Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • About Me
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    Banten Raya (Jawa Pos Group), 29 September 2015



    Kota adalah daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat. Itulah yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) keluaran tahun 2013. Namun, bila bicara lebih jauh lagi, kota adalah sebuah tempat di mana warganya bisa merasakan hidup nyaman dan tenteram di bawah naungan pemimpin berjuluk Walikota. Pembahasan ini belum termasuk soal kesenjangan sosial, ekonomi dan budaya.
    Lantas apa yang dimaksud dengan hidup nyaman dan tenteram tersebut? Kota, atau mungkin juga provinsi bahkan negara, hanyalah sebuah ruang dimensi tempat para warga untuk saling berinteraksi satu sama lain. Baik kaitannya dalam keluarga, teman sebaya, atau rekan kerja sekalipun. Yang kemudian menjelma sebuah ruang ekspresi untuk saling berbincang mengenai banyak hal. Sebutlah dalam konteks ini ruang publik. Satu di antaranya adalah taman kota atau alun-alun kota. Sebagaimana jalan raya, keberadaan alun-alun di tengah-tengah kota juga sama pentingnya, dan patut diberikan perhatian yang proporsional. Sebab, masyarakat dewasa ini sering disibukkan dengan kegiatan rutin yang kadang sangat melelahkan dan mencerabut aktivitas berkumpul dengan sanak famili maupun teman sejawat.

    RUANG PUBLIK SEBAGAI RUANG BEREKSPRESI
    Adanya ruang publik sangat dibutuhkan kehadirannya di tengah-tengah kepenatan kota yang kian terasa padat dan menghimpit. Bangunan-bangunan perusahaan kian menjamur, menjelma serupa hutan beton yang mengakar kuat. Oleh sebab itu, ruang berekspresi dan melepas penat tentunya perlu segera direalisasikan. Supaya kita sebagai masyarakat terus bisa berinovasi dan menciptakan hal-hal kreatif yang dibutuhkan dalam dunia bisnis maupun dunia kerja.
    Pertanyaannya kemudian adalah: sudah cukup memadaikah ruang publik di setiap kota di provinsi Banten ini? bila belum, lantas apa yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah setempat? Dan lagi, seandainya ruang publik sudah tersedia dan masyarakat dipersilakan untuk memakainya, maka sudahkah kita sebagai masyarakat mau turut andil dan berpartisipasi dalam merawatnya?
    Berbagai pertanyaan yang diajukan, cukup dijawab dalam hati masing-masing pribadi masyarakat itu sendiri. Untuk kemudian diejawantahkan dalam bentuk perilaku dan perbuatan. Kita, dalam hal ini pemimpin dan masyarakatnya, sudah seharusnya mau merawat dan menjaga keberadaan ruang publik. Dan setiap masukan serta kritik yang membangun diharap bersedia untuk mendengarkan lalu menerima dan sama-sama memperbaiki demi keberlangsungan tata kota dan wilayah yang baik. Sesuai visi kita ke depan. Dalam hal ini, kepekaan serta kesadaran diri masyarakat dan pemimpinnya sangatlah diperlukan. Karena negara yang baik, maupun wilayah yang baik dibangun dari komitmen yang baik pula.

    MENCIPTAKAN BUDAYA BACA
    Masyarakat yang berbudaya adalah masyarakat yang mau membaca. Membaca di sini bisa diartikan secara harfiah; pertama, yakni membaca tulisan dalam buku atau media massa dan internet; kedua, dalam etimologi, membaca diartikan sebagai bentuk dari kepekaan dalam melihat lingkungan sekitar. Keduanya sangat diperlukan guna menunjang pemikiran intelektualitas masyarakat yang kritis dan tidak apatis dalam menanggapi suatu hal yang terjadi di lingkungan tinggalnya. Karena yang dikhawatirkan, menggeliatnya media sosial dan berkembang pesatnya teknologi abad ini, selalu saja beriringan dengan banyaknya hal negatif yang bisa menjangkiti perilaku masyarakat. Bahkan istilah, ‘menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh’ untuk media sosial itu sangatlah benar adanya. Bisa dirasakan bagaimana ketika kita tengah berkumpul dengan teman-teman, disatu kesempatan, kita hanya saling diam sementara kedua tangan menggenggam gadget masing-masing dan kepala terus merunduk. Alih-alih bercengkerama dan suka ria bersama, kita malah sibuk dengan dunia kita sendiri. Berselancar dan berbincang dengan kawan di dunia maya yang mungkin seseorang itu belum pernah kita temui sekalipun.


    Jangan biarkan kita terjerat dalam hal negatif tersebut. Istilah generasi merunduk sudah seharusnya kita jauhi dan hapuskan. Kehadiran teknologi sejatinya untuk memudahkan manusia dalam beraktivitas, bukan malah menghambatnya. Karena itulah, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teknologi, karena pada dasarnya teknologi itu bersifat netral. Tergantung pada penggunaan dan pemanfaatannya. Kita, sebagaimana dikenal masyarakat dunia, adalah warga yang ramah dan pandai berinteraksi sosial. Jangan sampai kemajuan zaman menghilangkan tradisi tersebut. Kendati demikian teknologi seharusnya memanusiakan manusia.
    Mengenalkan budaya baca di masyarakat adalah satu di antara banyak hal lainnya untuk menghidupkan masyarakat yang produktif. Sebab kita dituntut untuk terus aktif dan bergerak. Menciptakan banyak sumber daya manusia demi kehidupan dan penghidupan di era digital dan globalisasi yang serba cepat ini. Kita sudah terlalu jauh tertinggal dari wilayah-wilayah lainnya. Sudah saatnya menjadi produsen bukan lagi konsumen.
    Kehadiran taman baca, misalnya di alun-alun kota, tentu saja akan disambut baik oleh masyarakat. Atau mungkin menerapkan cara lain, ambil contoh setiap Kepala Desa dilibatkan, dan di satu desa ada satu taman baca atau perpustakaan mini. Kemudian dibentuklah pangurus-pengurusnya di masing-masing teritorial desa itu. Satu hal yang terpenting adalah pengemasannya haruslah menarik. Lebih-lebih bagi anak-anak, remaja hingga para pemuda.
    Boleh dikata, kita adalah masyarakat yang senang didesak. Anggaplah membaca sebagai pembentukan dari kebudayaan yang baru, maka untuk menimbulkan dan melahirkan keinginan membaca adalah dengan cara: dipaksa, lalu bisa, jadi terbiasa dan terciptalah sebuah budaya. Karena harus diakui, mau bagaimanapun, kita adalah masyarakat yang kurang banyak membaca.[]

    Cilegon, 27 September 2015

    Continue Reading

    Biem.co
     
    [CATATAN PERJALANAN]

    Teknologi di abad ini memang sangat pesat perkembangannya. Menjamah hampir setiap ploksok di berbagai belahan dunia. Sebut saja salah satu gadget semisal telepon genggam (smart phone). Tanpa membutuhkan survei menurut data, dengan mata telanjang saja, di jalan-jalan, kalian pasti akan menemukan beratus, berpuluh-puluh ribu orang memilikinya. Tak pandang lagi dari kalangan atas; menengah atau bawah sekalipun. Jadi tak perlu heran andai kalian melihat seorang pemulung, tukang sapu atau penjaja kaki lima tengah tertawa ria dengan benda mati yang bisa hidup dalam genggaman manusia itu. Penyebutan profesi di atas tentu saja saya tidak bermaksud mendiskreditkan mereka. Hanya saja, itu sebagai contoh bahwa kemajuan zaman tak bisa dielakkan lagi.

    Seperti yang saya temukan di sebuah negara kecil dengan luas wilayah hanya 710.2 km2 itu. Selama 3 hari kemarin (1-3 September 2015), saya bersama peserta rombongan #GongTraveling—yang disponsori oleh Pak Boyke Pribadi penulis buku Gaduh—menjelajahi negeri berjuluk Singapura tersebut. Perjalanan yang ditempuh hanya 1 jam dari bandar udara (bandara) Soekarno-Hatta sampai bandar udara Changi-Singapura. Jelas sekali kami tak menghabiskan waktu banyak di pesawat Air Asia yang kami tumpangi. Ini pengalaman yang luar biasa bagi saya. Apalagi, terhitung pertama kali saya menaiki pesawat ke luar negeri. Suasana di bandara yang luasnya dua kali dari bandara di Tangerang Selatan itu membuat kami takjub. Dan hal yang mengesankan adalah hampir segalanya memanfaatkan teknologi dengan baik. Ditambah ruangannya yang mengutamakan kebersihan serta kerapian. Pemandangannya akan terasa berbeda sekali. Bila kalian di sana, tentu hal pertama yang terpikir adalah membandingkan dua hal; saat itu saya membandingkan Indonesia dan Singapura tentu saja. Pelayanan yang baik (meski tak ada senyum di wajahnya), tegas serta disiplin. Berbeda jauh saat berada di bandara Indonesia. Tetapi bukan berarti bandara di negara ini tidak bisa mencapai titik pencapaian tersebut.

    GEGAR BUDAYA / CULTURE SHOCK

    Kembali ke pembahasan pendayagunaan teknologi. Singapura adalah contoh negara kecil yang berhasil memanfaatkan teknologi secara maksimal. Hampir setiap menaiki kendaraan umum, kalian cukup membeli sebuah kartu—seukuran kartu ATM—seharga SGD $30,- dan dengan leluasa bisa keliling ke berbagai tempat wisata, atau bagian manapun dari Singapura. Kartu itu bisa dipakai untuk menumpangi Bus, MRT dan saat memasuki stasiun. Padahal, bila kita mundur ke belakang, melihat sejarah yang tercatat, usia Singapura masih terbilang muda dibanding negara-negara lainnya di daerah Asia Tenggara. Sebut saja Indonesia yang merdeka di tahun 1945 bulan Agustus, tanggal 17. Tak jauh berbeda, masih di bulan yang sama negara bermaskot patung Merlion itu menyatakan kemerdekaannya dari inggris tahun 1965 tanggal 09. Jelas sekali perbedaanya hampir 2 dekade dengan negara ini. Tetapi, lagi-lagi terlepas dari luas wilayah yang kecil, Singapura bisa dikatakan mengungguli tanah air kita. Baik dari sektor SDM dan perkembangan tatakota serta wilayahnya. Bahkan masyarakatnya yang memiliki kultur dari berbagai latar belakang negara itu hampir semuanya berkarakter serupa: tegas dan disiplin. Kesadaran diri masing-masing sangat tinggi. Sebagai contoh, ketika kami berdiri di rambu-rambu lalu lintas (traffic light), bila lampu belum berwarna merah, sekalipun jalanan lengang dari kendaraan, mereka akan tetap menunggu sampai lampu berwarna hijau menyala dan mempersilakan pejalan kaki menyeberang. Kami, para peserta yang berjumlah 7 orang, dibuat cukup takjub sekaligus heran. Bisa dibilang kami terserang culture shock. Di mana setiap tingkah laku masyarakat lokal dibandingkan dengan masyarakat di daerah yang kami tinggali. Yakni di Indonesia.

    Ada lagi ketika kita menaiki Sky Train. Kereta yang jalurnya berada di atas permukaan tanah dan bukan di jalur darat. Kami dibuat bertanya-tanya, mengapa setiap kali ada kursi kosong, warga asli atau orang yang sudah lama tinggal di Singapura tak lekas mendudukinya. Mereka memilih berdiri dengan kuda-kuda yang kuat dan kedua tangan tanpa berpegangan pada tali yang disediakan, sekalipun itu perempuan remaja yang sepertinya egosentrisnya lebih tinggi, dan menunggu sampai Sky Train berhenti di tempat tujuan masing-masing. Teman saya, Aprilian Cena, memiliki rasa penasaran dan keingintahuan yang tinggi. Akhirnya ia memutuskan untuk bertanya pada salah seorang penumpang. Jawabannya cukup membuat kita semakin kagum dengan mereka. “Kami menghormati para tamu (turis) yang berkunjung ke negara ini.” begitu kurang lebihnya. Betapa tingginya rasa berbagi dan rasa menghargai antara satu sama lain. Entah bagaimana cara memupuk kesadaran diri sedemikian rupa itu kepada masyarakat Indonesia yang salah satu beritanya dalam koran di beberapa waktu lalu bahwa ada seorang remaja yang tanpa berdosa duduk mengambil jatah kursi khusus ibu-ibu hamil, disabilitas maupun orang jompo. Dan di sanalah kita dibuat kagum. Mungkin memang beginilah hukum gegar budaya berlangsung.

    IDENTITAS DAN RUANG KOSONG

    Terlepas dari semua penjabaran saya di atas, ada satu hal pula yang membuat saya bertanya-tanya. Di mana Singapura? Atau, apa itu Singapura? Dari sekian banyak manusia yang kami temui di sana, warga pribuminya kami tidak bisa melihatnya (baca: membedakannya) secara signifikan. Memang benar, Singapura rata-rata penduduknya warga Cina. Tetapi herannya bahasa yang digunakan di sana cenderung bahasa melayu dan bahasa inggris. Dan lagi, ketika di telisik lebih jauh, kami seperti berada di sebuah ruang kosong, atau sebut saja kompleks, yang di dalamnya dihuni oleh Warga India (di blok Little India); Warga Cina (di blok Cina Town), Warga Arab (di blok Kampong Arab) serta beberapa warga negara asing lainnya yang menetap di kawasan Singapura dan mungkin resmi menjadi bagian dari Singapura itu sendiri. Menurut Wikipedia, 42% penduduk Singapura adalah orang asing yang bekerja dan menuntut ilmu di sana.
    Lantas, di mana identitas mereka? Mungkin di bagian inilah kita sebagai warga Indonesia patut berbangga. setidaknya kita masih unggul sebab memiliki beraneka identitas; bahasa, adat serta budaya di masing-masing pulau nusantara. Berharap sajalah di hari depan Macan Asia benar-benar bisa kembali mengaung dan bukan hanya harapan belaka. Dan bukan pula menjadi penduduk yang terus berpura-pura.
    Boleh dibilang saya mengambil kesimpulan terlalu cepat, apalagi di sana hanya beberapa hari saja. Tetapi, sekalipun kalian berkunjung di sana, sepertinya apa yang kami pikirkan tidak akan jauh berbeda. Dan bisa diibaratkan Singapura adalah ruangan kosong yang siapa pun boleh berkunjung dan menetap di sana. Entah siapa nenek moyang mereka yang lebih dahulu tinggal di sana. Yang jelas, satu hal yang sulit terlepas dari Singapura adalah Teh Tarik. Ingin sekali saya menjabarkan bagaimana rasanya, tetapi mungkin di lain kesempatan saja saya bercerita. Atau bisa pula di suatu hari kita duduk bersama di salah satu kafe pinggir jalan Singapura dan menikmati teh tarik bersama-sama sambil mendengarkan percakapan orang India di setiap sudut kota. Semoga saja![]


    Cilegon, 05 September 2015

    Continue Reading
    image by: Fernanda Rochman Ardhana

    Aku tengah membayangkan, ketika sedang menyendiri, ada seseorang yang begitu saja tiba-tiba datang menghampiriku. Membawa dua cangkir, terserah teh atau kopi, lalu memberikan satu untukku. Ia mengambil satu bagian lantai yang kosong. Boleh di sebelahku, atau di hadapanku. Kemudian kami memperbincangkan apa pun. Mulai dari alasan kenapa manusia membutuhkan rumah tinggal, atau kenapa roda kendaraan berbentuk bulat, atau pula membahas tentang kenapa orang sakit jiwa jarang sekali—malah tak pernah—terserang jatuh sakit. Apalah itu, yang jelas aku akan sangat berbahagia andai ada orang yang mau menemaniku di sini. Mendengarkan atau didengarkan keluhan dan curahan hatinya masing-masing.

    Di sebuah dermaga Clondspenz, tempat persinggahan kapal barang, di bagian paling tepi dari ujung jembatan kayu, aku tengah melamunkan segalanya. Apa kehidupan hanya sebatas keluh kesah saja? Yang dibungkus dengan tawa, seolah gembira, saat berjumpa kawan lama. Lalu, setelah itu, saat semua kembali pulang ke persinggahan masing-masing, kau akan merasa kesepian. Mengingat kenangan yang pernah dirasakan bersama, hingga tanpa sadar benda berjuluk air mata merembas. Bergelayut di wajahmu, lalu satu per satu menitik jatuh dipelukan air laut. Sesederhana itu bila hanya diucapkan. Namun, bila dirasakan, bila mendera hidupmu saat ini juga, kau akan merasa Sang Pemilik Kehidupan berlaku tak adil. Meski orang yang aku pikirkan saat ini adalah orang yang baru pertama kali aku temui.
    Bisa kau bayangkan, minggu lalu, saat aku pulang bekerja dari kantor berita sebuah koran nasional, gadis kecil berambut ikal jempet—tak terurus dan kumal—berlari menghampiriku. Ia bergelayut di salah satu kakiku. Jelas saja aku sempat menghindar, namun apa daya, gerakkannya lebih cepat dari yang kukira.
    “Kau siapa?”
    Ia hanya semringah. Lalu berjalan di belakangku.
    “Aku mau pulang. Rumahmu di mana?”
    Ia berhenti sejenak. Merunduk barang beberapa detik untuk kemudian menggeleng. Wajahnya tampak polos seperti lembaran kertas putih yang belum digoreskan tinta. Aku selalu saja tak tega meninggalkan seorang anak kecil sendirian. Apalagi, dari tatapan yang di arahkannya ke wajahku, ia sepertinya mengenaliku. Padahal sore menjelang malam itu aku tak tahu siapa dia. Atau mungkin pikiranku masih disesaki tugas-tugas kantor. Yang kian hari berhasil merontokkan rambutku helai demi helai. Andai ada tawaran kerja dari perusahaan lain di bidang lain, aku pasti akan segera mengambilnya. Tinimbang di kantorku sekarang bekerja, tekanan demi tekanan menyesak di hati dan pikiran. Sedangkan gaji bulan lalu saja masih belum cair juga.
    “Kau sudah makan?” kami melintasi trotoar. Usai pertanyaan itu mencuat, si bocah berlesung pipi itu berlarian. Malah berlompatan riang. Ia seperti tak mendengar pertanyaanku. Tatapannya mengarah ke depan. Aku lekas menyusulnya.
    “Mau pulang?” air mukanya muram. “Baiklah, kalau begitu mari temani aku makan.”
    Dua blok di sebelah kiri trotoar ada rumah makan kecil. Di negaraku, rumah makan kecil seperti itu disebut warung nasi. Di sanalah tempat langgananku mengisi perut sepulang dari kantor.
    Aku memesan dua porsi nasi dengan lauk ikan laut khas kota ini. Bukan karena menu lain tak mampu aku bayar, aku hanya tak mau banyak bicara dengan bahasa daerah ini. Aku masih kesulitan mengucapkannya. Maklum saja, baru enam bulan aku menetap di sini. Dan entah kenapa, hari ini terasa ada yang aneh. Pelayan yang aku ajak bicara tampak begitu cuek. Ah, apa peduliku. Toh, di tempat makan ini bisa bebas mengambil porsi makan sendiri sesuka hati. Asalkan jujur ketika membayar. Tidak seperti di tempat lahirku dulu. Saat masih sekolah, teman-temanku (kalau aku jarang), membeli makan di sebuah warung nasi. Kami dibebaskan mengambil nasi dan lauk sesuka hati. Namun, ketika bayar, mereka hanya membayar satu lauk saja. Padahal jelas-jelas aku melihat mereka mengambil tiga potong daging ayam.

    Kendati demikian, adanya aku di sini itu pun mulanya karena hatiku begitu berambisi menerima pekerjaan di kantor berita tersebut. Tetapi, setelah tahu, ternyata kehidupan di dunia pewartaan sungguh melelahkan. Terkadang, di sela-sela kesempatan untuk melamun—yang sangat sulit aku dapatkan saat bekerja—aku membayangkan tengah duduk di sebuah perusahaan di negara asalku. Membuat berita dengan sesuka hati—asalkan judul kontroversial (meski tak saling menyatu dengan isi beritanya)—kemudian tulisan itu naik cetak esoknya. Aku tahu itu melanggar kode etik jurnalistik yang sakral itu, namun di sana tak terpakai. Asalkan pembaca percaya, itu sudah cukup. Kebohongan tiba-tiba saja bisa jadi hal yang relatif. Tergantung siapa yang memiliki sudut pandangnya.

    Seperti tahun lalu, ketika aku masih tinggal di sana, pada rubrik cerita kota (di salah satu koran nasional), seorang temanku yang menulis beritanya. Di sana tertulis sebuah kisah, yang menurutku mitos belaka. Bagaimana tidak, ia menulis (dari narasumber yang tak jelas alamatnya) begini:
    ‘Ketika mentari hendak tenggelam, lalu tiba-tiba ada anak kecil yang mendatangimu, itu berarti hari kematianmu sudah dekat’. Lalu di paragraf berikutnya ia mengutip ucapan salah satu—konon—orang yang menjadi saksinya. “Ya, benar. Kemarin, sewaktu aku pulang dari rumah sakit bersama pamanku, ia didatangi anak kecil yang meminta uang padanya. Pamanku tak menghiraukannya, ia mengajakku untuk pergi. Dan esoknya, ia meninggal terserang stroke. Kejadiannya begitu cepat berlalu.” Kemudian esoknya kesaksian demi kesaksian semakin berdatangan. Surat satu per satu memenuhi meja redaksi, kata kawanku. Ia menceritakan hal itu dengan wajah semringah. Seperti wajah anak jalanan yang memenangkan sebuah lotre.

    Surat-surat itu datang dari pembaca setia koran tersebut. Dan berita itu bertahan menjadi headline. Menenggelamkan berita korupsi pejabat pemerintah dan pemerkosaan anak-anak di bawah umur. Jelas saja warga akhirnya memercayai hal itu. Konyol sekali, kan? Dan begitulah salah satu alasanku mengambil kesempatan bekerja di negara ini. Tetapi, lagi-lagi sayangnya, aku menyesali keputusanku sendiri.

    Bocah berambut pirang sebahu di sebelahku telah selesai makan. Ia sepertinya tak mau suaranya keluar percuma. Sebab, sejak tadi aku ajak bicara, ia hanya diam. Kalau aku vonis ia tunawicara, sepertinya terlalu cepat. Karena, ketika ia keluar dari toilet, seseorang seperti mengajaknya berbincang. Dan ia menggerak-gerakkan bibirnya, meski aku tak tahu apa yang dikatakannya. Sedangkan, berkali-kali aku melempar tanya, ia hanya tersenyum atau cengengesan. Terakhir, setelah keluar dari tempat makan, aku bertanya, “berapa usiamu?” ia tetap menutup mulutnya rapat. Jemarinya yang kemudian memberi jawaban. Tujuh jari yang ia tunjukkan padaku.
    Sebelum pergi, aku meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja kami. Aku tahu begitulah biasa pembeli membayar makannya di sini. Dan karena aku sudah langganan jadi aku sudah tahu berapa kocek yang harus aku keluarkan.
    Setelah beberapa puluh langkah dari rumah makan, aku kembali berkata, “aku mau pulang. Sampai di sini saja, ya.” Aku tak mau menunggu ia menjawab. Lekas saja aku berbelok ke arah kiri. Masuk ke blok yang lebih kecil. Di benakku hanya terbayang kamar dengan kasur yang empuk (pada kenyataannya tempatku tinggal hanya ada kasur tipis).
    “Ayo ikut!” tentu itu dua kata pertama yang kudengar dari bibirnya. Kesepuluh jemarinya menarik lengan kananku.
    “Ikut ke mana?”
    Sepertinya ia lebih senang membisu. Padahal, suaranya tak begitu mengganggu. Meski hanya baru dua kata saja yang aku dengar.
    Di ujung trotoar, ada sebuah dermaga. Namanya dermaga Clondspenz. Banyak kapal barang (besarnya melebihi kapal Feri di negaraku) yang singgah di sana. Untuk kemudian diangkut dengan mobil Container besar. Bocah itu menarikku ke sebuah jembatan kayu. Jaraknya tidak terlalu jauh dengan kapal-kapal besar yang sedang tidak beroperasi.
    “Untuk apa kau mengajakku kemari?”
    Ia celingukan. Rambut pirangnya tersapu angin. Kaki-kaki kecilnya berlompatan meningkahi lantai kayu yang berdecit. Tiba-tiba pandangannya jauh. Ia menunjuk salah satu kapal. Kapal yang tengah berlayar. Namun, berjalan mendekat ke arah kami.
    “Tunggulah sebentar.” Dua kata berikutnya mencuat. Aku tak tertarik dengan maksudnya. Aku malah menaruh kecintaan pada cara bicaranya. Logatnya mengingatkanku pada anak-anak di negaraku, di kota tempat lahirku. Tetapi, wajahnya jelas saja khas anak-anak kota ini.

    Mentari tenggelam yang tampak dari dermaga ini sangat memesona. Ia seolah jatuh di balik pepohonan rimbun yang membentang di sana. Kapal yang tadi ditunjuk gadis kecil yang tak kutahu namanya itu telah mendekat. Kembali ia menarik lenganku. Mengajak ke kapal yang sudah bersentukan dengan tempat pemberhentian.
    Orang-orang berkerumun. Kali ini, berbeda dari hari biasanya. Ramai sekali. Para wartawan, yang biasanya sudah pulang, sore itu ada di sana. Membawa kamera masing-masing. Orang-orang saling berteriak. Aku kelimpungan. Sementara bocah di depanku terus membawaku semakin dekat dengan keramaian.
    “Ada apa?”
    “Lihat!” kata yang kelima terlontar. Aku melihat puluhan peti mati dikeluarkan dari dalam kapal. Entah itu datang dari mana. Aku masih memandang bocah kecil berambut ikal jempet itu. Ia berlari ke bagian belakang kapal. Tempat yang paling sepi di antara sudut lainnya. Sepertinya memang tak ada yang memerhatikan kami.
    “Mau ke mana?”
    Ia menggeleng. Kemudian tersenyum dan melambaikan tangan mungilnya. Kaki-kakinya yang tak beralas memacu langkah kian kencang. Setelah berjarak hampir 10 meter dari tempatku berdiri, ia melompat ke laut. Ya, ia melompat! Aku berteriak histeris. Sebab, aku tak bisa berenang. Tiba-tiba saja aku teringat kejadian sepuluh hari lalu. Ketika hendak mencari berita, saat menyeberangi lautan, aku melompat ke laut untuk mengambil tape recorder-ku yang tiba-tiba terjatuh karena perahu terbentur ombak yang cukup besar. Celakanya, aku tak sadar kalau tak bisa berenang. Beberapa hari aku tak sadarkan diri.
    Aku mendekati orang-orang yang berkerumun di antara banyak peti yang diturunkan dari kapal. Aku ingin meminta bantuan. Sebab, sewaktu bocah itu melompat, air laut tampak tenang, dan ia tak kunjung timbul ke permukaan.
    “Tolonglah! Ada anak yang tenggelam!”
    Orang-orang tak menghiraukan teriakanku. Mereka malah sibuk bertukar air mata. Saat aku semakin mendekat, beberapa peti dibuka. Di antara keramaian, aku melihat Jane, kekasihku. Ia tampak mematung di depan salah satu peti. Aku cemas. Siapa orang di dalamnya?
    Setelah melihatnya sekilas, ternyata di dalam sana terbujur tubuh seseorang berwajah mirip denganku. kuperhatikan lamat-lamat, rupanya benar dia aku! Aku bertanya pada Jane tetapi ia tak merespons. Ah, terserahlah! Yang pasti, aku harus menolong gadis kecil itu dulu. Sebelum hari benar-benar petang.[]

    Cilegon, 30 April 2015
    Continue Reading


    Ade Ubaidil 'Si Airmata Sang Garuda yang Sekarang Nongkrongnya di Kafe Serabi'


    Berfoto di salah satu Kafe di Kayuringin-Bekasi
    (btw, Logo Kafe Serabi itu cuma editan, tapi saya juga berharap punya Kafe sungguhan)


    Mungkin belum banyak orang yang tahu bagaimana seorang Ade Ubaidil si penulis novel ‘Kafe Serabi’ itu memaknai sebuah persahabatan. Fadhli terkenang ketika tahun 2014 mengabari Ade Ubaidil bahwa Fadhli sedang dalam perjalanan menuju Bekasi. Sontak Ade berkata, “Ade ingin ketemu dengan Abang, di mana Abang tunggu Ade?” Terciptalah janji untuk bersua di Pool Damri – Kayuringin, Bekasi.

    Berangkatlah Ade Ubaidil siang itu dari kediamannya di Cilegon menuju Bekasi. Betapa semangatnya dia hanya untuk ingin bertemu dengan Fadhli. Dengan turun naik kendaraan, mulai dari bis, kereta api, angkot hingga ojeg pun ditempuhnya jarak yang sangat jauh itu.

    Sesampainya Ade di Kayuringin, ternyata Fadhli tak ada di sana."Abang sudah di Tune Hotels, Ade,” jawab Fadhli menerima telpon dari Ade. Alangkah kesalnya Ade, karena Fadhli dianggap tak penuhi janji. Ade merasa Fadhli permainkan.

    Di Tune Hotels – Bekasi, Fadhlipun menjelaskan kepada Ade. “Tadi Abang dijemput karyawan Mas Alex J Mariat (Kakak kandung Mas Katon Bagaskara), De. Kamipun sama-sama ingin saling berjumpa. Abang diundang Beliau datang ke perusahaannya sekalian melihat studio musik Beliau”. Ade-pun mengerti dan kamipun lanjut berbincang ditemani seduhan teh hangat sore itu.

    Persahabatan dengan Ade ini unik, meski kami sama-sama suka menulis tapi jarang sekali membahas tentang tulisan. Ibaratnya sudah kayak saudara saja, tempat dirinya untuk berbagi suka dan duka serta rahasia.

    Padahal sering Ade ingin berbagi suka tentang tulisannya dibukukan secara indie, atau tulisannya jadi kontributor di antologi sana sini. Tapi tak pernah sekalipun Fadhli memberikan pujian padanya. Fadhli hanya menjawab, "Jika Ade belum terbitkan buku di label mayor, jangan pernah euforia dengan abangmu ini."

    Malah kemarin Ade ke Singapura dengan bahagianya dia mengabari, “Bang, Ade dapat hadiah jalan-jalan ke Singapura karena tulisan Ade”, tapi dengan hambar Fadhli menjawab. “Katanya hadiah untuk sastrawan, kok hadiahnya ke Singapura? Gak nyambung banget ya. Cocoknya itu ke Korea atau ke Jepang atau negara lain yang kuat nilai kebudayaan dan sastranya. Ini kok malah ke Singapura”, pastilah pasi paras Ade mendengar respon Fadhli ini.

    "Itulah seorang Ade Ubaidil, yang Fadhli temani berkarya bukan dengan pujian, malah kadang dengan makian". Persahabatan kami unik, lebih sering bertengkar daripada akurnya. Dan sering Fadhli membuatnya menangis. Maafkanlah Abangmu ini ya De, tapi hari ini Abang juga tak akan memujimu, De.

    Tapi Ade Ubaidil hari ini bukanlah Ade Ubaidil yang dulu lagi dalam menulis, perkembangan dia sangat pesat. Dia sudah membuktikan pada Fadhli, lewat novel ‘Kafe Serabi’ yang tembus label mayor dan sudah dipasarkan di toko-toko buku di seluruh kota di Indonesia. Dan kamu De, sangat pantas untuk menulis novel bertema persahabatan, karena persahabatan itu kepribadianmu yang lekat.

    Dan siang ini novel ‘Kafe Serabi’ itu sudah dikirim Ade Ubaidil ke alamat Fadhli. Insya Allah akan abang baca novelmu itu, De. Sudah tak sabar hati Abang untuk menerima dan membacanya.

    Oh iya, De. Buku Kumpulan Cerpen pertama Ade yang judulnya 'Air Mata Sang Garuda' yang dulu pernah Ade kirim ke Abang, sampai hari ini masih utuh loh segel plastiknya, pintar kan Abang merawatnya? :D

    Kopdar bersama abang sekaligus sahabat saya, Bang Fadhli


    Oleh: Muhammad Fadhli


    10 September 2015 (di status Facebook).



    ===============================================================
    Postingan di bawah ini lanjutan dari catatan Bang Fadhli
    saat sudah mendapatkan kiriman novel Kafe Serabi-nya :')
    ===============================================================


    Bang Fadhli selfie bareng Kafe Serabi dan catatan-catatan penting :D

    Abang jadi numpang keren nih, foto dengan buku novelmu, Ade. Tapi, kata-kata di tandatangannya kok pait banget, sampe bilangin Abang si tukang blokir. Idih… itukan salahnya Ade, kenapa juga keras begitu, orang lagi gak mood dicandain juga, makanya abang blokir Ade dari FB ini dan abang hapus pertemanan di BBM. Tapi kalo kita lagi gitu, Ade suka ngadukan, lapor sama bang Denni, kan? Ya kan? Ha ha ha. Tapi kalau Ade udah sms Abang atau nelfon gitu, sampai di manalah kerasnya Abangmu ini, De. Pasti luluh juga kan. Buktinya Abang invite dan add lagi kan. Ha ha ha



    Dan tentang itu akhirnya Ade temukan sendiri jawabannya, dan jadi tagline di cover depan novel ‘Kafe Serabi’ Ade ini; ‘terkadang dibutuhkan keegoisan dalam menjalin hubungan’. 


    Nah, sampai di mana keegoisan itu dieksplorasi Ade Ubaidil dalam novelnya ini, temukanlah jawabannya dengan membeli buku novel perdananya ini di Toko Buku Gramedia di kota Anda, novel ini sangat menarik dalam menggarap makna sebuah persahabatan.

    Thank’s ya De, udah secara spesial kirimin Abang buku novel Ade yang fenomenal ini. Yang pasti abang gak akan pinjamin Bang Denni Meilizon, karena di cover dalam Ade gak tulis, “boleh dipinjam-pinjamin,” ha ha ha dan Abang juga gak bakalan izinin Bang Denni untuk fotokopinya, karena untuk nulis novel ini entah udah berapa ratus malam Ade gadangkan untuk menuntaskannya. Masa di fotokopi-fotokopi aja. Waka ka ka. Tapi De, kata bang Denni, kalau Ade gak mau jadi Ubay, Ade harus adil lah. Masa guru nulis Ade gak kebagian, ya kan Denni? Ha ha ha ha. Kalau Abang kan cuman guru bertengkar Ade ajanya. Waka ka ka

    Dan kesuksesan Ade Ubaidil ini adalah hasil nyata Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia dalam memotivasi para anggotanya untuk saling menyemangati, saling membesarkan dan saling menumbuhkan. FAM Indonesia itu pohon pisang, marilah sama-sama selalu kita sirami akarnya dengan silaturahmi dengan komunikasi tak henti, agar pohonnya tumbuh subur dan masak buahnya tak sesisir saja, namun setandan hendaknya. Aamiin ya Rabbi. 

    ~ Ade, jangan pernah puas berkarya ya, ini baru satu anak tangga kesuksesan yang Ade pijaki, masih tinggi untuk Ade daki dan tangganya itu tak berujung, De.

    Allahu Akbar. 
    Subhanallah walhamdulillah, barakaullah.
    Wassalam.


    Oleh: Muhammad Fadhli


    Villa Mahameru-Padang, 14 September 2015 (di status Facebook).







    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PRE-ORDER]

    Pengunjung

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?

    (Epigraf | 164 halaman | Rp. 50.000)

    [PESAN]

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    bedah buku #sbtml

    bedah buku #sbtml
    Bedah Buku di SMK Wikrama, Bogor pada: 23 April 2018

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ▼  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ▼  September (5)
        • [RESENSI] KUMPULAN ESAI: GADUH KARYA BOYKE PRIBADI...
        • [MOMENT] TESTIMONI: CATATAN SEORANG SAHABAT
        • Dermaga Clondspenz (Inilah Koran, 27 September 2015)
        • [ESAI] NEGERI SINGA VS NEGERI KITA (Biem.co, 17 Se...
        • [ESAI] PENTINGNYA RUANG PUBLIK DAN TAMAN BACA MASY...
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (5)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top