[CERPEN] SEPASANG SANDAL DI DEPAN PINTU NERAKA (Seword.com, 01 November 2016)

November 27, 2016

 Lukisan karya Gito Waluyo  berjudul “Yang Seiya Sekata”, 2012. Mixed on canvas.100x100 cm. Pernah dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia pada acara IEU KULA 2015.

***

Malam ini aku berkunjung ke neraka.

Aku mencari kakakku yang lusa lalu baru dimakamkan. Sesungguhnyalah aku hendak menengoknya di sana sehari setelah ia meninggal. Ia pasti kesepian. Akan tetapi, karena di rumah hanya ada aku seorang kini, maka aku terpaksa baru menyempatkan diri datang malam ini. Sebab rumah ramai di datangi para kerabatnya yang sekadar menyampaikan belasungkawa. Para kerabat keparatnya itu termasuk orang yang beruntung lantaran mereka tak turut mati oleh miras oplosan.

Ketika hendak masuk tadi, penjaga pintu, malaikat Malik, sempat menginterogasiku.
“Siapa, kau?”
“Tidakkah seharusnya kita bertukar salam terlebih dahulu? ataukah ini alasan Tuhan menempatkanmu menjagai pintu neraka?” mendengar aku menanyainya begitu, ia menundukkan kepala.
Aku masih diam menunggu.
Tak lama, ia mengalah. Ucapan salam terucap dari bibirnya yang hitam pekat.
“Barangkali Kiai atau Ulama atau Nabi harus menjumpaimu sesegera mungkin. Agar kau belajar agama dengan benar.” Aku memberi saran begitu tentu usai menanggapi salamnya. Akhirnya ia mengalah saja. Mempersilakanku masuk dengan satu syarat.
“Jika bukan karena perintah-Nya, aku siap membakarmu hidup-hidup.” Benar menurut kebanyakan riwayat, malaikat Malik tidak bisa tersenyum. Kulit wajahnya kaku dan sepertinya akas. Tak jauh berbeda dengan permukaan sawah yang terpapar mentari di kala musim kemarau tiba selama satu tahun penuh. Mungkin pula ada retak-retak, hanya saja aku tak bisa sepenuhnya dapat melihat. Selain karena ia memakai tudung hitam, kulitnya pun tak jauh berbeda dengan bayangan orang Negro yang terlahir di wilayah Afrika sana. “Sepuluh menit saja, dan tinggalkan sepasang sandalmu di sini.” Ia menunjuk tepi pintu sebelah kiri. Tepat di antara pembatas antara luar dan dalam neraka.
“Lain kali baik-baiklah. Agar banyak yang nyaman tinggal di neraka.”
Aku tak tahu apalagi yang ia utarakan, hanya ada dengusan yang terdengar. Beruntung aku tak lagi menengok ke arahnya. Kalau sampai aku lihat, barangkali bola-bola api sudah keluar dari lubang pori-pori tubuhnya.
Seberapa sucikah neraka sampai-sampai aku harus melepaskan sandal? Apakah surau, langgar, musola tak lebih suci darinya? Belum juga masjid-masjid yang kian tumbuh banyak itu? sepertinya Malik kurang piknik. Sesekali ia harus berkunjung ke dunia. Bahkan untuk tempat sesakral itu saja masih banyak orang yang berani mengotorinya. Apa guna neraka yang dijadikan tempat menampung orang-orang berdosa dan hina-dina diharuskan memasukinya tanpa sandal? Malik..., Malik..., dia mengaku malaikat, tetapi sibuk menunjuk-nunjuk orang agar lekas menghuni neraka, tetapi ia sendiri belum tahu banyak hal. Sungguh kasihan.
Ah, tetapi aku pun tak hendak menuai kerusuhan. Ada dua cara untuk menanggapi sesuatu yang tidak kita yakini; pertama mendebatnya dengan membabi-buta, atau mengalah sebab kewarasan tak perlu diutarakan. Jadi, toh, aku menurutinya saja. Untuk syarat sepele macam itu tak perlu didebat serius. Hanya akan buang-buang tenaga, hingga tujuan mula dan utama kita jadi terabaikan.
Baiklah, aku sudah berada di neraka. Terlepas dari aroma anyir darah, daging hangus, tai tumpah-ruah di tembok juga atap, ada hal lain yang jauh lebih menarik. Ternyata, neraka seperti sebuah ruangan pembuatan film. Banyak seliweran aktor-aktor sepanjang pintu masuk tadi, dengan aneka topeng hewan dan makhluk aneh. Banyak pula alat dan perlengkapan syuting yang sebelumnya pernah aku temui di dunia. Mula-mula di sebelah selatan ada ruang kecil yang berisi dua penjaga—sepertinya malaikat—tengah memegang cambuk sebesar tiang listrik. Setiap kali disabetkan ke korban, akan mengeluarkan bunyi seperti petir, cahaya berkilat-kilat dan sesaat ruangan bergetar. Tanah atau entah apa yang jadi pijakan kakiku bergoyang sesaat. Tak jauh dari sana ada salah seorang malaikat yang menyiramkan air yang mendidih ke ubun-ubunnya—aku bisa mendengarkan suara ‘cesss’ meski dari jarak yang lumayan. Barangkali itu suara otak yang meleleh.
Aku berlanjut menoleh ke ruangan kecil di sisi barat. Tinimbang dikatakan menyeramkan dan sadis, ini lebih terlihat konyol. Bayangkan saja, badan si pendosa di lempar terlebih dahulu oleh dua orang malaikat bertudung ke langit-langit, kemudian satu orang lainnya menyabet-nyabetkan pedang seperti milik para Samurai Jepang—hanya saja ini 100 kali lebih panjang dan besar—ke hampir seluruh bagian tubuhnya, tentu kau tahu setelahnya. Seluruh bagian tubuh termutilasi dan menumpuk bak sampah. Tetapi tunggu dulu, dari sekian banyaknya potongan-potongan tubuh itu, semuanya kembali ke bentuk semula. Tanpa ada hidung yang tertukar, bagian telinga terbalik antara kiri dan kanan, lebih-lebih penis di arah belakang, atau payudara di punggung. Semuanya kembali utuh. Bergerak sendiri dan mandiri. Tanpa lem perekat juga lakban. Dan bagian lucu juga bagian buang-buang waktunya dari hal tadi adalah semua tubuh itu kembali dilempar dan segalanya terulang lagi. Ratusan juta kali. Kira-kira, berapa upah untuk ketiga malaikat itu, ya? Apa tidak membosankan bekerja demikian? Atau mereka malah asyik, sampai lupa caranya berimprovisasi. Tak adakah niatan untuk mencoba gaya baru? semisal mereka saling bunuh begitu? Toh, nanti akan utuh kembali, barangkali.

Sisi utara, timur, tenggara, juga arah lainnya, tak begitu aku perhatikan bentuk hukumannya. Yang aku perhatikan lamat-lamat justru wajah para korbannya. Adakah salah satu di antara mereka adalah kakakku? Ini sungguhpun menyulitkan. Sebab sebagian wajah mereka telah berubah. Tampak serupa topeng beraneka rupa binatang, tetapi sebenarnya itu nyata dan menjadi bagian dari wajah mereka. Belum lagi tampilan perutnya, bokongnya, dadanya, bibirnya, kakinya, dan bagian tubuh lainnya yang tak lazim aku temui di dunia.

Tiba-tiba sesosok malaikat datang ke arahku. “Apa yang hendak kau cari?”
“Bukan apa, tapi siapa tepatnya,” kataku cepat mengoreksi.
“Kurang ajar betul. Siapa dirimu belaga seperti itu?”
“Sabar dulu, Mas Malaikat. Adakah warung kopi di sini? Kita bisa bicara baik-baik. Sebab, otak yang beku perlu dihangatkan, agar mencair. Tak mudah emosi.”
Ia bersiap mengayunkan palu maharaksasa di genggamannya. Mulanya aku dibuat gentar, beruntung Malik datang. Sepertinya ia sudah mendengarkan ceramah Kiai di dunia, ia tahu caranya menolong.

“Tahan dulu, Zabaniah. Tahan!” ia melerai. Gayanya seperti seorang satpam yang mencoba menghentikan kerusuhan antar-kampung. “Tuan, begini sajalah.” Kali ini ia mengarah ke wajahku.
“Ya, bagaimana?”
“Aku tahu siapa yang hendak, tuan, cari. Biarkan aku yang antar saja. Asal bersedia berjanji, setelah berjumpa tuan segera pergi. Sebab waktu kesepakatan kita hanya sisa sedikit lagi.” Malik kehilangan wibawanya. Ia seperti bawahan yang baru mendapati omelan dari atasannya.
“Kenapa tidak bilang begitu sejak tadi, Malik. Kan aku tak perlu repot-repot menyeleksi wajah orang-orang seperti memilih calon istri.”

Lantas Malik mengajakku ke sebuah tebing. Kami sudah tiba dan berdiri tepat di ujungnya yang tinggi dan curam.
Malik menunjukkan sebuah jembatan yang hampir samar dan tak kasat mata. Ia membalikkan badan berusaha menjelaskan padaku, tetapi sebelum suaranya keluar aku menahan, “aku tahu, Malik. Itu jembatan Shiratal mustaqim.”
Di bawah jurang ini, ada lautan api. Ombaknya tidak menggulung ke tepian, tetapi bertubrukan. Barangkali bak kepala banteng yang saling adu, saling hantam. Celakanya bukan itu bagian paling mengerikannya. Pada bagian tengah laut, banyak orang-orang timbul-tenggelam. Tak ada pelampung, perahu, atau tim evakuasi. Mereka semua hanya bisa berteriak-teriak meminta tolong sembari memohon pengampunan Tuhan. Ada yang menyebut-nyebut segala kesalahannya, ada yang berjanji tak lagi melakukan dosa, ada yang diam saja sembari menangis dan menjerit sekencangnya yang ia bisa. Namun ombak api yang berkobar-kobar, beraneka warna hitam, putih, biru, kuning, dan merah itu bercampur-aduk. Beradu. Bertubrukan. Bergulung-gulung. Menerpa-nerpa berulang-ulang.
Tahukah apa yang membuat aku tak percaya? Orang-orang yang aku lihat itu, yang berhasil menampar-nampar letak hatiku, membolak-balikkannya, berhasil memancing pertanyaan-pertanyaan yang tiada seorang pun mau menjawabnya. Mereka yang timbul-tenggelam itu berpakaian gamis dan bersorban. Aku mendengar salah seorang dari mereka memanggil-manggil namaku dan ketika aku menoleh ia berkata, “aku guru mengajimu dulu. Bantulah aku, Nak.” Bulu halus di tubuhku meremang. Ada apa sebenarnya?
Belum lagi penghuni neraka lainnya. Yang terapung-apung di bagian tengah itu adalah para penegak hukum, para pemimpin, pejabat pemerintahan, orang-orang yang rajin mengaji dan datang ke surau. Barangkali—hanya dugaan tak mendasarku—jumlah mereka mendominasi ketimbang orang-orang bertato, berpakaian ketat tidak syar’i, para pemabuk, penjudi, pemerkosa, penzina. Yang jelas-jelas secara hukum mereka bersalah. Ada apa, ini?

“Seharusnya aku melihat dia di antara mereka, Malik.”
“Apa dasar, tuan, berkeyakinan semacam itu?”
“Ia pemabuk. Ia tiada rajin salat. Lebih-lebih mengaji. Sudah pasti ia ada di sini, Malik.”
“Tuan, Tuhan bukan?[1]
“Apa-apaan, kau ini, Malik. Jelaskanlah, lekas.”
“Apa tuan selalu berada di sisi Kakak, tuan, selama ia hidup? Apa tuan tahu hal lainnya yang ia lakukan?” aku tak bisa menjawabinya. Aku geleng-geleng kepala. Wajahku panas. Sesuatu menggenang di mataku. Sebab mau bagaimanapun, kakakku jarang sekali pulang ke rumah.
“Begitulah manusia. Dari pengetahuannya yang terbatas, mereka selalu merasa tahu segalanya. Bahkan soal kehidupan seseorang yang dinilai secara sepihak.” Malik berjalan mengitari tubuhku yang mematung. “Segalanya terjadi karena kehendak Tuhan. Tetapi manusia selalu lancang berlaga mendahului-Nya. Padahal Tuhan Mahatahu akan apa yang manusia lakukan.”
“Tapi, Malik, segalanya tertulis di kitab suci. Hal-hal apa saja yang berdosa dan apa saja yang bernilai pahala. Dari situ kita dapat melihat seseorang layak ditempatkan di surga atau neraka.”
“Layak?!” Malik membentak. Kali ini aku tak dapat mengelak dan menyalak. “Manusia memiliki keterbatasan dalam berpikir. Tetapi kenapa seberani itu? kami, para malaikat saja tidak menyanggupi ketika harus menjadi khalifah di bumi. Tetapi, manusia, dengan gagahnya menyepakati. Padahal kerusakan ada pada kalian, wahai manusia. Akan banyak pertumpahan darah, berebut kekuasaan, tak kenal kasih sayang yang kekal.”
“Bukan itu yang ingin aku ketahui, Malik. Aku hanya ingin tahu ke mana Kakakku? Kenapa ia tak ada di sini?” suaraku bergetar. Aku merunduk dalam, tak berani menatap mata Malik yang menusuk dan membakar.
“Itulah sekali lagi kesalahan manusia. Bahwa sesungguhnyalah, penempatan surga dan neraka hanyalah hak prerogatif Allah. Tiada satu pun dari makhlukNya yang bisa memastikan itu, sekalipun Rasulullah, kekasih-Nya.”
Kakiku gemetar lemas. Seketika aku ambruk berlutut.
“Waktumu sudah habis, tuan. Kesepakatan kita hanya sampai di sini.” Dua malaikat mendatangiku. Mereka lekas menggandeng masing-masing lenganku.
“Berikan aku waktu sedikit lagi, Malik. Berkawanlah denganku.”
Aku diseret menjauh. Bukan, bukan ke pintu masuk yang semula aku lalui. Tetapi aku di bawa ke tepi jurang tadi, hanya saja kali ini jauh lebih tinggi.
“Sungguh menyedihkan, manusia. Bahkan ludah yang sudah dimuntahkan ke tanah sanggup ia telan lagi.”
“Baiklah, Malik, aku menyerah. Izinkanlah aku menjumpai, Tuhan. Ada satu hal yang ingin aku tanyakan.”
“Katakanlah, sepelan apa pun suaramu, Tuhan pasti mendengar.”
Dua malaikat di kedua belah sisiku menghentikan langkahnya. Aku terengah-engah mengatur napas.
“Kenapa sandal itu tak boleh kubawa masuk? Apakah neraka terlampau suci ketimbang masjid?” aku seperti setengah melantur. Namun aku tak kuasa menimbun rasa penasaran ini.
“Oh, soal itu. Begini, sebelum aku jawab, coba tuan ingat baik-baik dan dengarkan pertanyaanku dulu. Sandal siapakah yang tuan pakai sebelum masuk ke neraka?”
Di antara kesadaran dan ketaksadaranku, aku mengingat. Seketika saja tak kuasa aku menjawabinya. Tubuhku bergetar hebat. Kepalaku mengeras dan airmata tak henti-hentinya meleleh di wajah. “Mohon ampun, ya Allah, atas sangkaan-sangkaanku.”
“Begitulah bangsa kalian yang dianugerahi hawa nafsu. Kesombongan tak secuil pun pantas kalian genggam. Memohon ampunan ketika sudah berada di neraka adalah hal sia-sia.” Sayup-sayup aku mendengar suara Malik. Dan jawabannya sesuai dengan rekaanku. Ia berkata, “Sandal itu milik mendiang Kakakmu. Haram baginya memasuki neraka sedang pemiliknya berada di sorga. Sungguh Mahasuci dan Mahabesar Allah. Bila Dia berkehendak, langit pun bisa runtuh, gunung pun seketika hancur-lebur.”
Aku tak bisa keluar dari neraka. Sebab hal berikutnya yang terjadi adalah tubuhku melayang. Kedua malaikat itu melemparkan aku jauh-jauh ke tengah lautan, hingga mendarat tepat di hadapan guru mengajiku.[]

Cilegon, 05 Juli 2016/
30 Ramadhan 1437 H.
  


*) Cerpen ini terinspirasi dari cerpen fenomenal berjudul, "Robohnya Surau Kami" dan "Man Rabbuka" karya A.A Navis. Juga tafsir secara bebas atas lukisan karya Gito Waluyo  berjudul “Yang Seiya Sekata”, 2012. Mixed on canvas.100x100 cm. Pernah dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia pada acara IEU KULA 2015.

**) pernah dimuat di: seword.com

  




[1] Meminjam bait pertama puisi Sapardi Djoko Damono berjudul, “Tuan”.

You Might Also Like

5 komentar

  1. keren
    rasanya seperti terhanyut lalu tiba2 terbangun dari mimpi itu yang q rasakan ketika sampai pada penutup cerita "Kedua malaikat itu melemparkan aku jauh-jauh ke tengah lautan, hingga mendarat tepat di hadapan guru mengajiku"

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih atas apresiasinya, semoga bisa diambil hikmahnya :)

      Delete
  2. Cuma satu kata, kata versi bahasa gaul "ANJRITT BANGKEEE" keren banget bang, seru dan menggelitik

    Versi Bahasa Syar'i "Subhanallah, ini sungguh luar biasa dan tamparan keras bagi kita yang kadang kala sering merasa paling benar

    By : KINASUDAR HITAF

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Kinasudar sudah mampir dan sempat membacanya. Silakan di share ke teman-teman dan semoga bisa sama-sama kita pelajari dan menafakurinya :) ;)

      Delete
  3. I have read this post till the end, though it is long enough. It may sound ridiculous, but I still can not understand the main idea of it.

    ReplyDelete