[ESAI] Pe-er Bagi Daerah Berjuluk Kota Santri (Biem.co, 17 Januari 2016)

January 14, 2016

image by: Biem[dot]co

Sebagaimana kita ketahui, Cilegon dan Serang—untuk mudahnya, sebut saja Provinsi Banten—memiliki salah satu sebutan yang cukup berat disandang. Tasikmalaya, Kajen, Kendal, Magelang, Jombang, Pasuruan, Martapura dan tentu saja kota-kota di Banten memiliki julukan yang sama pula, yakni Kota Santri. Asal mulanya tak lain karena di beberapa kota yang disebutkan itu banyak berdiri pondok pesantren dan madrasah yang sebagian namanya sudah cukup dikenal khalayak ramai. Oleh karenanya, stigma masyarakat luar akan kota-kota tersebut jelas sekali sama rata. Warga dan orang-orang yang tinggal pasti memiliki spiritualitas yang adiluhung; menerapkan ajaran-ajaran Islam dalam kesehariannya; dan menjunjung tinggi norma-norma dan nilai-nilai religiositas antar sesama. Namun, sekarang sepertinya (hampir) tidak berlaku—hilang jatidiri.

Di zaman serba cepat dan canggih ini, pemanfaatan akan perkembangan teknologi seringkali tidak tepat guna. Sebagian besar cara pandang penggunanya tak lebih seperti kaum hedonisme. Akan ketinggalan zaman apabila tidak memiliki gadget super canggih, begitu salah satu pola pikir yang berkembang di masyarakat. Dan tentu saja asumsi demikian pun menyerang mindset para calon cikal-bakal cendikiawan santri. Jelasnya begini, tentu tak ada yang salah dengan kehadiran dan pesatnya kecanggihan teknologi, kita tak bisa menafikan hal itu. Karena sejatinya teknologi bersifat netral; bisa bermanfaat maupun midharat tergantung siapa yang menggunakannya. Semisal kitab-kitab kuning atau kitab gundul beralih media; yang tadinya di halaman buku yang berlembar-lembar, sekarang berwujud digital. Dan itu sama sekali bentuk pemanfaatan yang baik. Sayangnya, di lain sisi, hadirnya media digital menjauhkan kita pada hal-hal yang dekat.

Santri, yang beridentitas memiliki kehidupan sederhana, berkarakter santun dan mempunyai attittude yang baik, perlahan-lahan tergerus oleh perubahan zaman. Sifatnya yang membumi dan pandai bermasyarakat dewasa ini cukup jarang kita jumpai. Yang ada sibuk dengan kesehariannya masing-masing dan tidak mengimplementasikannya langsung ke masyarakat. Semisal berbaur, bersinergi dan bertukar gagasan. Jelas sekali di sinilah pe-er kita semua; bukan hanya pengasuh pondok maupun si santri itu sendiri. Tetapi peran kita, dalam hal ini masyarakat, sangat dibutuhkan. Teknologi tidak mengajarakan atau berusaha menjadikan kita penganut apatisme. Akan tetapi sifatnya berbanding lurus dengan siapa yang memegang kendali. Sebab kitalah yang memimpin sistem, bukan sebaliknya.

Sekadar menyebut satu contoh, ketika kemarin memperingati datangnya awal bulan Rabiul Awal (Maulid). Di sebagian kampung dan desa yang masih menerapkan adat-istiadat leluhur atau tetua, biasanya melaksanakan tradisi tersebut. Berkumpul di masjid, memanjatkan doa untuk kebaikan dan bersalawat mengenang hari lahirnya Rasulullah, Nabi Muhammad SAW; membaca kitab Barjanzi (rowi) serta pembacaan Yalil dan Marhaban. Bagi yang berkenan, biasanya membawa berekat alakadarnya untuk nantinya dibagi-rata—seperti nasi uduk, nasi yamin, ketan, dll. Tentu tradisi ini memiliki filosofi tersendiri. Keseluruhannya  memiliki makna kebersamaan, keutuhan dan persaudaraan yang penuh dengan nilai-nilai silaturahim. Dan tentu saja hal semacam itu tidak boleh hilang dan tergerus zaman; baik di kampung-kampung—terlebih di wilayah Cilegon dan Serang—maupun di daerah lainnya.

Sayangnya kekhawatiran itu mewujud nyata. Sebelum acara dimulai, dan mungkin bukan hanya di kampung kami, bunyi kaset rekaman orang mengaji (qori) diperdengarkan. Merdu? Jelas merdu dan fasih. Tetapi tetap saja, esensi dan nilai eksistensi dari tujuan yang ingin dicapai belum sempurna terejawantahkan. Pertanyaan besar lantas timbul; ke manakah para santri yang menetap-tinggal di kampung tersebut? Atau tidak adakah warga yang kompeten untuk mengaji fasih meski tak semerdu suara kaset rekaman dari qori-qori nasional dan internasional itu? Sedang daerah tersebut menyandang julukan Kota Santri? Di titik inilah kesadaran kita dipertaruhkan. Akankah kita mempertahankan tradisi atau membiarkan terlena dan terjebak oleh berkembangnya teknologi digital yang kian pesat? Atau jangan-jangan, “memutar kaset rekaman mengaji” sudah menjadi tradisi yang nantinya akan diwariskan secara turun-temurun ke anak-cucu? Sementara orang-orang, yang tinggal di lingkaran Kota Santri, akan menjauhi majlis secara perlahan; melaksanakan ibadah sesuka hati dan tidak tepat waktu, bahkan hingga meninggalkan budaya silaturahim antar sesama. Na’udzubillah.

Betapa akan sangat menakutkan dan ironi andaikata sebuah keluarga yang rumahnya tinggal bersebelahan namun tidak mengenal siapa tetangganya? Masih adanya “bocah” santri adalah harapan, keberlangsungan untuk hidup bermasyarakat adalah tujuan. Kota Santri jangan biarkan hanya menjadi kenangan, tetapi patut dilestarikan. Inilah pe-er kita sekalian. Tentu saja.[]
Cibeber-Cilegon, 13 Desember 2015




*) Esai ini telah dimuat di media online Biem[dot]co: KLIK DI SINI

Ade Ubaidil, orang kampung yang terlahir di Desa Cibeber. Mahasiswa di Universitas Serang Raya (UNSERA) dan Alumni madrasah Aliyah Al-Jauharotunnaqiyyah Cibeber. Pendiri Rumah Baca Garuda.

You Might Also Like

8 komentar