Dunia Maryam

February 19, 2015

Sudah dua pekan berlalu, tetapi tumpukan buku yang dibeli Maryam belum juga selesai dibaca. Hari ini, seorang tukang pos mengetuk pintu rumahnya—lagi. Sebuah benda dibaluti kertas berwarna coklat ada dalam genggamannya. Pak Pos tak banyak bertanya. Ia sudah dapat memastikan bahwa orang yang membukakan pintu itu adalah orang yang ia cari.
“Wah, baru juga kemarin saya kemari.” Tangannya menyodorkan bungkusan kepada Maryam.
Maryam hanya terkekeh malu. Usai itu Pak Pos pamit tanpa meminta tanda tangan penerima lagi. Saking seringnya mengantarkan kiriman untuk gadis berkulit putih itu.
“Buku lagi?” sindir ibunya yang tiba-tiba keluar dari dapur.
Maryam tak mau menanggapi ibunya. Gegas saja ia menaiki tangga menuju kamar. Kegemarannya memesan buku melalui media online sudah ia lakukan sejak satu tahun terakhir. Baginya buku adalah kawan yang paling setia. Buku selalu bisa menanggapi apa saja yang ia butuhkan atau ketika mencari jawaban. Buku tak akan marah sekalipun ia mencampakkannya. Buku adalah benda paling sabar kedua setelah ayah. Begitu batin Maryam. Dilain hal, ia memuji ayahnya; tetapi di sisi satunya secara tidak langsung ia menyetarakan ayahnya dengan sesuatu berupa benda.
Maryam lebih senang menghabisi waktunya di atas balkon. Terlebih ia sudah lulus dari sekolah SMA-nya. Tak banyak kegiatan yang ia lakukan selain tidur-tiduran; membaca buku, membeli buku dan terkadang, berbincang dengan buku. Hal terakhir yang disebutkan dianggap lebih baik tinimbang berbincang dengan teman-temannya. Bahkan ia merasa tak memiliki teman. Orang-orang yang berada dalam satu ruangan di sekolahnya tak lebih serupa kanak-kakak penggembira ketika hujan tiba. Setelah reda, mereka akan kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Uniknya, Maryam berpikir ia bukan dari bagian salah satu kanak-kanak itu atau pun butiran hujan. Ia hanya tanah datar yang menjadi pijakan mereka tanpa ada yang mau memedulikannya.

***
Suatu malam, Maryam merasa kesulitan untuk tidur. Ia menyiasatinya dengan membaca buku. Andai kau bertandang ke rumahnya, jangan kaget bila menemukan beberapa buku tergeletak di dapur; anak tangga, ruang keluarga, di atas televisi dan bahkan di dalam kamar mandi. Itu sebabnya ibu Maryam sering kelimpungan meladeni hobi anaknya. Baik memang, menurutnya, tetapi sepertinya apa yang dialami anaknya sudah melampaui batas. Hanya saja, ia sering hati-hati bila ingin menegur Maryam. Sudah sering pula keributan terjadi hanya gegara salah-mengartikan ucapan ibunya.
Maryam keluar dari dalam kamarnya. Rambut rintik bergelombangnya disambut angin malam. Kakinya melangkah menapaki balkon yang berlantai kayu. Dua buku di tangannya siap menemani. Segera ia menempati kursi yang mengarah ke bagian depan balkon. Kerlip lampu-lampu kota bak kisah kunang-kunang dalam buku memenuhi indera penglihatannya. Binatang kecil itu hanya akan keluar di malam hari. Cahayanya menentramkan jiwa. Andai aku bisa melihat kunang-kunang, seru hatinya, pasti akan kujadian ia sahabat berikutnya setelah buku. Sayang panggang jauh dari api. Tinggal di tengah perkotaan, mengharapkan itu semua seperti kau bermimpi bisa menaiki pelangi kemudian di ujungnya akan kau temui sebuah kuali harta karun. Dan kau hidup bahagia. Sayangnya lagi, pikir Maryam, semua hanya bisa terjadi dalam dongeng.

Terdengar lonceng berdengung dari lantai dasar. Jam klasik berukuran satu setengah meter itu milik mendiang ayahnya. Di sisi lain, suara yang terdengar dari loncengnya sungguh menjengkelkan—sampai pernah Maryam melepaskan baterai dari mesinnya. Itu terjadi satu tahun lalu ketika ayahnya masih bersama mereka. Namun, di lain hal, lebih tepatnya saat Maryam kesulitan merelakan kepergian ayahnya, bunyi lonceng itu teramat ia rindukan. Suara gaduh loncengnya seolah mengantarkan ia berjumpa dengan ayahnya di alam lain. Entah kenapa, malam itu, ketika ia teringat sekaligus meresapi suara lonceng di lantai dasar, ia menyadari sesuatu sesaat sebelum ke Balkon. Ia melihat jam dinding di kamarnya menujukkan pukul 01.00. Biasanya, lonceng di lantai dasar akan berbunyi sesuai angka yang ditunjuk jarum pendek. Namun, malam itu, ketika ia teringat sekaligus meresapi suara lonceng di lantai dasar, ternyata bunyi loncengnya berdentum berkali-kali. Bahkan suaranya semakin keras dari bunyi pertama. Baiklah, ini sudah tidak lucu lagi, batin Maryam menenangkan diri. Anehnya, dengan suara yang sebegitu kerasnya, kenapa ibu tidak juga memanggilku, pikirnya lagi. Atau paling tidak suara lonceng itu harusnya sudah berhenti karena ibu sudah mencabut baterai dari mesinnya seperti yang pernah aku lakukan.

Maryam memejamkan kedua matanya. Ia berharap, dengan melakukan itu suara lonceng akan tiba-tiba saja lenyap. Sayangnya tidak. Suaranya semakin meninggi. Seperti menaiki anak tangga. Merayap melalui getaran. Meningkat satu oktaf tiap dentumannya seperti penyanyi seriosa berlatih vokal dan tangga nada. Bulu kuduknya meremang. Atmosfer di balkon seketika menjelma udara dingin yang begitu menusuk kulit. Maryam belum juga berani membuka kelopak matanya. Kedua kakinya ia angkat lalu dipeluknya. Buku yang tadi dalam genggamannya dibiarkan terlepas dari tangan. Ia meringkuk. Terlebih jeritan lonceng semakin melangit. Ia membayangkan lonceng itu berada dalam telinganya. Ketika ia sibuk menenangkan diri, terdengar derap langkah kaki menuju ke arahnya. Lantai balkon berderit serupa suara lengking tangis paling menyayat yang pernah Maryam dengar. Tubuhnya bergetar hebat. Air mata ketakutan menguar tak tuntas. Ia menggigit bagian bawah bibirnya sambil berharap apa yang terjadi malam itu hanyalah mimpi belaka.
“Maryam!”
Gadis itu pun melonjak. Sebuah tangan mendarat tepat di bahunya. Dengan kepala merunduk dan tubuh gemetar, ia mendapati bayangan tinggi besar pada lantai balkon yang tersorot lampu.
“Kenapa, Nak?”
Suaranya terdengar akrab di telinga Maryam. Meski dengan hati-hati, akhirnya Maryam mendongakkan kepala.
“Ayah?” mulutnya ternganga beberapa detik. “Ini benar, ayah? Ta-tapi, tapi…, bagaimana mungkin?”
Malam itu, ia bisa bicara meski terbata-bata.
“Kamu mau tidak melihat kunang-kunang?”
Wajah Maryam masih tampak kosong. Ia memastikan sosok tinggi besar di hadapannya itu benar adalah ayahnya. Ketika sudah yakin, sedikit-demi-sedikit ia menyingkirkan rasa takutnya. Ia malah penasaran dengan apa yang pria itu tawarkan padanya. Meski dengan hati ragu, akhirnya Maryam pun mengangguk sambil berkata, “mau, Ayah.”
Ayah menggenggam tangan Maryam. Kakinya dengan pasti mengajak anak gadisnya itu menuruni anak tangga. Mereka menuju lantai dasar. Rasa takut yang semula mengerumuni tubuh Maryam, sesaat kian berkurang. Ia merasa aman ketika bersama Ayahnya. Namun saat melihat pintu jam klasik itu terbuka dengan jelas terpampang lonceng yang bergerak ke kanan dan ke kiri  (tampak begitu cepat). Maryam mendekatkan tubuhnya dan menggenggam tangan ayahnya semakin erat. Ia bergidik, meski tetap mengikuti laju sosok di depannya.
Ayahnya melompat memasuki badan jam. Jantung Maryam berdebum tak kalah cepat seperti lonceng itu. Aku bisa merasakannya. Sebab aku adalah bagian dari Maryam. Bahkan ia sanggup menjerit sedemikian keras hingga terdengar begitu melengking dan mengganggu pendengaranku. Ia tak peduli sebab belum pula menyadari keberadaanku. Ia memejamkan kedua bola matanya. Setelah tersadar dan semua kembali tenang, ia sudah berada di alam yang berbeda.
Inilah duniaku. Dunia yang selama ini diidam-idamkan Maryam. Dari banyaknya buku yang ia koleksi, hampir semuanya berkisah tentang dunia yang damai, menyejukkan dan ditinggali ribuan kunang-kunang. Hebatnya gadis ini adalah, ia tidak sedikit pun merasa ketakutan saat bertemu sosok yang serupa ayahnya. Wajahnya malah menunjukkan air muka kebahagiaan. Padahal, dari suara hatinya, aku mendengar bahwa ia tahu dan sadar ayahnya telah wafat. Namun kerinduan tetaplah kerinduan. Ia berpikir kesempatan emas semacam itu tidak pernah dan mungkin tidak akan ia peroleh di malam-malam berikutnya.

Dari celah dedaunan, melewati reranting, sinar mentari menelusup hingga jatuh ke wajah Maryam. Ia terjaga dari tidurnya. Linglung sesaat. Memang benar, aku berada di dunia peri, serunya kemudian. Ia bahkan tak percaya pada sesuatu yang baru saja terucap dari bibirnya. Ya, di sana, ia bisa menjerit, teriak, bahkan memaki sekalipun; meski ia urung melakukan hal terakhir yang disebutkan. Tempat serupa surgawi yang tertulis dalam lembar-lembar kitabNya pagi itu bisa ia rasakan. Semalam, sebelum ia tertidur di bawah pohon Ek, ia menari-nari bersama ribuan kunang-kunang. Ia bahkan kesulitan mencari frasa yang melebihi kata bahagia saat mendapati senyuman ayahnya. Teringat itu, lekas saja ia menyerukan kata, ‘Ayah!’. Lantang sekali, dan bagiku itu terdengar merdu. Ia mengucapkannya berkali-kali seperti penjaja buah-buahan yang biasa melintas di depan rumahnya. Sayangnya, tak ada sambutan dari orang yang dicari. Maryam celingukan. Kali ini ia mulai khawatir. Ia berlari mengelilingi pohon-pohon rindang yang ditumbuhi aneka buah-buahan yang belum sekalipun ia temui di dunia asalnya. Namun ia tak peduli. Ayahnya yang terpenting. Baginya, tak ada kebahagiaan yang sempurna sekalipun di dalam surga bila tak bersama orang tercinta.

Maryam kelelahan. Ia berhenti di tempat semula. Sebelum ia hendak duduk dan bersandar pada pohon Ek, dilihatnya sebuah tulisan yang terukir pada badan pohon itu. Ia membacanya cukup keras:
Ayah tidak ke mana-mana, Maryam. Sejak kali pertama kau datang, ayah selalu di sini. Memerhatikanmu.
Jangan kau tatap aneh begitu. Apa yang kau tangkap dalam matamu semalam, adalah apa yang selama ini ingin kau lihat. Yang jelas, ayah akan tetap menjagamu. Ayah akan selalu hidup di hatimu.
Maryam tak percaya. Tak ada sesiapa di sana. Ia menjerit sejadi-jadinya. Kali ini, lebih melengking dari sebelumnya sewaktu ia akan melompat masuk ke dalam jam di rumahnya. Tiada yang bisa aku lakukan selain memanggil para kunang-kunang untuk menghiburnya. Para prajuritku itu pun dengan senang hati berdatangan dari balik semak-semak meski hari masih terang. Maryam menangis sesenggukan mendekap tubuh pohon Ek. Pohon yang berbeda dari pohon lain di sekitarnya. Pohon yang buahnya beraneka rupa dan tentu saja berbeda-beda rasa. Inilah duniaku. Aku putri di hutan hijau yang makmur ini. Aku tidak bisa membayangkan andai tempat ini disinggahi makhluk jahat seperti yang ada di dunia Maryam. Gedung-gedung tumbuh serupa jamur di musim penghujan. Mencengkeram-dalam hingga ke rusuk bumi. Gunung-gunung tergerus mesin-mesin terkutuk. Bagaimana mungkin Maryam bisa berjumpa kami; para kunang-kunang, sementara tiada tempat bagi kami menghirup kedamaian.
Inilah duniaku. Dan beginilah caraku. Demi gadis lugu dan tak pandai bersuara di dunianya itu, aku bersemayam di tubuhnya. Lebih tepatnya dimulai ketika ia melepas dan memasang baterai di jam klasik itu. Aku mewujudkan salah satu keinginannya untuk memiliki sahabat yang bisa mendengar, merasakan dan selalu ada untuknya.
Aku membawa Maryam kembali ke dunianya. Aku biarkan ia mendapatkan pengalaman indah ini tanpa harus menghapusnya dari dalam memori pikirannya. Biar ia dapat merasakan. Biar ia tahu bahwa di belahan lain; di alam semesta ini, masih ada sebuah tempat yang penuh dengan kedamaian. Sekalipun ia tak mampu menyampaikan secara rinci pada ibunya; pada keluarganya; atau mungkin teman-temannya. Aku biarkan ia memiliki dunianya sendiri; memiliki semestanya sendiri. Salah satunya dengan mengoleksi buku-buku bacaan yang berkisah tentang dunia khayal yang penuh dengan kebahagiaan.

Ada satu hal lagi yang belum ibunya ketahui tentang Maryam; anak semata wayangnya. Kemarin, setelah mengalami hal-hal menakjubkan itu, Maryam memilih untuk menulis. Gadis manis dengan lesung pipi itu mulai menemukan cara untuk menyampaikan sesuatu pada dunia. Sudah aku katakan, sekalipun aku bagian darinya, aku tidak akan mengatur-atur kehendaknya. Bisa dibilang, hasrat untuk menulis ini adalah resmi tumbuh dari dalam jiwanya yang paling dalam. Bisa jadi, tiga tahun; lima tahun, atau satu dekade kemudian akan lahir seorang penulis luar biasa yang tak pandai bersuara, tetapi pandai merangkai kata dan akan menggemparkan jagat raya dengan karya-karyanya.[]

Cilegon, 19 Februari 2015

You Might Also Like

5 komentar

  1. Keren, Dee. Sukses terus!

    ReplyDelete
  2. De, point of view-nya gonta-ganti ya, jadi bingung, tapi akhirnya ngerti dengan sendirinya. Dikoreksi lagi kali ya, De..hehe
    Kamu jago banget dalam hal menarasikan sesuatu hal ya, :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. whehehe... ini kali pertama nyoba gonta-ganti PoV yg cukup njelimet menurutku sendiri. Ya, memang setelah dibaca2 ulang perlu koreksi ulang dan perbaikan. makasih sudah mampir dan masukannya mbak Yula :)

      Delete
  3. Adeee....
    Mengapa background blog kita serupa (tapi tak sama)? Mengapa oh mengapa? Oke, gue lebai. -_-!!

    Sebelumnya, gue cuma mau bilang WOW! Kosa kata, diksi, dan gaya tulisanmu makin canggih. Ciyus! XD
    Btw, tokoh Maryam kok seperti gue ya? Yang sering beli buku onlen dan disindir Emak. Hahahaha....

    Setelah baca kisah Maryam, gue mencatat beberapa hal (ceileh, mencatat). Bukan soal gaya tulisan dan diksi, karena sudah terbukti lebih canggih dari gue. Tentang penggunaan nama Maryam, rasanya agak capek ketemu Maryam lagi-Maryam lagi. Mungkin bisa diganti dengan kata sebut lainnya atau penggunaan deskripsi tentang bagaimana Maryam. Di sini juga pembaca nggak bisa menggambarkan bagaimana sosok Maryam. Kurus, gemuk, tinggi, pendek, berambut panjang, berambut pendek, dsb.

    Lalu penggunaan huruf kapital pada kata Ayah dan ayah. Gue yakin lo pasti ngerti ini. ^o^

    Tanda elipsis. Di kalimat ini >> “Ini benar, ayah? Tapi, tapi…, bagaimana mungkin?”
    Kalau yang gue pahami, Maryam mengucapkannya agak terputus-putus. Mungkin akan lebih tepat kalau penulisannya begini >> “Ini benar, ayah? Tapi ... tapi… bagaimana mungkin?”

    Saking begitu seringnya mengantarkan kiriman untuk Maryam. >> Ini rasanya agak mubazir ya (menurut gue). Saking seringnya mengantarkan kiriman ....

    Oh ya, terakhir. Iya, terakhir. Ukuran font bisa dikecilin dikit tak? Atau lo emang terbiasa dengan font besar ya? Abaikan ini jika memang lo nyaman dengan font segitu (?)

    Overall, gue suka tulisan ini.
    Salam untuk Maryam. ^o^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Desviiiii >,< *izinkan aku menjawabnya...

      1. gue ceritanya lagi rombak blog nih, (biar eye catching ceritanya) nah, pas cek ane nemu yg baground itu, simple banget kesannya. Eh, setelah itu, ane blog walking ke milikmu, ternyata kita sama hahaha *jangan2 kita jodoh. ((plaakk))

      2. terima kasih untuk apresiasinya, tapi mungkin ini efek baca juga *meski masih kudu dipaksain whehehe... dan, aku pun serupa Maryam, beliin buku tp blm semua dibaca, dan emakku juga nyindir begitu T.T

      3. Saya seiya-sekata denganmu *apeulah*. Memang pendeskripsian fisik Maryam kurang jelas. Tapi mungkin saya lebih fokus ke deskripsi sosok Maryam secara empiris dan kejiwaannya. Setuju juga, mungkin terlalu banyak penyebutan Maryam :3

      4. Perkara penulisan huruf kapital Ayah/ayah, saya memang kadang kesulitan *atau lebih tepatnya males ngingetnya* hahha penulis abal-abal XD tapi makasih sudah koreksi sedetail itu.

      5. Aku sepaket *eh sepakat dng penggunaan elipsis, bisa diterima :) pun dng kalimat pembuka yg terselip kata mubadzir. I will repair ^^

      6. tentang font, sebenernya ini udah diedit berulang2... saya jarang pake font segede ini. (Coba aja cek di postingan cerpen sebelumnya). Tapi, karena kalo font-nya di kecilin malah jadi kecil banget, seukuran font di komentar ini T.T

      Overall, saya ngucapin banyak2 terima kasih sama kamu, Desvi. Ini cungguh-cungguh cangat membantu :)

      Kata Maryam, kamu Syantik :v

      Delete