[ESAI] RIDWAN KAMIL: STANDARDISASI PEMIMPIN INDONESIA MASA KINI (seword.com, 24 Agustus 2016)

August 25, 2016

image by: klik



Pengantar tulisan ini barangkali dimulai dengan pertanyaan begini, “siapa yang tak mengenal Ridwan Kamil atau Kang Emil?”
Saya tidak memiliki data akurat tentang berapa banyak orang yang mengenal beliau, dan orang yang tidak mengenalnya. Hanya saja, di era digital macam sekarang, hal demikian sulit sekali untuk dinafikan. Setakpedulinya kita pada pejabat pemerintahan, akan tetapi, bila melihat dari media pemberitaan; baik cetak, audio-visual, maupun digital atau online, saya rasa sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya, pastilah akan mengenal siapa sosok Ridwan Kamil yang dimaksud. Kelahiran Bandung, 04 Oktober 1971 tersebut adalah seorang pejabat publik di Kota Bandung saat ini, menjabat sebagai Walikota untuk periode 2013-2018 mendatang. Di usia yang terbilang muda tersebut beliau sudah memijaki tangga-tangga kesuksesannya. Bukan hanya itu, kesuksesan saja tidak cukup bila tidak dibarengi dengan kebermanfaatan yang maksimal bagi orang banyak. Dan saya rasa, beliau sudah menggapai keduanya; sekalipun dengan catatan-catatan kecil di belakangnya yang harus segera dituntaskan.

Saya sempat kebingungan, harus mengorek atau mengambil gagasan apa ketika ingin menuliskan artikel tentang beliau. Tentu saja bukan karena kesulitan mencari bahan referensi atau segala macam, justru saking banyaknya media yang memberitakan sosok pemuda bersahaja dan memiliki sense of humor yang tinggi itulah yang menjadi alasannya. Namun meski demikian, saya tetap ingin menuliskan artikel ini lantaran dalam penilaian saya, pengamatan awam saya yang sampai sekarang masih menjabat sebagai warga sipil yang lata ini, Ridwan Kamil adalah ikon pemuda dambaan emak-emak yang dimiliki Indonesia saat ini. beliau bisa dikatakan sebagai role model pemimpin muda yang kreatif, penuh gagasan-gagasan cemerlang, dan inovatif. Barangkali latar belakang pendidikan beliau juga yang menjadi pengaruh terbesarnya dalam membuat kebijakan-kebijakan yang diterapkan di kota yang dipimpinnya itu. Mengambil jurusan Teknik Arsitektur di Institut Teknologi Bandung pada tahun 1990-1995, kemudian melanjutkan S-2 jurusan Master of Urban Design di University of California, Berkeley pada tahun 1999-2001 dan sempat menjadi tenaga ahli atau bekerja secara profesional sebagai arsitek di berbagai firma di Amerika Serikat. Itulah sedikitnya yang menuntut beliau untuk terus bekerja kreatif. Dan terbukti, Bandung menjadi contoh salah satu kota yang telah bertransformasi dan menerapkan Kota Cerdas (Smart City) di Indonesia. Bukti konkretnya adalah didirikannya Bandung Command Center (BCC) sebagai pusat pengawasan realtime Kota Bandung.

Bandung disiapkan agar menjadi kota yang berbasis teknologi yang diintegrasikan pada pelayanan publik untuk mencerdaskan warga dan kotanya. Kriteria utama yang digunakan untuk Indeks Kota Cerdas adalah kondisi ekonomi (ekonomi pintar), interaksi sosial antara masyarakat dan pemerintah yang didukung oleh TI (masyarakat cerdas) dan lingkungan (lingkungan pintar). Kota Cerdas tentu saja bukan hanya kotanya—yang dalam hal ini infrastruktur, sarana publik, sarana pemerintah—melainkan warganya pula dituntut cerdas dan mau turut andil mengambil peran sebagai pelopor sumber daya manusia yang baik. Selain itu, BCC juga memiliki fitur tentang data-data cuaca, peta, video analisis, video feed, special vehicles location, dan fitur menarik lainnya. Pemantauan tersebut tentu saja diperoleh atas kerja sama dengan berbagai lembaga. Tak lupa pula pemasangan CCTV di beberapa titik yang ada di kota Bandung. Ruang kerja pemerintahan pun tak lepas jadi sorotan. Dan warga bisa sama-sama melihat apa saja yang mereka lakukan. Asalkan terintegrasi dengan aplikasi yang juga sudah diluncurkan. Penggunaan mesin komputer beserta alat-alat pendukungya bisa diberdayakan untuk fungsi monitoring aktivitas di Kota Bandung.

Fungsi utama BCC, seperti yang dilansir dari berbagai sumber, adalah untuk menyempurnakan pelayanan publik keluar dan mempermudah pelayanan kedalam yakni manajemen pengambilan keputusan cepat. Untuk pelayanan publik kota Bandung dapat diakses dengan mudah dengan teknologi yang canggih. Ditargetkan 150 pelayanan publik di Kota Bandung dilakukan secara online,  mulai dari mengurus KTP, mengecek perizinan, hingga memonitor kemacetan atau banjir bisa dilakukan pengawasan dan penyebaran informasi secara realtime. Command Center ini, akan menjadi pusat data informasi dari seluruh instansi di lingkungan Pemkot Bandung. Untuk penggunaan software Command Center ini akan ada beberapa tahapan. Versi pertama dinamakan Bandung Command Center 1.0 yang hadir pada awal 2015. Versi selanjutnya Command Center 2.0 akhir 2015, dan Command Center 3.0 sekaligus penyempurnaannya ditargetkan pada 2016 ini.

Saya percaya, selain Kang Emil sebenarnya masih banyak lagi pemimpin-pemimpin berjiwa muda dan berdedikasi tinggi kepada bangsa Indonesia, hanya saja tak semua terjangkau oleh media—atau memang memilih untuk tidak sering di-ekspose media. Namun saya rasa, poin tambahan lagi untuk Kang Emil adalah kejeliannya dalam memanfaatkan media sosial dengan sangat baik. Di BCC itu juga ada pengelola media sosial, sebut saja Facebook, Instagram, Twitter, dls. Meski konon, beberapa kali Kang Emil yang turun langsung menyapa warga Bandung melalui media sosial tersebut. Karena itulah, kedekatan yang tercipta bukan hanya antar warga Bandung dan Walikotanya saja, melainkan warga lainnya, seperti saya yang asal Kota Cilegon, merasa dekat pula dengan pejabat macam beliau. Lebih-lebih caranya berinteraksi sesekali sangat jenaka. Kecermatannya dalam melihat problematika anak muda masa kini pun patut diacungi 4 jempol. Isu yang biasa dijadikan embel-embel adalah soal, “kejombloan”. Tingkat kebaperan anak muda zaman sekarang berbanding lurus dengan menjamurnya mamang tahu-bulat-digoreng-dadakan di mobil bak keliling. Sekarang ini bisa dengan mudah ditemukan di mana pun.

Ketertarikan saya pun kepada beliau karena caranya yang menarik simpatik dan rasa hormat warga, dan karenanya patut pula diikuti oleh pemimpin-pemimpin daerah lainnya—bahkan bila perlu pemerintah pusat. Beliau sanggup menempatkan diri kapan saatnya untuk tegas dan serius, kapan pula saatnya untuk bergurau—meskipun selalu ada pesan yang hendak disampaikan. Karenanya tak heran bila banyak dari warga selain pribumi Bandung merasa cemburu pada orang-orang Bandung yang memiliki pemimpin atau Walikota seperti Ridwan Kamil. Dan saya lihat, upaya beliau mendekatkan diri dengan masyarakat bukanlah pencitraan belaka, atau sekadarnya saja. Sering kali beliau menghadiri acara pernikahan dan menjadi saksi pengantin, berkunjung ke rumah-rumah warga yang butuh perhatian, menjewer langsung para pengguna jalan yang tidak taat aturan dan lain sebagainya. Saya ingin sekali media selalu meliput hal-hal semacam itu, hal-hal yang positif, agar kita sama-sama saling mengawal dan mengawasi.

Di tahun 2017 mendatang, provinsi Banten akan melangsungkan sebuah pesta rakyat, yakni pemilihan gubernur. Saat ini yang tengah menjabat sebagai gubernur Banten adalah Rano Karno, yang sebelumnya menjadi wakil kemudian menjabat gubernur PLT, menggantikan sosok Atut Chosiyah, gubernur perempuan pertama di Banten—bahkan di Indonesia—dan pertama kali juga gubernur perempuan yang tersangkut kasus korupsi. Tentu saja ini sebuah prestasi; untuk poin pertama bisa dibanggakan, sayangnya tidak untuk poin setelahnya. Barangkali begitulah perempuan, “mulutnya saja punya dua”, begitu celetukan orang-orang di warung kopi kalau melihat pertingkah dua perempuan yang sedang bertemu di pedagang sayur, pasti terdengar riuh dan suaranya seolah melebihi dari jumlah yang kasat mata. Ya, meskipun gubernur sekarang kalau diambil inisialnya jadi, “RK”, tetapi Bandung dan Banten berbeda. Boleh sama-sama “RK” tetapi beda rasa dan rupa.
Sekalipun pemilihannya tahun depan, tetapi keriuhan tim suksesnya sudah menggaung sejak sekarang. Satu pasangan yang sudah pasti melenggang dan mendapatkan restu adalah Wahidin Halim dan Andika Hazrumy (Putra pertama Atut Chosiyah). Konon Rano Karno juga akan mencalonkan diri, namun masih menunggu keputusan dari partai tempatnya bernaung dan besar di dunia perpolitikan sampai sejauh ini.

Kemarin saya sempat berdialog dengan salah seorang tim sukses salah satu calon, ia sangat menjagokan calonnya dibanding kandidat lainnya. Saya, sih, menghargainya saja dan mau mendengarkan ia berbicara lebih dulu. Ia juga mengatakan kalau yang ia dukung itu prestasinya dalam kepemimpinan tidak diragukan lagi. Kemudian ia menyampaikan kalimat primisif setelah sebelumnya saya mengatakan, “untuk saat ini, saya hanya bisa mendukungmu saja terlibat di dunia politik. Sebab dunia perpolitikan di provinsi Banten belum berhasil menarik minat saya untuk terlibat lebih jauh. Lagipula kriteria para kandidat belum ada yang sesuai dengan ekspektasi saya.” Dia menanggapi begini, “saya hanya memilih yang terbaik di antara yang terburuk,” tandasnya. Barangkali ia berpikir saya kalah berargumen, tetapi saya tak mau ambil pusing, sudah lelah juga dengan perdebatan-perdebatan sejenis ketika tahun 2014 lalu, masa di mana pemilihan Capres dan Cawapres sedang berlangsung. Itu masa yang paling menghebohkan dan membuat saya kehilangan banyak teman, hanya gara-gara beda pendapat dan jagoan. Setelah saya pikir, saya merasa lucu—untuk tidak mengatakan bodoh. Bagaimana mungkin saya bisa sebegitu kekanak-kanakannya? Bukankah siapapun yang terpilih toh sama-sama menjadi pemimpin di negara ini? negara yang sama-sama kita tinggali.

Akhirnya, saya hanya berkata begini, sebagai pamungkas barangkali, “selama belum ada calon yang nongol, muncul kepermukaan, dengan gaya kepemimpinannya yang sama dengan Ridwan Kamil (meskipun yang kami debatkan calon Gubernur, bukan Walikota), kayaknya saya masih memilih apatis saja soal dunia perpolitikan di provinsi Banten”, kemudian hening dan, yah, namanya tim sukses, jelas sekali masih bersikeras membela jagoannya. Saya memilih diam.
Lagi-lagi, Ridwan Kamil, saya pikir sudah menjadi standardisasi sosok pemimpin muda di Indonesia saat ini. Ia bisa merangkul banyak kalangan, sekalipun tak lepas juga dari catatan-catatan kecil yang memerlukan pembenahan sampai tuntas. Namun kalaupun ada sosok lain, tentu saja harus lebih baik dari beliau, dan jelas saya akan menyambutnya dengan sangat gembira. Dan lagi, ketika saya menyebutkan sikap saya untuk “apatis” tadi, bukan bermaksud untuk benar-benar tidak peduli. Seapatis-apatisnya saya, sebagai pribumi di Cilegon-Banten, saya tetap melihat perkembangan politik yang tengah berlangsung di provinsi Banten hari ini. Hanya saja saya memilih menepi di trotoar, sesekali menyesap kopi yang saya pesan dari pedagang kaki lima pinggir jalan, sembari melihat-lihat loper koran—yang menjual berita-berita yang sedikit banyak tidak berimbang, yang akan condong ke arah tertentu tergantung siapa pemilik saham terbesar di media cetak tersebut—ketimbang terbawa arus kemacetan huru-hara para tim sukses yang berisi kernet-kernet angkot, penumpang sembarangan, dan tiupan peluit tukang parkir yang memarkirkan kendaraan orang lain seenak jidatnya itu.

Sesekali di tengah-tengah keriuhan itu terdengar pula hujatan, caci-maki, saling serobot dan dorong. Bahkan kendaraan yang disetir oleh sopir abal-abal melintas saja mengambil hak para pejalan kaki di atas trotoar. Ah, begitu runyam sekali dunia perpolitikan kami. Kenapa begitu kekanak-kanakan? Apakah kami lebih kanak-kanak dari kanak-kanak itu sendiri? Mereka belajar cara berbaris, agar kelak menjadi manusia yang disiplin. Kanak-kanak diajari membuang sampah pada tempatnya, agar kelak mereka mau sama-sama menjaga kebersihan. Kanak-kanak dibekali kata-kata motivasi untuk berkata jujur, agak kelak mereka siap dengan segala risiko apa saja yang harus diterimanya, dijadikan tanggung jawabnya, sepahit apa pun itu ketika berkata jujur dianggap sulit dan berat. Sebab di hari depan, membedakan kebohongan dan kejujuran sama sulitnya ketika kapur barus disatukan dengan permen mentos. Memang benar sama putihnya, tetapi jelas beda rasanya dan beda manfaat kegunaannya.

Apa kita tak bisa bermain sedikit lebih elegan? Tak bisakah tatap muka langsung seraya membuat diskusi-diskusi yang berbobot. Mengajak para pemuda untuk berdialog, bertukar gagasan, membedahnya, agar mereka benar peduli dan tak apatis lagi soal politik. Buatlah hal itu menjadi sesuatu yang menarik. Sebab kalau terus begini saja permainannya, seantusias apa pun kalian (kernet-kernet dan segala macam itu); seheboh apa pun kalian berteriak-teriak dengan toa mencari penumpang, tetap saja, dari jauh, ada segelintir orang-orang yang menanti setoran suara yang berhasil kalian kumpulkan tadi dan orang-orang itu yang akan menikmatinya jauh lebih baik ketimbang yang kalian rasakan sesaat itu. Barangkali mereka tengah asyik duduk-duduk, sekarang. Sesekali pijat refleksi sembari ngikik pongah, betapa mudahnya mempekerjakan kalian yang tak banyak tanya ketika uang menjadi iming-iming yang masih menggiurkan, tetap menggiurkan, dan akan terus menggiurkan dibanding geolan pinggul seorang biduan.[]

Cilegon, 23 Agustus 2016




*)Pernah dimuat di seword[dot]com: KLIK


You Might Also Like

0 komentar