[ESAI] AYO KEMBALI KE MADRASAH! (Banten Raya, 24 Oktober 2015)

October 24, 2015


Salah satu fungsi dari sebuah paku adalah sebagai alat penghubung dan penguat suatu benda atau bangunan yang satu dengan benda lainnya. Katakanlah sebuah papan kayu akan mudah direkatkan oleh paku pada dinding-dinding bangunan sehingga menyatu dengan kokoh. Tentu saja dibutuhkan paku yang tajam dan palu sebagai alat bantunya. Begitulah fungsi dasar paku. Lantas, apa kiranya yang hendak saya analogikan dari fungsi sebuah paku?

Dalam hal ini saya mencoba mengaitkan kegunaan paku dengan manfaat keberadaan sebuah madrasah. Menurut kaidah bahasa, madrasah sama artinya dengan sekolah, hanya saja tambahannya di madrasah mengenalkan ilmu agama kepada peserta didiknya. Lebih jauh lagi kita kenal, madrasah selalu erat hubungannya dengan pondok pesantren, sebagaimana kita tahu, di sana mempelajari ilmu-ilmu penerapan yang bersumber dari Al-quran dan Al-hadist. Kemudian akan dikenalkan juga tata-cara membaca kitab gundul atau kitab kuning; baik secara makna, penulisan dan pelafalannya (nahwu-sharaf).

Dewasa ini, terlepas dari pembahasan sistem pendidikan di Indonesia, mulai banyak sekolah-sekolah swasta maupun negeri yang kian menggeliat. Bukan hanya soal bangunan yang satu per satu berdiri menjulang, tetapi di saat yang sama biaya keperluan sekolah pun kian melangit. Kendati demikian, para orang tua seolah berlomba mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah terbaik, sekalipun tak sedikit dari mereka yang ngos-ngosan mencari biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sayangnya, dari sekian romantisnya hubungan antara orangtua-dan-sekolah, mereka tak secuil pun memasukkan sekolah madrasah atau pondok pesantren dalam daftar ‘sekolah yang dijadikan rumah kedua’ bagi anak-anak mereka. Padahal, bila dilihat dari peninggalan orang-orang terdahulu, dalam hal ini para pendiri Banten, adalah para ulama besar yang disegani dunia. Bahkan ada sebuah sajarah yang dikenal dengan sebutan Geger Cilegon.

MADRASAH PERTAMA

Pendidikan akhlak atau attitude adalah pelajaran dasar yang harus diterapkan kepada anak-anak kita sejak dini. Pengetahuan tentang segala macam perkara agamawi jelas harus berjalan beriringan dengan ilmu duniawi. Menurut Albert Einstein, ilmu agama dan ilmu dunia (pengetahuan umum) bila dipegang oleh orang cerdas maka akan didudukkan secara beriringan. Sedangkan bila orang bodoh yang memegangnya maka ia akan mendudukannya secara hadap-hadapan. Alih-alih buah hati kita menjadi manusia yang baik dan bijak, ia malah menjadi sulit diatur dan selalu menyalahkan satu peraturan dengan peraturan lainnya. Selalu berusaha membentur-benturkan suatu hal yang pada hakikatnya sudah tidak bisa diubah lagi. Peran orang tua dalam hal ini sangatlah diperlukan. Ibu dan bapak menjadi madrasah pertama bagi mereka. Pengenalan tauhid dan keimanan sudah semestinya mereka kenyam. Miris sekali bila melihat kondisi pergaulan anak-anak di zaman modern ini. kehidupan hedonisme diagung-agungkan, seolah tujuan ia hidup di dunia hanyalah untuk mengejar materi dan kenikmatan yang sementara. Padahal jauh daripada itu ada alam nan kekal, yakni alam akhirat yang harus dipersiapkan bekalnya sejak hidup di dunia.

Bisa kita saksikan sendiri, melihat dalam berita di televisi atau membaca dalam media cetak; kasus kekerasan, perilaku menyimpang hingga pemerkosaan kian menjangkiti anak-anak di bawah umur. Mereka sudah mengenal perbuatan yang belum saatnya untuk mereka ketahui. Mereka kesulitan dalam memilah mana yang boleh mereka kerjakan dan mana yang tidak. Padahal, tidak ada satu kepercayaan atau agama apa pun yang mengajari kita untuk berbuat keji dan melawan aturan. Di titik inilah pendampingan orang tua harus lebih intens, jangan biarkan anak kita bertumbuh dan berkembang tidak sesuai seperti yang kita harapkan. Berani menentang dan melawan norma-norma agama dan negara.

Seharusnya kita yang tinggal di provinsi Banten ini patut bersyukur. Masih banyak pondok pesantren dan madrasah-madrasah yang bertahan di beberapa daerah. Walaupun di tengah hiruk-pikuknya sekolah-sekolah bergengsi lainnya. Ini kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Sebab, di beberapa provinsi atau bagian Indonesia lainnya, sekolah-sekolah agama semakin sulit ditemukan. Bisa jadi alasannya karena pelajaran umumlah yang wajib dipelajari. Salah satu acuannya bisa jadi lantaran di Ujian Nasional pendidikan agama tidak diujikan; tidak termasuk dalam mata pelajaran wajib dan berjejer dengan ilmu pengetahuan umum lainnya. Itu kesalahan sistem pendidikan kita yang sudah seharusnya ditinjau kembali. Andai kita berdalih bahwa negara kesatuan Indonesia ini tergabung dari penduduk yang heterogen, tetapi mau bagaimanapun kita adalah negara yang menganut budaya timur. Sopan santun dan tatakrama menjadi hal utama yang harus didahulukan.

Untuk menjaga paku-paku itu tetap tajam dan kokoh, tentu kita harus terus merawatnya, menyiapkan palu yang juga sama kuatnya, dengan cara menjadikan anak-anak kita bagian dari sekolah-sekolah berbasis agama seperti madrasah, pondok pesantren, TPA dan semacamnya, serta memberikan pemahaman yang baik, agar suatu kelak anak-anak kita, para penerus bangsa tersebut tidak kehilangan jati dirinya. Seseorang akan mudah hilang kontrol ketika nafsu sudah mengendalikan diri sepenuhnya. Hati dan pikiran tak akan berguna lagi ketika tak ada sedikit pun iman di dalam dirinya. Itu sebabnya mengajari anak-anak kita budi pekerti dan pemahaman tentang adanya Tuhan sangatlah penting.
Kembali ke Madrasah adalah salah satu cara yang patut dilakukan. bila paku itu sudah menancap kokoh, berharaplah bumi ini akan hidup lebih lama lagi; atau biarkanlah sisanya alam yang bekerja.[]

Cilegon, 10 oktober 2015



*Ade Ubaidil, Alumni Madrasah Aliyah Al-Jauharotunnaiyyah Cibeber angkatan tahun 2011-2012.

(Esai ini dimuat bertepatan setelah peringatan Hari Santri Nasional pada tanggal 22 Oktober 2015 di Kantor Gubernur Banten, Palima-Serang).

You Might Also Like

4 komentar