[PUISI] ADALAH DIRIMU-ADE UBAIDIL (7 puisi bicara tentang rindu)

May 20, 2016

image by: klik

PERTEMUAN KEDUA

Kita merebah lelah—dua jam meningkahi jejak yang tak lagi sama
kupejamkan mata dan dunia terlipat di dalamnya; aku menyerah!
Kau..., kau masih terjaga
menatap keluar jendela; menelan jelaga masa silam
hujan merebasi sudut pelupuk matamu, kini—bibirmu mencerecap dalam
dan getar hinggap di jemarimu yang sunyi.

Roda bus kembali bergerak
meninggalkan halte yang berderak
dari sengau musisi jalanan yang baru saja pergi
dan menanti bus lainnya singgah lagi.

Kita masih beradu bahu
sesekali mencuri mata satu-satu
sementara bisu masih merajai waktu
tigapuluh enam purnama lalu; saat kugenggam jemarimu,
kau mengepalnya erat—sayangnya tidak di senja ini.

Kau tahu,
pertemuan selalu berkawan dengan perpisahan
seperti dua sisi jendela bus yang kepalamu sandari itu
ia mengembalikan rupa yang sama laksana kenangan
yang melekat. Dan waktu menghendaki kita bertemu kembali
dengan ingatan yang sulit dijauhi.

Bila tebalnya rindu adalah mantel di musim dingin
maka kehadiranmu adalah tubuh gigil yang butuh dihangatkan.

Cilegon, 24 Oktober 2015


HUJAN YANG SINGGAH DI WAJAH

Dua blok dari sini kau akan turun
mungkin berusaha melupakan dua jam lebih yang sia-sia ini
namun, aku akan tetap mengatakan hal yang sama
seperti masa-masa indah sewaktu jemari kita saling mengisi.

“Beri aku pelangi setelah hujan di wajahmu,”—itu kalimat yang lahir (dan terakhir); ketika tak sengaja aku menanam luka di hatimu
kemudian kau menoleh dan memberiku senyum getir.

Tetapi, baru saja, saat kau melangkah keluar dari bus, suaramu memecah hening:
“Aku hanya memiliki satu pelangi,—” katamu berwajah redup.
Aku tersenyum, kukira kau telah menaruh titik
Sayangnya jeda itu hanya memberimu waktu untuk menghela napas,
lalu kau melanjutkan, “dan pria di rumahku sedang menantikannya.”
Hati ini terenyak-hancur!
Mendadak hujan berpindah di wajahku.
Ah!
Cilegon, 24 Oktober 2015


ADALAH DIRIMU

Puisiku terlahir dari kecemburuan pada
: cericit camar di dahan pohon,
kemesraan hutan dengan hujan,
dan deru pesawat diteriaki riang bocah.

Kecemburuanku bermula dari ketiadaan
: tentang bahu tegap ketika kaki bergetar-gamang,
tentang jemari lembut ketika ucapan berwujud airmata berlinang,
dan tentang tubuh hangat ketika dunia memaksaku setegar karang.

Ketiadaanku adalah dirimu
: dirimu.

Cilegon, 28 Oktober 2015.



UNTUK APA KITA BERJUMPA?

Lantas kita menjadi semasing
yang melupa
di keriuhan masa, tegur-sapa
dipecundangi telepon genggam
: kata-kata, suara-suara, gambar-gambar
imotikon menjelma rupa

Lantas kita menjadi semasing
yang melupa
kehangatan cengkerama menguap
ke udara, terperangkap
lalu-lintas jaringan awan
yang tak lagi menurunkan hujan

Lantas kita menjadi semasing
yang melupa
untuk apa kita berjumpa?
Cilegon, 05 April 2016




AKU ADALAH SEPASANG KAKI KECIL

Kita berada di tengah tanah lapang
sepasang kaki itu adalah aku
yang berlari mengejar bola.

Banyak kaki dengan beraneka rupa
menuju benda bulat yang sama
sedang aku hanya kaki kecil
yang sering terantuk batu.

Rumput, semak-belukar
adalah rintangannya jua.

Aku masih berlari di bawah terik mentari
sepanjang hari-sepanjang musim
hingga Desember datang lagi.

Camar serta manuk Gereja
adalah tim hore pelipur lara
bercericit mengiringi permainan.

Ya, permainan.
Hidup adalah permainan.

Kau adalah bola sepak
kalau sampai aku berhasil merengkuhmu
tak ‘kan kubiarkan kaki lain menerjang.

Kupertahankan bola itu
sampai menembus tiang gawang
lalu kau kan ‘kuajak pulang
kupinang-kucumbu; bak pemenang meraih trofi
dan kita membangun mahligai
di kala tahun telah berganti.
Cilegon, 24 Oktober 2015.
  



MENYEPUH TANAH

Angin mengerati daun dari dahan pohon yang resah
perlahan satu per satu gugur ditimang tanah
buah-buah yang matang tidak sempurna serta tunas muda
pasrah diinjaki kuasa kaki manusia pelaku cela-duka.

Lantas perlawanan pribumi datang
yang di hari kemudian berjuluk pahlawan
bambu-bambu yang tumbuh di rimba menjadi saksi
kemenangan tahun-tahun silam—yang entah kini
masih pantaskan dikatakan demikian?

Merah menyepuh tanah
sukma kembali ke ribaanNya
tubuh-tubuh kosong bergelimpangan
berselimut daun-daun kering
sekering harapan kami; kini.
Cilegon, 10 November 2015


  
MERINDUMU

Kita adalah genangan
hujan yang terinjak; memecah-sesak.
Cilegon, 2015







You Might Also Like

4 komentar

  1. Replies
    1. Terima kasih kang, bisa bantu jelaskan penggunaan Mdash yg tepat? Pencerahannya dongs

      Delete
    2. Sebelum abang berbiacara tentang puisi ade...abang mohon maaf sebab abang bukan pandai mengkiritik puisi teman-teman. Apa yang abang dapat baca corak puisi yang dibawa oleh ade adalah puisi ini cukup sempurna untuk dibaca semua orang...kerana dari sudut puisi ada yang memberi nasihat dan pengajaran yang sangat berguna. Walaupun ada beberapa ayat yang abang tak bisa untuk memahaminya tapi ade sudah buat puisi ini cukup sempurna di mata masyarakat.

      Delete
    3. Baikla abang, tentu ade masih jauh untuk dikatakan sempurna hehe... akan ade perbaiki di karya berikutnya. Terima kasih sudah mampir :-)

      Delete