[CERPEN] SURAT YANG BERBICARA TENTANG MASA LALU ( Majalah JAWARA, Edisi 04, 07 Juni 2016)

July 02, 2016

Edisi 04, 07 Juni 2016
Tema: Perlindungan Anak

Lunak di lisan keras di tulisan, katamu. Lalu sepasang kakimu melangkah menjauh. Menyusur ke tepi jembatan. Memberiku punggung, barangkali bokong juga kemudian. Sebab tubuhmu membungkuk, melihatku sesaat dari sela ruang sempit di antara dua kakimu yang jenjang, lalu tangan kananmu meraup kerikil yang terinjak sepatu hakmu, pemberianku dulu. Aku masih mematung di tempat semula. Masih berusaha memahami ucapanmu yang cenderung menuduh. Sementara tubuh depanmu kini sudah menyatu dengan pagar pembatas jembatan yang memanjang. Melempari sungai yang diam, seolah ia sudah melakukan banyak salah kepadamu, dan pasrah saja selayaknya seorang suami yang diomeli istrinya sebab tertangkap basah di sakunya tertinggal bercak gincu perempuan lain. Tentu aku menangkap hal itu dari pias wajahmu. Tetapi bila itu alasanmu marah kepadaku, kenapa harus kau mengomentari caraku berbicara dan menulis?

Jalanan di sekitar jembatan ini banyak lubang. Hujan deras semalam datang, menyisakan air keruh yang menggenang. Aku terpaksa melangkah menghampirimu, lantaran delapan detik lalu roda truk menggilas air beraroma comberan itu. Beruntung di tiga detik sebelumnya aku berhasil menghindar. Kemudian menepi ke sebuah pagar. Pagar jembatan yang sama, yang mendapati hangat dari lekat perutmu yang mulai membesar.
“Sebaiknya aku pergi sekarang.”
Entah apa yang membisikiku. Kalimat itu begitu saja terlontar. Hujan kembali datang tanpa diundang, atau datang karena tanpa sadar aku yang mengundangnya sendiri. Karena hujan kali ini hanya menderas di wajahmu. Sepertinya angin berusaha menghiburmu, ia mengajak rambutmu yang sepunggung menari lincah, juga rok minimu. Sedang kepalamu enggan menanggapi, ia menunduk rendah sekali. Kuakui saat itu aku ingin sekali menarik sederet kalimat yang di kemudian hari akan membuatku sengsara, hanya saja, kau terlanjur mengaduknya lebih dulu serupa kopi pahit tanpa kalimat beraroma gula berikutnya yang akan kusodorkan.
“Kenapa masih di sini?”
Benar dugaanku.
Sisa kerikil yang kau genggam, tanpa menunggu teriakan sungai, kau empaskan seluruhnya penuh tenaga. Aku mendengar, “aaah!!!” dari jarak kurang lebih tiga meter sebelum kau melemparnya. Lalu, “pergilah!” bahkan tak sedikit pun kau memalingkan wajah ke arahku. Kau seharusnya tahu, bahwa saat ucapanmu yang berikutnya meluncur, hatiku hancur. Kau mengatakan, “tinggalkan aku sendiri di sini!” apa yang seharusnya aku lakukan? (Aku sadar, kau tidak sendiri sekarang, dan tak ‘kan mungkin sendirian, sekalipun aku tinggalkan). Bahkan sungai saja masih tenang dan diam. Tak mencoba membelaku; melawanmu. Ia mungkin tahu bahwa murkanya seorang perempuan mampu mengubah seseorang menjadi batu, yang kemudian berakhir sebagai cobek atau ulekan. Atau barangkali bila sudah tak terpakai akan dibuang dan hancur menjadi pecahan batu-batu kerikil jalanan yang akan berakhir di pelukannya. Seperti yang baru saja kau lakukan.
Lantas aku pergi. Sebelum terlontar kalimat, “atau aku melompat sekarang juga!” seperti itu yang biasa aku dapati di sebuah film-film murahan yang diproduksi dalam jangka waktu pendek—semisal sebulan menghasilkan tigabelas film dengan alur cerita yang nyaris sama, dan sayangnya kau masih terus menjadi penikmatnya tinimbang menuruti keinginanku; yakni bersepeda mengelilingi pegunungan di daerah yang, satu-tiga tahun ke depan, akan kehilangan paku buminya sebab manusia serakah gemar menyalurkan hobinya dengan mengeruk tanah-tanah dan bebatuan di badan gunung itu. Setiap kali aku menyebutnya gunung gundul kau akan tertawa, lantas memukul bagian sekitar pahaku dan berkata, “lebih gundul ini...,” begitu kira-kira. Lalu mengambil posisi paling nyaman, menggamit remote televisi dan mulai tenggelam dengan film-film yang tadi aku sebutkan dengan kualitas gambar paling rendahan. Tetapi kau terus asyik menyaksikannya, sekalipun kau sudah khatam sebanyak 321 kali, barangkali.
Lalu hal-hal kecil yang tak terlalu penting itu akan menjadi penting dan aku rindukan, sekarang....
***
Aku tidak tahu bagaimana aku tahu, sebulan setelah kematian ibu, aku mendapati sebuah surat dari dalam laci lemarinya—aku tak berekspektasi apa-apa selain ingin mencari sisa-sisa perhiasan miliknya. Alih-alih mendapatkannya, aku malah mendapatkan surat-surat itu. Dan ternyata isi surat-surat itu sudah pernah aku baca dalam bunga tidur yang hinggap sewaktu ibu masih hidup. Aku belum menceritakan ini padamu sebab aku tak tahu harus memulainya dari mana. Yang jelas, sejak itu aku mulai belajar menulis, banyak membaca; buku, surat-surat, tulisan di papan reklame (dengan wajah tokoh yang pandai menahan senyumnya), juga alam raya. Namun aku paling percaya dengan yang terakhir disebutkan.
***
Ketika itu ulang tahunku yang ke tujuh. Tepat tiga hari setelah bapak dibui. Ibu selalu berusaha menghiburku. Ia mengatakan kalau bapak termasuk yang beruntung. Tahun 1983, di Jogjakarta sedang gencar-gencarnya berita Petrus (penembak misterius). Bapak tidak menjadi korbannya, kata ibu. Bapakmu hanya akan dipenjara dan akan bebas lagi. Aku tetap merengek dan menganggap bahwa ibu hanya asal bicara. Siapa tahu dalam penjara bapak akan disiksa lebih dulu sebelum akhirnya dibunuh?
Di kemudian hari aku yang tadinya merasa dibohongi oleh ibu, saat menemukan surat-surat dari laci lemarinya, aku benar-benar merasa menyesal. Ibu menuliskan segalanya, bahkan sobekan-sobekan dari surat kabar yang memberitakan kejadian di masa itu, ibu masih menyimpannya—dan sekarang ada padaku.
Dalam surat kabar itu tertulis: “Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an­­taranya 15 orang tewas ditembak. Ta­hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an­taranya tewas ditembak. Para korban Pe­trus sendiri saat ditemukan masyarakat da­lam kondisi tangan dan lehernya te­ri­kat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, la­ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa­ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke­amanan.
“Bahkan M. Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali, dalam wawancaranya dengan wartawan Kompas, 6 April 1983, mengakui secara terus terang perkara adanya Petrus itu. Pertama kali memang di Jogjakarta. Ditambah pernyataan Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet pada Kompas, 30 April 1983. Ia punya rencana mengembangkannya. Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.”[1]
Orang-orang mungkin tidak akan percaya, bahwa sebulan sebelum aku menemukan surat-surat itu, sebuah mimpi datang. Semua angka, jumlah kematian serta korban Petrus segalanya tepat. Kecuali yang terjadi di tahun 1985. Tahun itu bapak dikeluarkan dari penjara. Betapa bahagianya aku—juga ibu. Selama dua tahun sebelumnya, aku tak boleh lagi bersekolah. Ibu tidak tahu dari mana mendapatkan biaya untukku sekolah. Sebab, selama ini ia hanya bergantung pada penghasilan bapak sebagai preman pasar.
Sewaktu kecil dahulu, aku menganggap semua pekerjaan sama. Apalagi profesi yang bapak miliki. Aku bangga. Orang-orang takut pada bapak dan dengan sukarela memberikan uang hasil dagangannya pada bapak; sebenarnya aku pun takut. Tepatnya saat bapak marah kalau aku tak mau berangkat sekolah, dan pada lengan kiri bapak. Tato kepala harimau membuat aku merinding. Wajah harimau itu seperti menusukkan matanya ke arahku setiap kali aku sedang digendong bapak.
Aku akan bersekolah lagi!
Bapak sudah pulang. Aku menyambutnya begitu gembira. Di usiaku yang ke sembilan, aku bisa menangkap ekspresi yang terpancar dari wajah ibu. Ia tampak khawatir saat tahu bapak bisa bebas. Terlebih ketika bapak mengatakan, “tidak apa-apa, Bu. Semua akan baik-baik saja.”
“Tapi, Pak, opo ndak seharusnya kita pindah tempat tinggal saja?”
Setelah itu aku lupa percakapan apa yang kemudian bergulir antara mereka. Mungkin karena terlalu bersemangatnya menyambut kehadiran bapak lagi.
“Aku mau sekolah lagi, Pak.”
“Oh, tentu. Besok kita ke sekolahmu, ya.”
Malam harinya, bapak meminta aku untuk tinggal di rumah saja, sementara ia harus kembali bekerja. Kendati menuruti ucapannya, aku malah menolak. Aku ingin ikut bapak. aku kangen bapak!
Mata bapak membelalak, tetapi ia tak lantas memarahiku.
Aku merengek sejadi-jadinya sekalipun ibu merajukku. Aku ingin seperti tahun-tahun lalu, ikut dengan bapak ke pasar.
“Baiknya malam ini Bapak tak bekerja dulu. Istirahatlah di rumah barang beberapa hari, Pak.”
Bapak tak menjawab apa-apa selain mencium kening ibu, lebih lama dari biasanya. Lalu ia tersenyum, sembari menggamit lenganku.
***
Kalau sampai aku ceritakan ini semua padamu, aku khawatir kau tak akan mau menikah denganku. Apalagi bapak dan ibumu tahu, pasti mereka tidak akan merestui pernikahan kita. Namun lagi-lagi aku menyesalinya.
Dua hal yang aku sangat sesali dari segalanya; pertama, kenapa aku harus dipertemukan dengan surat-surat yang ibu tulis? Yang pada akhirnya pikiranku harus kembali mengembara, mengeruk lagi kenangan pahit di masa-masa sulit. Kedua, karena surat-surat itu terpaksa aku kian gemar menulis, mencari-cari fakta sejarah. Terlebih perkara hal-hal yang berkaitan dengan Petrus. Dan tentu hal itu membuatmu khawatir.
Aku tak tahu tepatnya malam itu pukul berapa, yang jelas, setiap bapak datang ke sebuah toko lalu toko itu tutup setelahnya, bisa diperkirakan jam sudah menginjak pukul sepuluh malam. Toko-toko di masa aku kecil memang tak pernah buka sampai larut malam. Apalagi sampai 24 jam seperti saat ini, itu akan sangat jarang sekali kau temui.
“Pak, aku ngantuk.”
“Sini, ikut Bapak.”
Ia menggenggam pergelangan tanganku erat. Sampai detik ini, aku masih bisa merasakan hangat dan kasarnya telapak tangan bapak. Sayangnya aku tak tahu kalau itu akan menjadi perjumpaan kita yang terakhir.
Bapak membawaku ke sebuah gerbong kereta yang sudah tak beroperasi. Ia tak mengajakku pulang, sebab rumah terlampau jauh. Lagipula memang begitu biasanya; paginya, sewaktu aku terjaga, aku sudah berada di dalam rumah. Menurut ibu, anak buah bapak yang telah menggendongku, sementara bapak masih belum selesai dengan pekerjaannya. Tetapi malam itu berbeda.
Aku terbangun saat seseorang menggoyang-goyangkan tubuhku. Hari masih petang dengan suhu yang begitu dingin. Meski enggan mataku pun akhirnya terkuak, beserta mulut yang menguap lama sekali.
“Ayo ikut!”
Ia membentak-bentak. Aku masih mengucek-ucek mata. Siapa dia? Di mana, Bapak?
Setelah sepenuhnya tersadar, di luar, dari jarak lima meter di depan stasiun, ada mobil patroli polisi. Satu mobil lainnya, di bagian belakangnya dipenuhi oleh banyak anak kecil dan orang-orang tua. Barangkali mereka para gelandangan, terlihat dari pakaian yang dikenakan. Aku terus meronta, berusaha lepas dari genggaman kuatnya. Salah seorang, dari dalam mobil itu, ada yang melarikan diri. Ketika itu pula kesempatanku bisa lepas dari cengkeramannya. Aku melompati pijakan gerbong. Lari sebisa dan sejauh mungkin menyusuri rel dan masuk ke pohon-pohon lebat di sebelah rel. Aku bersyukur dan merasa aman ketika sudah berlari cukup jauh dan tak ada yang mengejar lagi.
Hanya saja, setelah keluar dari semak-semak, aku menemukan sebuah sungai. Di seberang sungai ramai orang berduyun-duyun datang berkumpul, mengerumun seperti semut di dalam stoples gula. Ada apa di sana?
Aku belum menyadari sesuatu, mataku masih mencuri-curi informasi sembari terus bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Setelah aku perhatikan lamat-lamat, orang-orang di sana menjatuhkan pandangannya ke tepi aliran sungai. Aku pun mengikutinya setelah ada beberapa orang yang memilih untuk turun ke bawah sungai yang bertanah landai. Sekitar satu meter jaraknya dari arah orang-orang yang berdiri.
Ternyata ditemukan sesosok mayat mengambang di antara tumpukan sampah yang tersangkut pada sebuah akar pohon yang menjuntai ke tepi sungai. Orang-orang bahu-membahu menolongnya. Barangkali mereka pun belum tahu siapa dia dan tengah memastikan bahwa mayat itu bukan bagian dari keluarganya.
Tubuh besarnya diangkat ke tengah-tengah lingkaran massa. Dari mata seorang bocah sembilan tahun, dari jarak kurang lebih duapuluh lima meter, aku melihat ciri-ciri fisik yang amat kukenali. Di lengan kirinya ada sebuah tato bergambar harimau. Samar memang, tetapi aku hafal betul. Seketika bagian lingkar mataku panas. Tubuhku merinding. Aku tak tahu harus melakukan apa? Ingin berteriak, tetapi aku masih takut dengan polisi yang tadi mengejarku.
Akhirnya aku memilih untuk melaporkan ini pada ibu dan meyakinkan kalau mayat itu bukan bapak! Siapa pun bisa memiliki tato bergambar harimau, bukan?
***
Siang menjelang sore aku tiba di rumah. Rupa-rupanya ibu sedang merapikan dan memindahkan pakaiannya dari lemari ke dalam sebuah tas besar.
“Ibu!!!”
“Yono!” ia perhatikan wajahku teliti. Memelukku kuat sekali. “Syukurlah kamu baik-baik saja. Kita tak punya waktu lagi, kita harus pindah rumah.”
“Tapi ada apa, Bu?”
Ibu mengunci bibirnya rapat-rapat.
“Bapak, Bu. Bapak!” aku tak sanggup lagi berkata-kata.
“Yono, kamu masih ingin sekolah, kan?” aku mengangguk. “Ibu akan carikan tempat sekolahmu yang baru. Yang aman untukmu, Nak.”
Lantas aku menuruti saja ke mana tujuan ibu. Sampai duapuluh satu tahun kemudian, aku dipertemukanmu di kota Kembang itu. Sayangnya kau tak sempat berjumpa dengan ibuku, ia harus meninggalkanku selama-lamanya karena kanker payudara yang dideritanya. Kini ia sudah tenang di alam sana, kembali bisa berkumpul dengan bapak. Ibu mengetahuinya, kalau mayat di sungai itu benar adalah bapak.
Hampir terlewat, soal mimpiku itu, aku melihat bahwa angka kematian di tahun 1985 tercatat 73 orang tewas, 27 di an­taranya tewas ditembak—selisih satu angka dengan yang tertera di surat kabar yang ibu simpan. Akhirnya aku mengerti soal mimpi itu, sayangnya itu tak sedikit pun membuatku merasa lebih baik setelah kehilangan bapak.
Aku memutuskan untuk menjadi seorang wartawan; meliput, menulis dan mengumpulkan bukti-bukti. Bahkan dalam sebuah buku yang kubaca, Presiden yang terkenal di kalangan masyarakat kecil dengan senyuman ramahnya itu menyampaikan kalau ia pun mengangguki adanya Petrus sebagai inisiatif dan atas perintahnya. Ia mengatakan, “ini sebagai shock therapy.”
Aku geram!
Tiga dekade kekuasaan dalam genggamannya dan darinya banyak sekali sejarah yang diputarbalikkan kebenarannya. Konon, saat merajalelanya berita penembak misterius, banyak dari para cendekiawan, politisi, dan pakar hukum angkat bicara. Intinya, mereka menuding bahwa hukuman tanpa pengadilan adalah kesalahan yang serius.

Aku tahu, para gali, preman, residivis dan bramacorah seperti bapak adalah profesi yang tidak bisa dibenarkan oleh hukum—dan itu pula yang sering ibu ingatkan kepadaku, bahwa jangan mengikuti jejak bapakmu. Tetapi, melihat keadaan sekarang, apa tidak lebih memuakkan? Petrus hanya berlaku bagi mereka saja; kaum preman kelas teri, mereka yang bertindak melawan hukum demi menghidupi keluarga yang kelaparan dan kesulitan mencari pekerjaan. Tetapi, menyaksikan berita-berita sekarang ini di televisi, di surat kabar, betapa terkutuknya wajah para koruptor yang jelas-jelas melakukan kesalahan, merampok dan memeras uang rakyat, namun masih bisa berkeliaran dan mengumbar senyum piciknya itu. Sayang, Petrus tidak berlaku untuk preman berdasi, mereka yang mencuri demi mengenyangkan perut-perut keluarga tikus yang rakus. Aku berharap Petrus kembali ada untuk mereka!
Akan tetapi, kini hukum telah tumpul ke atas dan runcing ke bawah, Sayang. Aku baru menyadari soal ucapanmu tempo hari. Aku sesungguhnya menuliskan kebenaran, tetapi penegak hukum tidak demikian. Kemarin mereka datang ke kantorku dan menyeretku dengan paksa, seperti saat aku kecil yang tengah tidur di gerbong kereta.
Jaga baik-baik calon bayi kita. Aku percayakan ia padamu. Aku pastikan ia akan bersekolah sampai tingkat yang paling tinggi. Setidaknya setelah aku terbebas dari sini. Sekitar tujuh tahun lagi, atau lebih barangkali. Aku harap surat ini sampai kepadamu.[]

Cilegon, 08 Februari 2016

*Cerpen ini diilhami dari sebuah lagu karangan Iwan Fals berjudul, “Senandung Istri Bromocorah ( Album KPJ, 1985)”



[1] Wikipedia. (2013) Penembakan Misterius. Tersedia : http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius [2 April 2015]

You Might Also Like

6 komentar