“Gadis Berparas Sendu”

August 10, 2013



Bulan Ramadhan. Aromanya nan suci penuh ampunan telah menyentuh dinding-dinding setiap rumah muslim sejagat alam raya. Kehadirannya yang selalu di tunggu-tunggu oleh para idolanya, membuat bulan Ramadhan menjadi bulan yang sangat diistimewakan. Begitu pula yang di rasakan Halimah, gadis berparas sendu yang terduduk di seberang dermaga, danau Sambi. Mata sayu dengan bulu matanya yang lebat, menambah kesenduan di wajahnya. Ramadhan adalah bulan yang selalu di rindukannya. Alasannya cukup sederhana, dengan hadirnya bulan Ramadhan, maka saat itu juga ia di perkenankan kembali ke tanah air, oleh majikannya. Ya, Halimah adalah seorang gadis yang harus menghabiskan hari-harinya ketika beberapa tahun terakhir ini terpaksa tinggal di negara berlambang kepala singa berbadan ekor ikan itu, atau juga biasa disebut patung merlion.
Menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) bukanlah keinginannya. Semua bermula dari ketidak-sengajaan. Tiga tahun silam, ketika Ayahnya masih berprofesi sebagai seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia, pernah mendapat tawaran dari sang majikannya. Adik majikannya yang baru saja menetap di negara singapura karena urusan pekerjaan, membutuhkan seorang pembantu yang nantinya membantu kesehariannya. Ayah Halimah menerima tawaran itu, dan mengatakan bahwa ia memiliki
seorang anak gadis. Tanpa butuh waktu yang lama, mereka menyetujuinya, dan sejak saat itu juga Halimah yang masih sekolah kelas dua di SMA Harapan harus terputus. Permintaan ayahnya yang sulit di tolak, memaksa kepalanya untuk mengangguki keinginannya. Dengan tawaran gaji yang menggiurkan, membuat hati sang Ayah terselimuti akan cita-cita Anak semata wayangnya itu. Pupus sudah keinginannya menjadi seorang guru, lirih hati halimah di kala terduduk di seberang dermaga.
“Tuan, bolehkah Aku menyampaikan sesuatu?” tanya Halimah setibanya dari danau. Bahasa yang biasa ia gunakan sama dengan bahasa di negaranya, karena majikannya itu masih keturunan Indonesia.
“Tentang apa? Silakan saja,” jawabnya santai di sofa ruang tamu, seraya menggeser duduknya dan mempersilakan Halimah duduk di sampingnya.
“Begini, Tuan. Maaf jika aku lancang,” ucapnya santun sambil menempatkan tubuhnya di sofa itu, memberi jarak dari majikannya. “Bolehkah aku pulang ke kampung sebelum bulan Ramadhan datang? Sudah lama aku tidak bersua dengan keluarga, aku merindukan mereka, Tuan,” sambungnya dengan terus menundukkan kepala.
“Oh, begitu. Jadi kamu mau pulang ceritanya?” matanya menyorot cepat. Memicik ke arahnya.
“Jika Tuan tidak mengizinkannya, tak mengapa. Aku tidak memaksa,”
“Santai saja. Apa kamu tidak rindu denganku? Hampir tiga tahun kita bersama, tetapi bisa di hitung berapa kali kita bicara. Jadi, jangan terburu-buru begitu. Memangnya seberapa rindunya kamu dengan mereka?” ia menggeser posisi duduknya perlahan mendekat ke arah Halimah. Halimah pun sedikit menjauh, ia duduk hampir di ujung sofa. Wajahnya ketakutan. Benar, ucapan majikannya itu. Kesibukannya selama ini, membuat ia jarang pulang ke rumah, dan memang hanya seperlunya saja bicara dengan pembantu satu-satunya itu. Halimah hanya sendiri di rumah yang cukup megah itu, sebab majikannya baru di tinggal istrinya untuk selama-lamanya beberapa bulan lalu karena kecelakaan.
“Angkat kepalamu, setelah Aku perhatikan dari dekat, rupanya kamu cantik juga ya, Halimah,” goda majikannya, mencoba meraih dagunya. Kepalanya menoleh ke arah lain berusaha mengelak dari ‘kegatelan’ majikannya itu.
“Jangan, Tuan.”
“Aku kan bilang santai saja, tak usah takut seperti itu,” kembali tangan kirinya liar berusaha merangkul tubuhnya.
“Cukup, Tuan. Aku bukanlah gadis seperti yang kaupikirkan.” Halimah menyentak. Ia berdiri, tetapi tangan besar majikannya meraih kerudung belakang punggungnya. Rambutnya sedikit terlihat oleh majikannya, hitam lebat terurai. Ia membalikkan badannya, berusaha melepas tarikan duda tersebut. Lengan besarnya semakin meraup tubuh kecil Halimah yang masih berusia delapanbelas itu. Ia merangkul erat. Jerit Halimah pun pecah, menggema ke penjuru ruangan. Namun, percuma. Tak ada seorang pun mendengarnya kecuali majikan bejatnya itu sendiri. Pikirannya telah dikuasai hawa nafsu yang dikendalikan iblis jahannam. Air mata berderai melinang di sekitar wajah sendu Halimah.
“Lepaskan, Tuan. LEPASKAN!!!” Ia menjerit histeris. Namun pria berusia kepala tiga itu tak menghiraukannya. Nafsu birahinya sudah di ambang batas. Ia menarik Halimah secara paksa ke kamarnya. Meski Halimah berusaha meronta-ronta, namun layaknya tenaga seorang gadis, tidak sedikit pun mampu membuatnya terlepas dari genggaman ‘iblis’ biadab itu.
Majikannya melemparkan ia ke kasur miliknya. Dengan tergesa-gesa pakaian yang melekat di tubuhnya, secara sigap ia buka satu-persatu. Halimah tak kuasa melihat tingkah tuannya yang berubah menjadi ‘iblis’ itu di hadapannya. Sebelum ia selesai melepaskan celana panjangnya, halimah mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri. Kerudung yang sempat terlepas dari kepalanya, sesegera ia kenakan. Majikannya yang kewalahan karena hampir tubuhnya tanpa mengenakan pakaian, berusaha mengejarnya. Halimah menuju pintu depan, dengan sengaja kuncinya ia ambil lalu mengurung majikannya di dalam rumah. Ia lempar kunci rumah itu ke tempat sampah yang ada di depan rumah majikannya. Sejauh mungkin ia berusaha melarikan diri. Mencoba mencari pertolongan di saat azan magrib berkumandang.
“Astagfirullahal’adzim...” ia menangis sesenggukan di sepanjang jalan yang dilaluinya sambil tak henti-hentinya bibir tipisnya berdzikir. Ia berlari ke musala kecil yang jaraknya tak jauh dari danau yang biasa menjadi tempatnya termenung.
***
“Dek, bangun, Dek. Sudah adzan subuh, mari salat dahulu,” ucap seorang ibu paruh baya membangunkan Halimah yang tertidur pulas sejak tadi malam di musala itu. Perlahan ia mendengar seruan tersebut, dan langsung mengangkat tubuhnya. Dengan mata yang masih berkunang-kunang ia mengarahkan pandangannya ke orang yang membangunkannya tadi.
“Mbok Martinah?”
“Hmm... Halimah? Kamu Halimah?”
“Ya, Mbok. Aku Halimah!”
“Subhanallah, mimpi apa aku malam tadi. Sedang apa kamu di sini, Nduk?” ucapnya tak percaya yang terus memeluknya erat.
“Aku memang kerja di sini, Mbok!” jawabnya antusias.
“Sejak kapan? Kok Mbok baru tahu? Ibumu pun tak pernah cerita, Nduk.”
“Sudah lama, Mbok. Hampir tiga tahun,”
Obrolan mereka berlanjut setelah salat berjamaah di musala itu. Mbok Martinah bercerita bahwa ia baru beberapa minggu pindah kerjanya ke tempat majikannya yang baru, yang jaraknya tidak jauh dari tempat kerjanya Halimah. Mbok Martinah mendapat semua cerita yang baru saja dialami oleh Halimah dari bibirnya. Ia merasa kasihan, hingga akhirnya ia mencoba mengajaknya tinggal bersama dengan majikan barunya itu.
***
            “Bagaimana Nduk, setelah dua minggu kerja di sini? Apa kamu betah?” tanya mbok sambil mempersiapkan sarapan pagi.
            “Aku tidak tahu harus berkata apa lagi kepada, Mbok. Terima kasih banyak yang pasti. Aku merasa lebih baik di sini, Mbok!” sahutnya senang.
“Oh, ya. Besok kamu mau ikut pulang tidak denganku, Nduk?” tawarnya.
“Pulang?”
“Ya, pulang ke kampung!”
Alhamdulillah. Aku mau banget, Mbok. Aku kangen Ibu dan Bapak. Aku ingin sekali segera melaksanakan puasa ramadhan dan salat tarawih bersama mereka dan teman-teman di kampung,” matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Mbok,” ia memeluknya hangat. Air mata haru membasahi kerudung merah jambunya.

Pukul 17.00 di kereta api menuju bandara
Pesona mentari mengiri langkah mereka. Wajah sendu yang biasa dilihat ketika termangu di danau sambi, seolah berganti dengan wajah riangnya. Berseri. Mereka saling menggenggam jemari ketika baru keluar dari gerbong kereta.
“Terima kasih ya, Mbok. Mungkin jika aku tidak bertemu dengan Mbok dua minggu lalu, pasti aku belum tentu bisa berangkat pulang kampung,” ucapnya seru.
“Ya, nduk. Sama-sama. Sudah jangan terlalu berterima kasih sama, Mbok. Semua ini berkat takdir yang sudah Allah tentukan. Kamu layak mengucap syukur padaNya,” jawabnya merendah.
“Itu pasti, Mbok. Allah Maha Mengetahui apa yang diinginkan hambaNya. Bulan Ramadhan ini, menjadi bulan yang penuh keistimewaan. Aku menjadi lebih peka lagi saat berkenalan dengan orang lain. Supaya aku berhati-hati. Segala kejadian itu, pasti tidak akan aku lupakan. Aku anggap sebagai kejutan sebelum bulan Ramadhan. Walau itu kisah yang menyeramkan dalam hidupku, tetapi aku belajar untuk lebih menjaga tubuh ini, dan mempertebal imanku, guna mempersiapkan diri berjumpa dengan bulan penuh ampunan.” Terang Halimah sembari membaringkan tubuhnya di kursi pesawat yang baru di tumpanginya. Gadis sendu itu telah berganti paras dengan wajah berseri dan riang gembira.

You Might Also Like

2 komentar

  1. Sudah settle banget kayaknya nulis gan., semangat terus!

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaa, iya nih, tapi baru belajar nulis kok, thx sudimampir gan :)

      Delete