Dermaga Clondspenz (Inilah Koran, 27 September 2015)

September 29, 2015

image by: Fernanda Rochman Ardhana

Aku tengah membayangkan, ketika sedang menyendiri, ada seseorang yang begitu saja tiba-tiba datang menghampiriku. Membawa dua cangkir, terserah teh atau kopi, lalu memberikan satu untukku. Ia mengambil satu bagian lantai yang kosong. Boleh di sebelahku, atau di hadapanku. Kemudian kami memperbincangkan apa pun. Mulai dari alasan kenapa manusia membutuhkan rumah tinggal, atau kenapa roda kendaraan berbentuk bulat, atau pula membahas tentang kenapa orang sakit jiwa jarang sekali—malah tak pernah—terserang jatuh sakit. Apalah itu, yang jelas aku akan sangat berbahagia andai ada orang yang mau menemaniku di sini. Mendengarkan atau didengarkan keluhan dan curahan hatinya masing-masing.

Di sebuah dermaga Clondspenz, tempat persinggahan kapal barang, di bagian paling tepi dari ujung jembatan kayu, aku tengah melamunkan segalanya. Apa kehidupan hanya sebatas keluh kesah saja? Yang dibungkus dengan tawa, seolah gembira, saat berjumpa kawan lama. Lalu, setelah itu, saat semua kembali pulang ke persinggahan masing-masing, kau akan merasa kesepian. Mengingat kenangan yang pernah dirasakan bersama, hingga tanpa sadar benda berjuluk air mata merembas. Bergelayut di wajahmu, lalu satu per satu menitik jatuh dipelukan air laut. Sesederhana itu bila hanya diucapkan. Namun, bila dirasakan, bila mendera hidupmu saat ini juga, kau akan merasa Sang Pemilik Kehidupan berlaku tak adil. Meski orang yang aku pikirkan saat ini adalah orang yang baru pertama kali aku temui.
Bisa kau bayangkan, minggu lalu, saat aku pulang bekerja dari kantor berita sebuah koran nasional, gadis kecil berambut ikal jempet—tak terurus dan kumal—berlari menghampiriku. Ia bergelayut di salah satu kakiku. Jelas saja aku sempat menghindar, namun apa daya, gerakkannya lebih cepat dari yang kukira.
“Kau siapa?”
Ia hanya semringah. Lalu berjalan di belakangku.
“Aku mau pulang. Rumahmu di mana?”
Ia berhenti sejenak. Merunduk barang beberapa detik untuk kemudian menggeleng. Wajahnya tampak polos seperti lembaran kertas putih yang belum digoreskan tinta. Aku selalu saja tak tega meninggalkan seorang anak kecil sendirian. Apalagi, dari tatapan yang di arahkannya ke wajahku, ia sepertinya mengenaliku. Padahal sore menjelang malam itu aku tak tahu siapa dia. Atau mungkin pikiranku masih disesaki tugas-tugas kantor. Yang kian hari berhasil merontokkan rambutku helai demi helai. Andai ada tawaran kerja dari perusahaan lain di bidang lain, aku pasti akan segera mengambilnya. Tinimbang di kantorku sekarang bekerja, tekanan demi tekanan menyesak di hati dan pikiran. Sedangkan gaji bulan lalu saja masih belum cair juga.
“Kau sudah makan?” kami melintasi trotoar. Usai pertanyaan itu mencuat, si bocah berlesung pipi itu berlarian. Malah berlompatan riang. Ia seperti tak mendengar pertanyaanku. Tatapannya mengarah ke depan. Aku lekas menyusulnya.
“Mau pulang?” air mukanya muram. “Baiklah, kalau begitu mari temani aku makan.”
Dua blok di sebelah kiri trotoar ada rumah makan kecil. Di negaraku, rumah makan kecil seperti itu disebut warung nasi. Di sanalah tempat langgananku mengisi perut sepulang dari kantor.
Aku memesan dua porsi nasi dengan lauk ikan laut khas kota ini. Bukan karena menu lain tak mampu aku bayar, aku hanya tak mau banyak bicara dengan bahasa daerah ini. Aku masih kesulitan mengucapkannya. Maklum saja, baru enam bulan aku menetap di sini. Dan entah kenapa, hari ini terasa ada yang aneh. Pelayan yang aku ajak bicara tampak begitu cuek. Ah, apa peduliku. Toh, di tempat makan ini bisa bebas mengambil porsi makan sendiri sesuka hati. Asalkan jujur ketika membayar. Tidak seperti di tempat lahirku dulu. Saat masih sekolah, teman-temanku (kalau aku jarang), membeli makan di sebuah warung nasi. Kami dibebaskan mengambil nasi dan lauk sesuka hati. Namun, ketika bayar, mereka hanya membayar satu lauk saja. Padahal jelas-jelas aku melihat mereka mengambil tiga potong daging ayam.

Kendati demikian, adanya aku di sini itu pun mulanya karena hatiku begitu berambisi menerima pekerjaan di kantor berita tersebut. Tetapi, setelah tahu, ternyata kehidupan di dunia pewartaan sungguh melelahkan. Terkadang, di sela-sela kesempatan untuk melamun—yang sangat sulit aku dapatkan saat bekerja—aku membayangkan tengah duduk di sebuah perusahaan di negara asalku. Membuat berita dengan sesuka hati—asalkan judul kontroversial (meski tak saling menyatu dengan isi beritanya)—kemudian tulisan itu naik cetak esoknya. Aku tahu itu melanggar kode etik jurnalistik yang sakral itu, namun di sana tak terpakai. Asalkan pembaca percaya, itu sudah cukup. Kebohongan tiba-tiba saja bisa jadi hal yang relatif. Tergantung siapa yang memiliki sudut pandangnya.

Seperti tahun lalu, ketika aku masih tinggal di sana, pada rubrik cerita kota (di salah satu koran nasional), seorang temanku yang menulis beritanya. Di sana tertulis sebuah kisah, yang menurutku mitos belaka. Bagaimana tidak, ia menulis (dari narasumber yang tak jelas alamatnya) begini:
‘Ketika mentari hendak tenggelam, lalu tiba-tiba ada anak kecil yang mendatangimu, itu berarti hari kematianmu sudah dekat’. Lalu di paragraf berikutnya ia mengutip ucapan salah satu—konon—orang yang menjadi saksinya. “Ya, benar. Kemarin, sewaktu aku pulang dari rumah sakit bersama pamanku, ia didatangi anak kecil yang meminta uang padanya. Pamanku tak menghiraukannya, ia mengajakku untuk pergi. Dan esoknya, ia meninggal terserang stroke. Kejadiannya begitu cepat berlalu.” Kemudian esoknya kesaksian demi kesaksian semakin berdatangan. Surat satu per satu memenuhi meja redaksi, kata kawanku. Ia menceritakan hal itu dengan wajah semringah. Seperti wajah anak jalanan yang memenangkan sebuah lotre.

Surat-surat itu datang dari pembaca setia koran tersebut. Dan berita itu bertahan menjadi headline. Menenggelamkan berita korupsi pejabat pemerintah dan pemerkosaan anak-anak di bawah umur. Jelas saja warga akhirnya memercayai hal itu. Konyol sekali, kan? Dan begitulah salah satu alasanku mengambil kesempatan bekerja di negara ini. Tetapi, lagi-lagi sayangnya, aku menyesali keputusanku sendiri.

Bocah berambut pirang sebahu di sebelahku telah selesai makan. Ia sepertinya tak mau suaranya keluar percuma. Sebab, sejak tadi aku ajak bicara, ia hanya diam. Kalau aku vonis ia tunawicara, sepertinya terlalu cepat. Karena, ketika ia keluar dari toilet, seseorang seperti mengajaknya berbincang. Dan ia menggerak-gerakkan bibirnya, meski aku tak tahu apa yang dikatakannya. Sedangkan, berkali-kali aku melempar tanya, ia hanya tersenyum atau cengengesan. Terakhir, setelah keluar dari tempat makan, aku bertanya, “berapa usiamu?” ia tetap menutup mulutnya rapat. Jemarinya yang kemudian memberi jawaban. Tujuh jari yang ia tunjukkan padaku.
Sebelum pergi, aku meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja kami. Aku tahu begitulah biasa pembeli membayar makannya di sini. Dan karena aku sudah langganan jadi aku sudah tahu berapa kocek yang harus aku keluarkan.
Setelah beberapa puluh langkah dari rumah makan, aku kembali berkata, “aku mau pulang. Sampai di sini saja, ya.” Aku tak mau menunggu ia menjawab. Lekas saja aku berbelok ke arah kiri. Masuk ke blok yang lebih kecil. Di benakku hanya terbayang kamar dengan kasur yang empuk (pada kenyataannya tempatku tinggal hanya ada kasur tipis).
“Ayo ikut!” tentu itu dua kata pertama yang kudengar dari bibirnya. Kesepuluh jemarinya menarik lengan kananku.
“Ikut ke mana?”
Sepertinya ia lebih senang membisu. Padahal, suaranya tak begitu mengganggu. Meski hanya baru dua kata saja yang aku dengar.
Di ujung trotoar, ada sebuah dermaga. Namanya dermaga Clondspenz. Banyak kapal barang (besarnya melebihi kapal Feri di negaraku) yang singgah di sana. Untuk kemudian diangkut dengan mobil Container besar. Bocah itu menarikku ke sebuah jembatan kayu. Jaraknya tidak terlalu jauh dengan kapal-kapal besar yang sedang tidak beroperasi.
“Untuk apa kau mengajakku kemari?”
Ia celingukan. Rambut pirangnya tersapu angin. Kaki-kaki kecilnya berlompatan meningkahi lantai kayu yang berdecit. Tiba-tiba pandangannya jauh. Ia menunjuk salah satu kapal. Kapal yang tengah berlayar. Namun, berjalan mendekat ke arah kami.
“Tunggulah sebentar.” Dua kata berikutnya mencuat. Aku tak tertarik dengan maksudnya. Aku malah menaruh kecintaan pada cara bicaranya. Logatnya mengingatkanku pada anak-anak di negaraku, di kota tempat lahirku. Tetapi, wajahnya jelas saja khas anak-anak kota ini.

Mentari tenggelam yang tampak dari dermaga ini sangat memesona. Ia seolah jatuh di balik pepohonan rimbun yang membentang di sana. Kapal yang tadi ditunjuk gadis kecil yang tak kutahu namanya itu telah mendekat. Kembali ia menarik lenganku. Mengajak ke kapal yang sudah bersentukan dengan tempat pemberhentian.
Orang-orang berkerumun. Kali ini, berbeda dari hari biasanya. Ramai sekali. Para wartawan, yang biasanya sudah pulang, sore itu ada di sana. Membawa kamera masing-masing. Orang-orang saling berteriak. Aku kelimpungan. Sementara bocah di depanku terus membawaku semakin dekat dengan keramaian.
“Ada apa?”
“Lihat!” kata yang kelima terlontar. Aku melihat puluhan peti mati dikeluarkan dari dalam kapal. Entah itu datang dari mana. Aku masih memandang bocah kecil berambut ikal jempet itu. Ia berlari ke bagian belakang kapal. Tempat yang paling sepi di antara sudut lainnya. Sepertinya memang tak ada yang memerhatikan kami.
“Mau ke mana?”
Ia menggeleng. Kemudian tersenyum dan melambaikan tangan mungilnya. Kaki-kakinya yang tak beralas memacu langkah kian kencang. Setelah berjarak hampir 10 meter dari tempatku berdiri, ia melompat ke laut. Ya, ia melompat! Aku berteriak histeris. Sebab, aku tak bisa berenang. Tiba-tiba saja aku teringat kejadian sepuluh hari lalu. Ketika hendak mencari berita, saat menyeberangi lautan, aku melompat ke laut untuk mengambil tape recorder-ku yang tiba-tiba terjatuh karena perahu terbentur ombak yang cukup besar. Celakanya, aku tak sadar kalau tak bisa berenang. Beberapa hari aku tak sadarkan diri.
Aku mendekati orang-orang yang berkerumun di antara banyak peti yang diturunkan dari kapal. Aku ingin meminta bantuan. Sebab, sewaktu bocah itu melompat, air laut tampak tenang, dan ia tak kunjung timbul ke permukaan.
“Tolonglah! Ada anak yang tenggelam!”
Orang-orang tak menghiraukan teriakanku. Mereka malah sibuk bertukar air mata. Saat aku semakin mendekat, beberapa peti dibuka. Di antara keramaian, aku melihat Jane, kekasihku. Ia tampak mematung di depan salah satu peti. Aku cemas. Siapa orang di dalamnya?
Setelah melihatnya sekilas, ternyata di dalam sana terbujur tubuh seseorang berwajah mirip denganku. kuperhatikan lamat-lamat, rupanya benar dia aku! Aku bertanya pada Jane tetapi ia tak merespons. Ah, terserahlah! Yang pasti, aku harus menolong gadis kecil itu dulu. Sebelum hari benar-benar petang.[]

Cilegon, 30 April 2015

You Might Also Like

16 komentar

  1. Twist-nya keren, boleh nyontek?

    Saran: Ganti pointer monyetnyaaaa. *halah, keukeuh*

    ReplyDelete
    Replies
    1. mana ada teteh nyontek ke saya? kebalik teteh, justru saya sering "nyuri" ide-idemu. apalagi PoV orang kedua yg cerpen kemaren. Mantap (y)

      *pointer monyet ini kenang2an* (langsung baper)

      Delete
  2. manteb mas Ade...berkelebatan roh-roh melayang dihadapanku, sliwar-sliwer...tak tahu kemana tujuaannya. sampp ttidur nyenyak diii peti. keren!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waah, roh-roh itu ingin berteman dengan abang sepertinya :-D
      makasih sudah mampir abang :-)

      Delete
  3. Pikiranmu lompat-lompat, Beb! Sukak! ❤

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semacem kutu gitu beb? Atau kangguru, ya? *dikeplak
      Makasih beb udah mau mampir di blog akuuh :*

      Delete
  4. Nggak tahu kenapa, baca endingnya bagi saya kok terasa lucu yak. Jenaka. :D

    Omong-omong selamaat!

    ReplyDelete
    Replies
    1. (( lucu )) kok bisa ya, hahaha?

      Ya teh makasih udah mampir :-)

      Delete
  5. Hmmm... boleh mukul kamu nggak, sih?! XD
    Dan endingnya... hmmm... hmmm....

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalo pukul cayang boleh *eh :D

      knapa endingnya Wulan?

      Delete
    2. walaaah, sayang sekali. akan aku perbaiki di karya selanjutnya, ulan. makasih masukannya :)

      Delete
    3. Iya, kesannya ingin buru-buru selesai gitu. Kupikir di ending akan dibuat terkejut, tapi aku cuma bisa bilang 'hah?' Ah, mungkin aku saja yang nggak kagetan. Hahahaa...

      Delete
    4. ya sebenernya gak bermaksud ngagetin atau apa. Tafsiran di kembalikan lagi sama pembaca. Saya hanya berusaha bercerita sebaik mungkin dengan gaya aroma 'sastra'. itu pun kalau berhasil hehe...

      but anw, aku keep masukannya, lan :) makasih!

      Delete