pendidik turut andil dan ambil bagian, demi mencerdaskan sebuah bangsa, seperti yang tertera dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, yang hampir setiap hari Senin, khususnya bagi pelajar, sama-sama mendengarkannya ketika Upacara Bendera berlangsung.

    Lantas, upaya apa saja yang bisa masyarakat lakukan untuk membantu menekan angka buta aksara di lingkungannya?
    Pertanyaan tersebut akan menjadi menarik kalau—sampai jawaban yang diurai dibawahnya—semua lapisan masyarakat bisa turut andil. Yang perlu dilakukan pertama adalah:

    1. Mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM)

    Menteri pendidikan sebelumnya, Anies Baswedan, sudah mencanangkan ini. Satu desa satu perpustakaan atau TBM. Entah hal tersebut akan terus berlanjut sampai menyentuh ke bagian nusantara yang paling terpencil atau tidak, sebab ketika semua belum berjalan secara merata, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, melakukan resuffle jilid dua pada 27 Juli 2016 lalu. Dan bapak menteri Anies Baswedan digantikan posisinya oleh Prof. Dr. Muhajjir Effendy. Kita belum tahu apa saja nantinya gebrakkan-gebrakkan dari beliau, selain wacana tentang program “Full Day School” yang kemarin sempat heboh di berbagai portal berita, baik cetak maupun online. Dan akhirnya wacana itu pun dibatalkan sebab sebagian besar respons masyarakat yang begitu reaktif dan kurang sepakat kalau sampai wacana tersebut benar terlaksana.
    Adanya TBM adalah indikasi kalau di tempat tersebut masih ada masyarakat yang peduli akan pentingnya belajar. Kita bisa mengisi kegiatan di TBM dengan gerakan masyarakat membaca, hal ini juga sempat diutarakan oleh Anies Baswedan. Mengadakan lomba-lomba menulis, bedah buku, diskusi-diskusi yang dibuat menyenangkan dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. intinya, kegiatan membaca dibuat tidak lagi membosankan. Berikan sentukan ‘keasyikan’ di dalamnya. Tentu saja pengelolanya haruslah kreatif.

    2. Edukasi Betapa Pentingnya Membaca

    Sebagian besar masyarakat kita, punya cara pandang yang stereotip mengenai pendidikan, atau khususnya membaca. Kegemaran seseorang dalam membaca masih dipandang sebelah mata, atau terkadang seperti pelajar-pelajar sekolah, melihat seseorang yang selalu bermain di perpustakaan dianggap “nggak gaul” dan kampungan. Stereotip itu pun tak lepas dari peran media. Di sebuah film, sinetron, atau cerita-cerita dalam buku pun selalu penggambaran orang yang gemar membaca itu dibuat culun. Sebut saja kalau di film kartun Scooby Doo—film anak 90’an. Kita mengenal tokoh bernama Velma, si kutu buku yang berkaca mata tebal, berpakaian oldies dengan potongan rambut yang ketinggalan zaman. Begitu pun dengan sinetron-sinetron yang tayang di Indonesia hingga hari ini. Jadi, masyarakat terdokrin bahwa membaca sama sekali tidak keren. Padahal, untuk contoh yang cukup baik, dalam film AADC, penggambaran si kutu buku begitu apik dan sesuai, seperti tokoh Rangga. Meskipun tetap digambarkan menyebalkan dalam pandangan kaum hawa, tetapi justru kecuekannya itu yang menjadikannya daya tarik tersendiri.

    Belum lagi masyarakat menengah ke bawah yang berpikir kalau membaca hanya buang-buang waktu dan tidak menghasilkan uang. hari ini, bahkan sejak dahulu, uang adalah segalanya. Pendidikan entah dinomorberapakan. Karenanya, edukasi betapa pentingnya membaca sangat dibutuhkan. Bisa dimulai dengan membuat workshop kecil-kecilan, dengan mengundang para narasumber yang sudah menjadikan literasi sebagai profesinya dan berhasil membuat ia sukses dalam bidang yang digelutinya itu. Bila pihak pemerintah bisa mengkordinir ini, maka barang tentu orang-orang akan kian gemar membaca, lebih-lebih menulis dan kritis dalam menilai segala topik atau pemberitaan yang tengah berkembang di masyarakat.

    3. Perpustakaan di Setiap Tempat

    ‘Belajar bisa di mana saja’, hal itu dulu yang perlu dipegang dan disepakati bersama. Hari ini, segalanya berubah digital. Termasuk buku. Tentu saja itu bisa menjadi mudah bagi kita yang dapat mengakses segala sesuatunya dengan mudah. Tetapi bagaimana dengan mereka yang kehidupannya tak seberuntung kita, orang-orang kota. Tentu saja keberadaan buku bacaan sangat dibutuhkan. Pemerintah harus serius dan tanggap akan hal ini. Kita bisa sama memulainya dengan menaruh buku-buku di warung-warung, kafe, mall, halte bis, stasiun, bandara dan segala macam. Bahkan bila perlu, tentu dengan observasi lebih dahulu, menaruh buku-buku di dekat pohon-pohon jalan, di taman kota dan sejenisnya. Hal ini menimbulkan rasa penasaran seseorang pada buku. Resiko terberatnya barang tentu sebagian buku-buku akan hilang; diambil, dicuri, dijual. Karenanya, kalaupun sampai hal ini ingin diterapkan, tentu butuh pengawasan yang baik dan cermat. Kita membutuhkan relawan-relawan literasi yang benar-benar ingin terjun dan mengikis buta aksara di negara yang kemarin, 17 Agustus merayakan hari kemerdekaannya yang ke-71 itu, negara Republik Indonesia.
    Merdeka!
    Kramatwatu-Serang, 19 Agustus 2016





    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PRE-ORDER]

    Pengunjung

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?

    (Epigraf | 164 halaman | Rp. 50.000)

    [PESAN]

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    bedah buku #sbtml

    bedah buku #sbtml
    Bedah Buku di SMK Wikrama, Bogor pada: 23 April 2018

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ▼  2017 (41)
      • ▼  January (4)
        • [ESAI] MENGHAPUSKAN BUTA AKSARA INTERNASIONAL (Maj...
        • [SELF-DEPRESSION] MENGAPA KITA SALING MEMBENCI?
        • [SELF-DEPRESSION] MENGAPA BUTUH ALASAN UNTUK MENOL...
        • NOVEL: JODOH UNTUK KAK GEMBUL (ARSHA TEEN, 2017)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (5)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top