Aku, Percaya Keajaiban!

November 06, 2014

image by: www.google.com

Pintu kaca berderak. Terlihat pria dewasa yang aku taksir berusia tak kurang dari tiga puluh, memasuki sebuah ruangan tempat kami berdiam. Hanya ada aku dan temanku satu saja di dalam sini. Tak ada yang menghiraukan kami. Semua menuju ke penghuni baru. Ya, penghuni baru, sedang aku dan temanku hanya ibarat barang bekas yang tak rela dibuang begitu saja dengan pemiliknya.
“Semoga ia mendekat,” bisikku kepada Ve, temanku yang menatap sendu. Sepertinya semangat dalam dirinya tengah meredup, ia sudah pasrah menggantungkan harapan kepada orang-orang yang selalu berlalu lalang di hadapan kami, namun lebih sering tak menyentuh tubuh kami, bahkan menoleh pun tak sempat.
Ah, entah sampai kapan kita di sini, dilumat butiran debu yang kian menebal, tak diperhatikan dengan pengoleksiku yang padahal dahulu aku ingat sekali, ia memuji-mujiku di hadapan mitra kerjanya.
“Ve, kenapa diam? Tenang saja, pada waktunya tentu harapan kita akan terpenuhi.” Ia menoleh sesaat kemudian kembali lesu. Tak banyak yang bisa aku perbuat. Setidaknya, aku masih memiliki harapan dengan pria yang masih mondar-mandir di hadapanku sejak tadi ia masuk. Aku terus berdoa dan memohon agak ia menyentuhku, atau setidaknya, memperhatikanku walau beberapa detik.
Bisa dibilang aku salah satu yang paling kesepian, aku pun lelah layaknya Ve. Namun, aku tidak patah arang, aku percaya keajaiban akan mendatangi kami, ya, walau entah kapan tiba waktunya yang pasti.
“Krining...”
Bunyi lonceng pintu terdengar. Pertanda seorang pelanggan singgah lagi ke tempat kami berdiam.
“Ve, lihat, kali ini wanita cantik.”
“Tante-tante genit saja tak melirik kita apalagi wanita modis macam dia,” jawab Ve dengan keluhan.
“Berharap sajalah!”
Itu kalimat yang mungkin sudah keseribu kali terngiang di telinga, Ve. Aku tahu, Ve lebih lama dibanding aku di dalam tempat yang segala ruangannya serba kaca ini. Namun, tak lantas ia selalu murung begitu, kan? Semua pasti akan mendapatkan kesempatan yang sama. Percayalah!
Aku terus mengoceh tak ada henti, sedang Ve, ia bergeming saja. Dan memilih melihat ke arah luar jendela yang tergambar kendaraan yang beraneka ragam.
        “Aku bosan di tempat ini, aku ingin mencoba ke seberang sana, sepertinya pemiliknya akan selalu merawat dan memerhatikan koleksinya, tidak seperti pengoleksi kita, ia melupakannya begitu saja.”
“Jangan bicara seperti itu, Ve, berharap sajalah.”
Lagi-lagi aku mengulang ucapan yang sama. Tak apa Ve bosan dengan petuahku, biarkan telinganya tersumpal kata-kata itu. Toh, niatku baik, ingin menghiburnya, dan memberikan motivasi dan semangat kepadanya.
Kedua mataku masih mengikuti langkah pria dewasa itu. Namun, dugaan Ve benar, pria itu sejak awal sepertinya tidak berniat untuk datang ke tempat kami. Suara lonceng pun terdengar lagi, ia beranjak pulang, dan entah ke mana tujuan berikutnya.
“Mas, aku lihat yang, ini!” wanita muda itu menunjukku. Aku tidak percaya, saat pemilikku mengangkat tubuhku yang tak lebih dari seukuran telapak tangannya yang besar.
“Yakin yang ini, Mbak?” aku geram mendengar ucapannya. Mengapa ia begitu tidak menginginkanku dimiliki orang lain?!
“Ya, Mas. Sepertinya ini akan aku jadikan sebagai kado ulang tahun nenekku,” jawabnya optimis. Aku senang, namun bersamaan kesenangan itu, Ve melihatku dari bawah dengan tatapan kecewa dan penuh kekesalan. Mungkin ia marah denganku.
“Yang ini berapa, Mas?”
“Hmm, dua ratus tiga puluh ribu saja, Mbak.”
“Wah, murah, ya. Padahal ini antik, lho!” 
Pemilikku hanya senyum kecut, entah pertanda senang atau tidak karena aku akan berpindah tangan darinya.
“Krining...”
Pria tadi yang pergi kembali membuka pintu. Ada apa ini, apa dia berubah pikiran? aku melihatnya dari atas, karena saat itu tubuhku diangkat dan berada dalam telapak tangan wanita muda ini. Pria dewasa itu mengajak dua orang tua yang sepertinya kakek dan nenek dia.
“Ini, Dek, aku habis menjemputnya dari mobil,”
“Wah, kakek mau kacamata juga?” tanya wanita muda itu, yang ternyata selidik punya selidik, ia adalah adik dari pria dewasa tersebut.
“Kakek mau yang mana? Pilih saja,” tawarnya santun.
“Kakek itu menunjukku yang ada di tangan cucunya,”
“Ini buat Nenek, Kek!”
Ve yang menatapku dari ruang kaca terlihat cemburu karena aku diperebutkan.
“Ya, sudah, Kakek mau yang mirip dengan punya nenek saja.”
Sang pemilik toko alias pemilikku, menunjuk Ve yang menatapku penuh emosi. Seketika wajahnya turut semringah.
“Ini nggak jauh beda kok, dengan yang mbak pegang,” tutur pemilikku menawarkan Ve.
“Kakek mau yang itu?!”
“Ya!” jawabnya mantap menoleh ke wanita muda tersebut.
“Aku ambil dua, Mas. Harganya berapa kalau yang ini?”
“Sama saja kok, dengan yang Mbak pegang.” Ia menunjukku.
Segera orang yang akan menjadi mantan pemilikku mengambilkan tempatku untuk berdiam diri, ya di tempat kaca mata yang masih mengkilap. Lama sekali aku tidak berdiam di sana. Saat aku akan diletakkan aku berteriak kencang sekali, ya, meskipun orang yang ada di dalam ruangan tak bisa mendengarnya.
“Veeee..., kamu percaya kan dengan keajaiban?! Jangan berhenti berharap, kawan!!!”
Aku tak mendengar sahutan Ve, namun saat ruangan mulai gelap aku menangkap senyum Ve yang mengembang, mudah-mudahan ia mau memaafkanku dan percaya dengan segala petuahku yang mungkin takkan lagi membosankan di telinganya. Kami berpisah, namun kami saling bahagia.[]

Jogjakarta, 29 Maret 2014

You Might Also Like

0 komentar