Air Mata Ibu yang Jatuh di Atas Sepiring Nasi Ketika Senja Tiba

February 08, 2015


Di antara ketiga anak Mendiang Pak Anwar, Salma-lah yang dianggap paling rajin. Bukan hanya ibu dan bapaknya saja yang mengakui hal tersebut, Retno dan Lisna juga mengakui adiknya itu lebih baik dari mereka.
Setiap pukul 03.00 dini hari, Salma sudah terjaga dari tidurnya. Apa pun ia kerjakan, seperti: mencuci piring, mencuci pakaian, menanak nasi pada tungku di halaman belakang rumahnya, sampai memberi makan Ayam dan Bebek peliharaan bapak—dan kini ibu yang memelihara. Wajar apabila orang tua tunggalnya itu sangat menyayangi Salma melebihi kedua kakak perempuannya. Begitu pun almarhum bapaknya sewaktu masih ada bersama mereka.
Ibu pilih kasih!” ucap Si Sulung suatu ketika.
“Kamu kenapa sih, Nduk? Sudah dewasa, kok masih bicara begitu.”
“Habisnya, Ibu cuma perhatian dengan Salma. Setiap kali Aku dan Lisna meminta sesuatu, tak pernah Ibu turuti. Salmaaa saja!” Tas ransel yang dibawanya ia banting di balai-balai bambu samping ibunya yang tengah memasak air.
“Apa sih maksudmu, Nduk?”
“Ah, Ibu pura-pura tak paham. Lihat itu, cuma Salma saja yang dibelikan sepatu baru. Sedangkan kita?!” kedua matanya sinis, sesekali tangan kirinya menyenggol Lisna yang sedari tadi diam di sampingnya.
“Oh, itu. Sepatu Salma ‘kan sudah rusak, kasihan adikmu itu. Kamu sudah mau lulus SMA, Nduk. Jangan bertingkah macam anak SD-lah. Ibu tak suka,” suara paraunya berusaha mengendalikan amarah. Kedua anaknya itu berlalu ke kamar dengan memasang wajah kusut. Bahkan mereka lupa atau mungkin sengaja tidak menyalami tangan ibunya seperti yang sering mereka lakukan di lain hari.
Sejak saat itu, Retno dan Lisna memutuskan untuk memusuhi Salma. Meski di awal mereka mengakui sifat adiknya lebih rajin, tekun serta pandai dari mereka, akan tetapi akhirnya mereka kadung kesal dengan Salma. Hari-hari mereka dipenuhi dengan kebencian pada gadis yang Desember nanti genap tiga belas tahun itu.

***
Sepulang dari pasar pagi tadi, Ibu mengetuk pintu kamar ketiga anaknya—karena Retno, Lisna dan Salma tidur dalam satu ruangan. Rupanya pintu kamar tidak dikunci. Istri Pak Anwar itu melongokkan kepalanya. Pandangannya menyusuri tiga kasur yang berjajar: hanya satu kasur yang tidak seorang pun menempatinya.
Ibu sedang apa?” suara lembut dari balik lehernya mengagetkan.
Astagfirullah! Kamu mengagetkan Ibu saja, Nduk.” Ia berbalik dan menemukan orang yang sedang dicarinya.
“Maaf, Bu.” Salma menunduk sambil menahan tawa kecilnya.
“Ya, nggak apa-apa. Kamu dari mana? Ibu lagi nyariin kamu, Salma.”
“Habis ngumpulin kayu bakar, Bu. Justru Salma yang sedang cari Ibu. Biasanya ‘kan kalau pagi ibu ada di dapur.
“Duh, kamu benar-benar beda dengan kedua kakakmu, Nduk. Saat hari libur begini, mereka masih asyik bermimpi, tapi kamu malah sudah bantuin Ibu.” Matanya berbinar seraya tangannya mengelus lembut kepala Si Bungsu yang berkerudung. “Ibu habis pergi tadi…, dan Ibu punya sesuatu buat kamu. Ayo ikut!” Sambungnya sambil menjabat lengan Salma. Hati Salma bertanya-tanya, sesuatu apa yang dimaksudkan oleh ibunya itu.
Keduanya sudah berada di teras depan rumah. Salma terperangah melihat sesuatu yang ditunjukkan Ibunya. Keinginannya yang sudah lama ia pendam dalam hati, akhirnya dapat terwujud. Tak sia-sia doa yang selalu mengalir di sepertiga malamnya.
Tadi ibu habis dari pasar bersama Mang Saswi. Beliau bantu membawakan sepedanya. Ini buat kamu, Nduk!”
“Dari mana Ibu tahu, Salma ingin memiliki sepeda?”
“Aku Ibumu, Nduk. Aku tahu apa yang dibutuhkan anaknya, sekalipun tanpa disampaikan secara lisan.” Ia memeluk Salma yang kelopaknya telah digenangi air mata. “Selamat ulang tahun, Salma.” Kening  Bungsunya yang bersih, seketika ia cium.
“Terima kasih banyak, Bu. Aku sayang Ibu, Kak Retno dan Kak Lisna.” Salma memeluknya erat penuh kehangatan. Dalam hati dia pun tengah merindukan bapaknya yang sudah wafat sejak dia masih berusia sembilan.
Semoga bermanfaat buatmu, Nduk,  ucap ibunya membatin. Sepeda itu didapat dari hasil menjajakan penganan tradisional yang dibuatnya sendiri. Dalam benaknya sesekali ia khawatir, mengingat jalan menuju sekolah Salma sering terjadi perampokan. Bahkan bulan lalu ada salah satu anak SMA yang diperkosa dan dibunuh secara keji di jalan itu. Ia berharap dengan pemberiannya itu, Salma bisa lebih merasa aman dan berhati-hati.
***
Hari-hari Salma semakin diliputi kebahagiaan. Ketika berangkat ke sekolah, ia selalu membawa sepeda pemberian ibunya. Tanpa merasa menjadi anak yang paling disayang, sering kali ia menawari kedua kakaknya untuk bergantian mengendarai sepeda. Namun seperti yang diduga, keduanya menolak dengan makian tanpa sepengetahuan ibunya. Salma begitu penyabar, meski sering ditindas, rasa sayangnya kepada Retno dan Lisna tetap terjaga. Tetap utuh sampai kapan pun. Tak sedikit pun rasa balas dendam berbisik dalam nuraninya.
***
“Aku sudah benar-benar kesal, Lis! Ini tak boleh terus-menerus kita diamkan!” Sungut Si Sulung sepulang sekolah. Keduanya memang bersekolah di tempat yang berbeda dengan Salma. Adik bungsunya itu, selulusnya dari SD ia mendaftarkan diri di SMP favorit di desanya dan setelah mengikuti tes ia diterima. Dari situ rasa bangga semakin bertambah di hati ibunya. Sedangkan rasa kebencian dan cemburu selalu melumuri hati kedua kakaknya.
“Lalu, apa yang akan kita lakukan, Kak?!”
“Kau tahu ‘kan, jalan menuju sekolah Salma?!”
“Ya. Hanya satu arah saja. Melalui hutan itu, ‘kan?!”
“Tepat sekali. Pokoknya kita harus kasih pelajaran buat dia!” Bibirnya mendekati telinga Lisna, membisikkan sesuatu rencana apa yang akan dilakukan untuk menjahili Salma. “Biar dia kapok dan tak akan sombong lagi.” Selama ini, Retno berpikir adiknya itu selalu bertingkah angkuh. Padahal tak sedikit pun Salma pernah melakukan itu padanya. Salma selalu santun dalam bertutur dan patuh pada apa pun yang diperintahkan oleh orang tuanya juga kedua kakaknya. Sungguh malang, hati Si Sulung sudah terlalu tebal diselimuti benih kedengkian.
Hampir tiga puluh lima menit mereka menunggu pada jalan yang biasa dilalui Salma. Hari itu mereka tahu kalau Salma pulang agak telat karena mengikuti ekstrakurikuler. Kesempatan bagi mereka untuk menyusun rencana. Sebelum ke hutan, mereka membeli beberapa butir paku, tali tampar dan selotip. Satu lagi, entah apa yang ada dipikiran Kakak pertama Salma itu, dia membawa pisau dari rumahnya. Akal bulus yang direncanakan Retno pasti akan berhasil, begitu Lisna mengamininya.
Lima menit selanjutnya berlalu, belum juga terlihat kerudung besar Salma. Wajah Lisna mulai layu, namun kakaknya selalu meyakinkan dan meminta untuk bersabar barang satu jenak.
Lisna meluruskan kakinya. Ia sandarkan punggungnya pada pohon besar. Tangannya bermain-main dengan dedaun yang berserakan di tanah.
“Kak, apa ini?!”
“Ada apa?”
“Aku seperti memegang sesuatu.” Pandangannya kini tertuju pada benda yang terkubur dalam tumpukan dedaunan itu. Wajahnya yang semula kusut, seketika kembali bugar. Retno yang duduk di pohon lainnya menghampiri. Keduanya sibuk menggali dengan kedua tangannya dan menyingkirkan gundukan daun-daun kering serta ranting.
“Ini tas, Kak.” Lisna menarik tali yang menyembul dari lubang yang tak cukup dalam itu.
“Berat, Kak. Apa isinya, ya?” Retno mengayunkan tangannya lihai. Dalam sekejap tas itu sudah berpindah ke pangkuannya. Tanpa aba-aba ia segera membuka resleting yang tertutup rapi. Tas berwarna cokelat itu masih tampak terlihat baru dan mewah.
“Uang, Lis! Isinya uang!”
“Mana, Kak? Mana?!”
Mereka semakin tergiur dan sibuk menghitung-hitung berapa jumlah uang tersebut. Saking antusiasnya, bahkan derap langkah kaki seseorang yang mendekat tak membuat mereka memalingkan wajah.
***
“Di makan dulu nasinya, Mbak.”
“Aku belum mau makan, Wi. Ke mana anak-anak, ya?”
“Tenang saja, tak perlu khawatir.”
“Bagaimana tak khawatir, Saswi. Sejak mendengar kejadian subuh tadi di rumah Pak Lurah, aku selalu cemas. Waktu kian sore, tapi belum satu pun yang datang. Apalagi Salma, tak biasanya jam segini belum pulang. Aku takut terjadi sesuatu padanya.” Tak heran memang kalau Retno dan Lisna biasa pulang sesuka hati. Paling bila ditanya mereka menjawab habis belajar bersama atau sekadar bertandang di rumah kawannya. Namun tidak dengan Salma yang selalu pulang tepat waktu.
“Berdoa saja, Mbak. Semoga tak terjadi apa-apa.”
“Kalau petang begini ‘kan, di hutan itu gelap, tak ada pelita. Kasihan Salma, Wi.” Ia tercenung. Menatap kosong pada nasi yang masih mengepul di hadapannya. Sang adik sibuk membuat sambal terasi. Mang Saswi, sepeninggal suami kakaknya, ia memilih untuk tinggal bersama mereka.
Bibirnya terus menjawabi keluh-kesah orang yang tengah duduk di meja makan itu. Namun ia tetap sibuk memasak, membantu kakaknya menyiapkan makan malam dan sesekali ia membuka lemari dan bolak-balik di depan meja dapur, seperti mencari sesuatu.
Mbak lihat pisau yang ada di meja ini tidak?”
“Tidak. Coba kamu tengok di halaman belakang, mungkin kamu lupa menaruhnya sewaktu mengambil daun pisang tadi.”
Jam berdetak di dinding dapur. Jarum panjangnya telah menciumi angka enam lebih tiga puluh menit. Senja mulai tiba di antara awan yang berarak. Begitu tenang, sangat tenang dan semakin terasa tenang seperti diamnya ibu yang lidahnya tak berselera melahap nasi dan ikan asin buatan adiknya.
Terlihat dari pintu depan yang mengarah lurus ke dapur. Beberapa warga berlarian menuju rumah Bu Anwar. Di antara wajah-wajah penduduk terselip Si Bungsu yang mengayuh sepedanya dengan tergesa-gesa.
Mang Saswiii! Bu Anwaar!” teriak warga hampir berbarengan setibanya di teras depan rumah. Tanpa permisi, mereka nyelonong masuk dan menghampiri Si Ibu yang tengah terduduk menatap tak percaya apa yang tengah terjadi dan disaksikan oleh matanya sendiri. Salma pun turut berlari dari bibir pintu sambil menjerit histeris. Bahkan ia meletakkan sepedanya sembarangan. Tangisnya menguar ke segala arah. Kedua tangannya mendekap tubuh ibunya yang terpaku di atas kursi. Belum sempat bibirnya bertanya sesuatu, Salma malah langsung menyergap dalam tangisnya.
“Kak Retno dan Kak Lisna, Bu….” Lidahnya tercekat. Seketika suaranya tenggelam, berebut dengan tangis. Dua orang warga melangkah lebih dekat, seraya membopong raga Retno dan Lisna yang tak lagi berpenghuni. Terlihat bekas selotip pada bibir keduanya dan temali yang mengikat kaki dan tangan mereka. Tak ada suara dari kerongkongan Bu Anwar saat menyaksikan hal itu. Air matanya seketika berjatuhan di atas sepiring nasi. Tubuhnya mematung. Kaku tak berkutik saat melihat sisa darah segar yang keluar dari bagian dada kedua anaknya. Ada luka tusuk di sana. Ia melihatnya sendiri, sangat dekat namun tak sanggup meraih.[]

Cilegon, 11 Desember 2014


*Cerpen ini memenangkan juara pertama lomba penulisan cerpen Semarak Sastra IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten pada 22 Desember 2014.

You Might Also Like

2 komentar

  1. aduh, judulnya....pantesan diikutin lomba. Soalnya gak bakal bisa masuk koran ini mahh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha... tapi kayaknya ada juga sih judul cerpen di koran yang panjang, tapi gak pake banget :D

      Delete