[ESAI] PLEIDOI KOTA CILEGON: MENGURAI 8 POIN TUNTUTAN HMI CABANG CILEGON (Biem.co, 27 April 2016)

April 29, 2016

image by: biem.co

Pagi tadi saya melihat kerumunan mahasiswa HMI cabang Cilegon sedang melakukan aksi damai tentang “Refleksi Kota Cilegon: Cilegon harus bersih dari korupsi, maksiat dan narkoba”. Salah seorang membagikan selebaran kepada setiap pengguna jalan, saya mendapatkannya juga. Inti tulisannya berisi soal tuntutan mereka—yang memosisikan diri sebagai warga Cilegon—untuk perbaikan Kota Cilegon ke depannya. Setibanya saya di tujuan, saya sempatkan diri membaca pernyataan sikap dari HMI cabang Cilegon tersebut. Saya belum engeh sampai saya mendongak ke pinggir-pinggir jalan yang dipenuhi foto-foto Wali Kota Cilegon tercinta, Iman Ariyadi dan wakilnya Edi Ariadi tengah berpose memakai pakaian daerah dan mengucapkan hari jadi Kota Cilegon yang ke-17. Betapa berdosanya saya, lahir dan tinggal di Cilegon tetapi lupa soal kotanya sendiri yang resmi menjadi kotamadya di tanggal 27 April 1999, yang sebelumnya masih disebut sebagai kota administratif.
Soal tuntutan mahasiswa HMI itu, saya akan tuliskan poin-poinnya yang keseluruhan berjumlah 8 bulir: (1) Pemerintah harus bisa menutup hiburan malam di kota Cilegon, (2) Basmi narkoba di kota Cilegon, (3) Pengawalan regulasi ketenagakerjaan asing, (4) Alokasi para pekerja asing, (5) Penghijauan di depan industri demi mengurangi polusi udara, (6) Pemerintah harus mencabut perizinan industri yang membuang limbah sembarangan, (7) Kualitas beras raskin (beras miskin) yang diberikan kepada masyarakat harus layak untuk dimakan; dan (8) jalan-jalan yang rusak harus cepat diselesaikan.
Begini, saya akan mencoba mengurai satu per satu dari setiap poin yang dijadikan tuntutan oleh HMI cabang Cilegon:

Pemerintah harus bisa menutup hiburan malam di kota Cilegon
Kota Cilegon memiliki luas wilayah 175 km2 = 68 (mil2). Bila dilihat dari letak geografisnya: dari sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Bojonegara (Kabupaten Serang); sebelah barat, berbatasan dengan Selat Sunda; sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Anyer dan Kecamatan Mancak (Kabupaten Serang); dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kramatwatu tepat di wilayah Serdang (Kabupaten Serang). Andai menyusur dari arah Serang menuju jalan Cilegon kota—dan mencari pertokoan maupun tempat yang berderet di sisi trotoar jalan—siapa pun, meski ia sebagai pengelana-pemula-yang-baru-menginjakkan-kaki-di-Cilegon pasti tidak akan mengenal apa itu istilah nyasar. Bahkan sebagai bahan lucu-lucuan warga sesama kota yang berada di naungan Provinsi Banten, ada istilahnya begini, “Cilegon jalannya lurus doang. Merem juga sampe!”
Lalu kaitannya dengan poin pertama adalah: hiburan malam sangat dibutuhkan. Kenapa? Karena salah satu daya tarik Cilegon adalah hiburan malamnya. Karena kalau cuma berniat jalan-jalan tentu itu sia-sia belaka. Kurang menantang.
Siapa yang tak kenal Sangkanila di masa kolonial juga Orde Lama dan Orde Baru? Tempat wisata malam yang sulit dinafikan pada masanya. Maka hiburan malam yang menjamur di Cilegon kini menunjukkan bahwa kita adalah kota yang konsisten dan sadar akan eksistensi. Jadi untuk apa HMI repot-repot meminta pemerintah menutup hiburan malam sedangkan wali kota kita hanya bekerja kira-kira dari pukul 07.30-17.00 saja? Malam adalah waktu bebas, dan kebebasan adalah hak setiap warga negara!

Basmi narkoba di kota Cilegon
Masih kaitannya dengan poin pertama, saya yakin betul bahwa HMI tidak akan bisa memberikan bukti konkret soal pernyataan ini. Cilegon adalah Kota Santri, dan wali kota tercinta kita tentu tahu hal itu. Bilakah ada orang yang tertangkap tangan tengah mengonsumsi narkoba, bisa dipastikan bahwa ia bukan penduduk asli Cilegon, atau minimal KTP-nya bertuliskan kota-kota selain Cilegon? Pada taraf dan kadar tertentu, kita harus meyakini sesuatu cukup hanya memakai perasaan saja. Dan saya haqul yaqin bahwa Bapak Wali Kota serta jajaran di bawahnya dan BNN Kota Cilegon memakai kepercayaan ini. Cilegon bebas narkoba, kok. Santai saja!

Pengawalan regulasi ketenagakerjaan asing
Tempo hari, sewaktu adanya perhelatan lomba baca Alquran atau MTQ tingkat Provinsi Banten ke-13, Cilegon satu-satunya kota yang mengambil sikap “angkat koper”. Kembali saya tekankan bahwa Kota Cilegon sangat konsisten dan berkomitmen tinggi pada kejujuran dan transparansi. Alasan senada yang dikatakan wali kota soal keputusan yang diambil LPTQ Kota Cilegon, yang konon diketahui pihak LPTQ Cilegon bahwa panitia pelaksana melanggar peraturan yang sudah disepakati bersama, salah satunya soal batasan usia peserta. Lantas kita harusnya berkaca, dari pernyataan sikap tersebut masihkan HMI cabang Cilegon mau mempertanyakan soal pengawalan regulasi ketenagakerjaan asing? Percaya sajalah, tak perlu adanya pengawalan, wong kita sangat vokal tentang nilai-nilai kejujuran. Kita hanya perlu meng-imani walikota tercinta dan seluruh jajarannya. Mudah, kan?

Alokasi para pekerja asing
HMI mengatakan kalau pengalokasian berpengaruh pada pengrusakan kultur budaya yang saling berbenturan. Ini lucu! Justru harusnya kita open-minded dan berterima kasih kalau-kalau benar pemerintah Cilegon menempatkan pekerja-pekerja asing dekat dengan masyarakat. Siapa tahu pemerintah hendak mengenalkan budaya asing kepada masayarakat setempat? Atau hendak menciptakan budaya baru; percampuran dan pertukaran budaya? Berbaik sangka sajalah. Atau siapa tahu ingin menjadikan Cilegon sebagai kota yang heterogen. Biar keren.
Kalaupun bukan itu alasannya, paling tidak kita bisa tahu bagaimana kehidupan orang-orang asing itu yang sangat "rapi" soal kebersihan diri dan tempat yang ditinggalinya. Kapan lagi bisa kita lihat, rumah manusia bisa begitu sangat cocok ditinggali hewan piaraan warga pribumi? Anjing, misal?

Penghijauan di depan industri demi mengurangi polusi udara
Baiknya coba dikaji ulang soal poin ke-5 ini. Atau barangkali coba jelaskan sejelas-jelasnya apa itu penghijauan? Saya khawatir pemerintah mengertinya segala yang hijau bisa mengurangi polusi udara? Seperti perusahaan-perusahaan yang dicat warna hijau misal? Uang juga sering disimbolkan dan identik dengan hijau, kan? Uang = hijau. Penghijauan = penguangan? Untuk mengurangi polusi udara = butuh lebih banyak penghijauan dari pihak perusahaan ke pihak pemerintah? Duh, bagaimana, ini?
Karena mau bagaimanapun, Kota Cilegon memiliki julukan Kota Industri, Kota Baja. Lihat saja icon/landmark yang ada di Sumampir sana, tempat kalian demo tadi, jelas, kan bahwa kita Kota Lemper? Eh, Baja?

Mbok, ya, nurut gitu sama semboyan yang sudah pusing-pusing dibuat pihak pemerintah. Baja itu hitam, metalik, silver, gelap. Masa perlu dihijaukan? Tidak ada itu baja berwarna hijau. Jadi, sekali lagi barangkali, adanya industri-industri baja dan kimia itu memberi dampak yang positif pada pribumi. Agar masyarakat kita bisa menghirup udaranya, merasakannya, dan menjadikan kita seperti baja. Wes, mboh!

Pemerintah harus mencabut perizinan industri yang membuang limbah sembarangan
Limbah sama dengan sampah. Itu logika sederhana soal kata-kata. Limbah adalah sisa pembuangan produksi, sudah tak terpakai. Lantas apa bedanya dengan sampah? Tidak ada, sama-sama tak terpakai. Tetapi, sampah ada yang bisa dijadikan sebagai pupuk organik dan ini berkaitan dengan poin sebelumnya, yakni penghijauan. Barangkali limbah juga ada yang seperti itu. Limbah organik? Banyak pohon-pohon ditebang itu demi kebaikan kita juga. Pohon ditebang untuk pupuk organik—wilayah tempat penebangan tadi dipakai untuk mendirikan bangunan/perusahaan. Pupuk organik bisa dipakai untuk menyuburkan tanaman lainnya. Jadi, di mana letak kesalahan pemerintah? Kenapa perizinan harus dicabut gara-gara buang sampah sembarangan? Wong Cilegon sekarang saja sudah serbasembarangan. Lihat saja tata kelola bangunannya! Tempat yang dikatakan taman dibangun di kawasan yang sembarangan dan dikelola secara sembarangan. Perusahaan dan pertokoan berdiri berdempet sembarangan, pedagang sesuka hati berjualan secara sembarangan. Apa perlu Cilegon ganti semboyan? Jadi Kota yang.... Next!

Kualitas beras raskin (beras miskin) yang diberikan kepada masyarakat harus layak untuk dimakan
Saya rasa ini sudah benar dan tak perlu ada yang diperbaiki. Namanya saja beras miskin, harga jauh lebih murah dari harga beras-beras lainnya, masa masih nagih minta beras yang layak? Mbok, ya, lagi-lagi ngaca. Kalau mau beras layak, ya siap modal lebih besar. Kita, yang merasa miskin dan merasa pantas membeli beras raskin, harusnya senang. Berarti kita diistimewakan oleh pemerintah. Bagaimana tidak, kita cuma mengenal istilah “raskin” beras miskin. Pernah dengar “rasya?” beras kaya? Tidak, kan? Jadi, lagi-lagi saya katakan kalau kita adalah kota yang konsistensi dan bereksistensi. Warga miskin diakui. Tidak akan ada itu istilah orang kaya kalau tidak ada orang miskin. Percaya, kan? Wong kualitas beras buruk saja, dengan istilah beras miskin, masih ada saja orang kaya yang kemaruk. Barangkali begitu cara mereka berempati dengan warga miskin, turut merasakan bahwa menjadi miskin itu tidak enak. Dan saya sarankan; dan saran ini gratis, bahwa pemerintah harus juga mencoba beli dan makan beras raskin. Kalau itu tuntutan yang diminta HMI cabang Cilegon, 100 persen saya sepakat!

Jalan-jalan yang rusak harus cepat diselesaikan
Cilegon terdiri atas 8 kecamatan; di antaranya Kecamatan Cilegon, Kecamatan Ciwandan, Kecamatan Pulomerak, Kecamatan Cibeber, Kecamatan Grogol, Kecamatan Purwakarta, Kecamatan Citangkil, dan Kecamatan Jombang. Teman-teman HMI cabang Cilegon, selaku pemberi 8 poin tuntutan, harus tahu ini: di Jerman, Finlandia, dan Inggris, pemerintahnya membuat inovasi, yakni stiker 3 dimensi. Gunanya, tak lain untuk dipasang di aspal-aspal jalan raya. Tujuannya tentu agar pengguna jalan berhati-hati dalam berkendara. Dan karena melebihi teknologi yang ada, juga melampaui kreativitas dalam kesadaran tingkat tinggi, di Indonesia sudah menerapkan itu jauh-jauh hari bahkan bertahun-tahun lalu. Jalanan tampak 4 dimensi. Lubang-lubang itu bukan tidak sengaja tidak ditambal dan diperbaiki, tetapi itu demi kebaikan kita selaku pengguna jalan. Dan Kota Cilegon sudah menerapkannya sejak beberapa tahun lampau. Sekali lagi, bahkan sampai di poin ke-8, saya katakan bahwa Cilegon adalah kota yang konsisten, menjaga eksistensi, dan konsekuen. Pemerintah tahu bahwa anak muda di Cilegon, senang sekali ngetrek. Jadi, cara menegur yang efektif, sejauh ini, adalah dengan tidak lekas memperbaiki jalan yang rusak dan tak lekas menyelesaikan perbaikan-perbaikan yang kadung dilakukan. Silakan HMI Cilegon cek sendiri. Lubang-lubang di jalanan sudah hampir merata di 8 kecamatan yang ada. Ini prestasi. Apalagi kita tahu wali kota tercinta kita sudah menginjak di periode keduanya. Maka tak perlu ada lagi kinerja yang kita dikte dan ingatkan. Cilegon sudah menginjak usia 17 tahun. Usia-usia segitu sedang mencari jati diri menuju proses kedewasaan. Jadi, kalau ada hal-hal yang dirasa kurang baik, anggap saja kota kita sedang alay sedikit. Ya, sesekali berakrobat apa salahnya?

Jadi, saya rasa, upaya HMI cabang Cilegon mengingatkan 8 poin tuntutan itu kepada Wali Kota Cilegon sudah tidak perlu lagi. Coba sesekali menyarankan agar wali kota di pemerintahannya yang kedua kalinya ini untuk membuat album solo. Bisa kita lihat contohnya mantan presiden ke-6 Bangsa Indonesia, Pak SBY, dan itu berhasil, dan sama-sama pernah menjabat selama dua periode. It’s work!

Berkarya melalui lagu bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat, tanpa perlu kita mengunjungi satu per satu rumah mereka. Suara kita sudah tersampaikan. Karena kita memiliki slogan/semboyan: akur, sedulur, jujur, adil, dan makmur. Barangkali itu pula cara saya menyuarakan kegembiraan atas hari jadi Kota Cilegon yang ke-17 tanpa saya harus bertatap muka langsung dengan Bapak Wali Kota dan mengucapkan selamat.

Satu pesan saya untuk Kota Cilegon: tetaplah jadi kota yang konsisten, bereksistensi dan konsekuen. It’s your sweet seventeen!

Jangan lupa bahagia, Kotaku!
Tetaplah waras!
Cibeber, 27 April 2016


sumber rujukan: 
*) Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Cilegon#cite_note-asalusul-2, 2016. [Diakses 27 April 2016]

You Might Also Like

2 komentar