Laut Senja (Kumcer: Air Mata Sang Garuda, AG Litera 2013)

June 11, 2014


Eloknya senja mengiringi kepenatan di hari ini. Tugas yang menumpuk seakan hilang sejenak dalam benakku.
Sudah lama rasanya aku tak mengunjungi tempat bersejarah ini. Bukan tentang kotanya, tetapi tentang tempat masa kecilku bermain dengannya. Ah, tidak semestinya aku mengungkit kisah ini lagi. Aku tidak mau merubah warna jingga-nya senja, dengan warna kelabu. Aku tidak mau kehilangan saat-saat mentari melambaikan cahayanya sebelum pergi hingga berjumpa esok harinya lagi, itu pun jika aku masih diberi kesempatan untuk menghirup udara yang gratis ini oleh Tuhan. Tak seorang pun yang mampu menghalau segala kehendakNya. Sebesar apa pun penghalangnya, takkan mampu merubah kuasaNya. Seperti kepergian Gilang lima tahun silam.
***
“Cepat dibuka, aku penasaran, Rio!”
“Kamu dulu aja, Lang. Aku masih belum siap,”
“Bareng-bareng aja bagaimana? Kamu, mau ‘kan?” Kita menghitung bersama-sama. Di sudut ruang kelas paling belakang, kita merasakan hal yang sama. Deg-degan!
Dalam hitungan ketiga, isi amplop putih yang baru saja dibagikan oleh para Guru kepada semua siswa-siswi kelas XII SMA PELITA 3, itu kami buka. Hanya berdua, aku dan sahabatku.
Jantung memompa semakin cepat. Aliran darah seperti memuncak pada kepala yang mulai bercucuran keringat. Sebuah kertas putih yang terlipat rapih di dalamnya perlahan kita buka masing-masing. Kedua bola mata kita saling terpaut. Di antara keramaian yang ada, sejenak hening dalam daun telingaku. Mata kita berbinar sesaat setelah melihat hasil Ujian Nasional yang baru selesai sekitar dua minggu yang lalu. Kami belum melihat hasil jawaban satu sama lain. Namun, tatapan kita semakin kosong. Hingga lompatan secara serempak kami lakukan.
“Horeee...!!! aku lulus!!!” sorak kita bersamaan. Airmata bahagia pecah, berbaur dalam alunan haru-biru perasaan. Selayang pandang, wajah teman-teman sekelasku pun berbinar sumringah. Sepertinya mereka merasakan hal yang sama dengan apa yang kita rasakan. Refleks kami saling berpelukan. Ucapan syukur tidak henti-hentinya bersenandung dalam bibir masing-masing.
“Alhamdulillah, Lang. Kita lulus!”
“Iya, Rio. Alhamdulillah,” senyumnya mekar di antara wajahnya.
“Semoga, cita-cita kumelanjutkan ke Perguruan Tinggi ternama di Bandung bisa terwujud,”
“.....”
“Kalau kamu mau melanjutkan kemana, Lang?”
“.....”
“Lho, kamu kok diam saja? Ada apa? Mengapa mukamu berubah masam begitu?”
“Mudah-mudahan keinginanmu sekolah di ITB terwujud ya, Yo!” ucapnya singkat seraya berlalu meninggalkanku.
Tingkahnya tidak seperti Gilang yang aku kenal. Mungkinkah karena pertanyaanku itu yang membuatnya bersedih. Namun apa masalahnya?
***
“Sendirian aja? Kok tidak ke rumahku dulu? Biasanya kan kita bareng ke tempat ini,”
“Iya nih, Yo. Maaf ya, aku lupa.”
“Oh, tak apa kok.”
“.....”
Suasana kembali sunyi, seperti saat sebelumku menghampirinya. Aku beranikan diri untuk menanyakan hal yang sempat membuatku masih penasaran. Aku pun membuka percakapan lagi.
“Lang, aku mau tanya nih, boleh nggak?”
“Tanya apa? Kamu seperti dengan siapa aja pakai izin segala. Bilang saja,”
“Kita ‘kan sudah satu minggu lulus SMA, tentu kita punya planning ‘kan mau melanjutkan sekolah di mana, atau melamar kerja ke mana? Kok kamu nggak pernah cerita sih, Lang...”
Ia hanya menggeleng. Lalu memalingkan wajahnya. Matanya tajam menghadap indahnya pantai pangandaran. Seperti biasa, panorama alam yang disuguhkan mampu melukis senyum di bibirnya. Langit senja memerhatikan tingkah laku kita. Seolah ada tanya di setiap keanggunannya.
Perlahan mentari menenggelamkan diri pada peraduannya. Bibir Gilang perlahan mengangkat, seperti ada yang ingin diucapkan. Semoga Ia menjawab tanyaku yang sedari tadi terapung bersama buih-buih ombak yang mendayu, saling berkejaran hingga mendarat tepat di sela-sela jari-jemari kakiku.
“Yo, kita balik, Yuk! Hari sudah petang,” ajaknya. Aku tertunduk lesu. Mengapa Ia tidak mau berterus terang. Bercerita pada sahabat kecilnya ini. Aku tahu, ini bukan Gilang yang aku kenal selama ini. Seperti ada yang Ia sembunyikan dariku.
***
Aku lulus saat mengikuti Jalur Seleksi Mandiri Bersama Perguruan Tinggi Negeri (SMBPTN), pada jurusan yang aku idam-idamkan di ITB, yakni Teknik Informatika. Melanjutkan jurusan yang sempat aku tekuni saat SMA-ku dulu, bersama Gilang.
Kesibukanku mengurusi pendaftaran hingga sampai mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan, membuat kumelupakan Gilang sesaat. Sekitar dua minggu kita sudah tidak pernah bertemu. Namun sore itu, setelah aku menerima berita kelulusan. Ponselku bergetar dalam saku. Ternyata ada pesan dari Gilang. Segera aku baca dengan hati bahagia, sebab rinduku pada sahabat kecilku itu tak terbendung lagi.
“Aku tunggu di laut senja, sekarang!”
Dari bunyi pesannya yang ia sampaikan seperti ada sesuatu hal penting yang ingin ia bicarakan. Aku pun segera mengayuh sepeda ontel warisan Bapakku. Sepeda ini yang menjadi kendaraan kami berdua saat masih duduk di bangku SMA. Sepulangnya dari sekolah dulu, kami selalu menyempatkan bertandang walau sejenak di ‘laut senja’--julukan yang diproklamasikan Gilang kepadaku, terhadap pantai pangandaran, Jawa Barat.
Aku dengan hati yang gembira, mengayuh dengan penuh semangat. Aku ingin segera menceritakan tentang kelulusanku ini kepadanya. Pasti Ia juga turut senang mendengarnya.
“Gilang! Dari tadi?” ucapku yang sepertinya mengagetkannya. Sebab, bahunya menghentak ke atas saat aku memanggilnya dari belakang. Aku sandarkan sepeda ontelku pada pohon kelapa yang ada di sekitar pesisir pantai itu.
“Apa kabar, Lang? Maaf ya, aku jarang bermain denganmu akhir-akhir ini,” tanyaku di barengi dengan ucapan penyesalan.
“Oh, nggak apa-apa. Santai saja kali, Yo!”
“Lang, aku keterima di ITB. Benar-benar tidak kusangka, bisa kuliah di kampus elite itu,” ucapku sumringah.
“Selamat ya, Yo. Aku ikut senang mendengarnya. Aku bangga denganmu, Yo!” ucapnya dengan lemparan senyum seadanya.
“Oh iya, Lang. Kamu tadi menyuruhku untuk segera kemari, memang ada apa? Sepertinya ada yang ingin kamu sampaikan,” tanyaku bingung.
“Memang benar. Sebenarnya...” Ia menghela napas dalam. Lalu menghadapkan tubuhnya ke hamparan laut pangandaran, “Sebenarnya, aku ingin berpamitan denganmu, Yo. Aku memilih untuk melamar kerja saja di luar kota. Kebetulan ada pamanku yang juga sudah bekerja di sana.”
“Mengapa kamu baru berkata sekarang? Kamu sendiri yang janji akan terus bersama di desa ini. Kamu sendiri yang berkata bahwa luar kota tidak akan lebih indah selain kota sendiri. Ada apa, Lang? Kenapa kamu mengingkari ucapanmu sendiri?” kumuntahkan segala tanyaku bertubi-tubi.
“Ini beda, Yo. Aku ingat pernah berkata demikian, namun mau dikata apalagi, orangtuaku yang meminta begini. Mereka tidak mengabulkan keinginanku,Yo. Mereka tidak sanggup membiayaiku untuk melanjutkan kuliah,” Rinai pada matanya mulai membasahi pipinya. Aku memeluknya seolah tidak mau kehilangannya.
“Lang, aku pasti akan sangat merindukanmu. Aku pasti akan merasa kesepian di hamparan laut nan megah ini. Aku tak sanggup, Lang. Pertimbangkan lagi keputusanmu itu, sobat!” aku memohon.
“Rio. Kamu bicara apa? Aku pasti akan selalu ada untukmu. Pandanglah langit senja itu, aku pasti ada bersama keelokannya. Hamparan bumi Allah begitu luas, di mana kakimu berpijak, di sana masih ada aku, di satu bumi milikNya. Kamu tidak akan tahu indahnya hidup, jika kamu tidak menyelaminya. Terkadang kita harus rela melepaskan sesuatu yang begitu kita sayangi, demi sebuah hal yang lebih baik lagi, untuk kita genggam.” Ucapnya menguatkanku. Pandangan kedua bola matanya meyakinkanku. Aku hanya bisa terdiam. Kutatap wajahnya. Wajah seorang sahabat terbaik yang pernah aku miliki.
“Rio, satu pesanku kepadamu. Jika kamu merindukanku, datanglah ke laut senja ini, pasti aku ada di sana, hanya saja di belahan bumi lainnya. Semua yang ada dalam kehidupan ini adalah fana, itu sebabnya, nikmati saja yang sedang kamu rasakan saat ini. Dengan begitu pasti kamu bisa lebih mensyukuri hidupmu. Begitu pula yang sering aku lakukan. Dengan menatap cantiknya senja, aku merasa lebih bisa menghargai hidup. Karena belum tentu semua orang bisa merasakan apa yang kita rasakan saat ini. Terima kasih selama ini mau menjadi sahabat terbaikku. Aku pasti akan kembali, untuk berjumpa denganmu lagi. Bersama menatap pesona jingga-nya senja. menanti mentari menutup matanya, hingga rembulan menyambut hadirnya malam.” Ia mengakhiri pembicaraannya. Bersamaan dengan tenggelamnya mentari. Langit senja menjadi saksi perpisahan kami berdua, diiringi dengan ombak yang menghantam karang.
***
“Aku tunggu janjimu, Lang. Di sini! Di hamparan laut yang kau namai laut senja. sudah lima tahun berlalu, namun mengapa tak ada kabar berlabuh di telingaku. Bahkan nomor ponselmu sudah tak aktif lagi. Aku nikmati senja hari ini, semoga kamu benar adanya di belahan bumi lainnya, dan sedang menikmati langit senja seperti yang pernah kamu janjikan.” Gumamku dalam hati. Berharap Gilang mendengar alunan lirih kerinduanku.[]

*Cerpen ini termaktub dalam buku kumpulan cerita, "Air Mata Sang Garuda".

You Might Also Like

0 komentar